26 Mei 2016: 80 Tahun Franz Magnis-Suseno SJ, Pastor Jesuit Ahli Marxisme

5
68,894 views
Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ menerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI. Mewakili bangsa, negara, dan pemerintah RI Presiden Joko Widodo menyerahkan penghargaan itu kepda Romo Magnis SJ di Istana Negara di bulan Agustus tahun 2015 (Ist)

DI tengah hiruk-pikuk tentang isu kebangkitan PKI dan semua aliran kiri seperti Marxisme, kita diingatkan bahwa hari Kamis ini tanggal 26 Mei 2016 ini, seorang ahli tentang ideologi Karl Marx (Marxisme) telah genap merangkai umur tepat 80 tahun. Ia adalah pastor Jesuit kenamaan yakni Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ. Ia terlahir 26 Mei 1936 dengan menyandang nama asli lengkap sebagai Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis atau dulu biasa disingkat sebagai Franz Graf von Magnis.

Lahir di Eckersdorf, Silesia, di bagian selatan Prussia dan kini Bożków, Nowa Ruda, di Polandia, Romo Franz Magnis-Suseno SJ adalah seorang filosof, ahli etika umum, sosial, dan politik. Pastor Jesuit berdarah bangsawan Jerman ini juga termasuk pastor penulis produktif dengan catatan rekor telah melahirkan lebih dari 30 buku dan ratusan artikel ilmiah yang mengulas isu-isu filsafat, etika umum dan etika politik,  filsafat Jawa dan wayang.

Berbeda dengan banyak pastor muda masa kini yang malah sering tergilas oleh keinginan pribadi menjadi seorang selebriti atau haus publikasi hanya demi entertainment semata, justru kehidupan sehari-hari Romo Franz Magnis-Suseno SJ itu sangat jauh dari ‘dunia gemerlap’. Semua bukunya dan artikel-artikel ilmiahnya itu lahir dari sebuah ‘tradisi baca’ dan ‘tradisi hidup tertib diri’ yang sangat serius.  Buku-bukunya dan semua artikel ilmiah yang muncul di media massa itu sama sekali bukan datang dari sekilas gagasan copy-paste atau hanya demi mencari popularitas sesaat semata.

Sama seperti para Jesuit kebanyakan yang rela menghabiskan waktunya berjam-jam hanya duduk sendiri menekuni sesuatu (membaca, meneliti naskah, dan kemudian menulis) dalam suasana serba sunyi dan sendiri, maka itulah Romo Franz Magnis-Suseno SJ.

Ia mungkin sama seperti misalnya alm. Romo Prof. Dr. PJ Zoetmoelder SJ. Berkat ketekunannya dan keseriusannya yang luar biasa, maka alm. Romo Zoetmoelder SJ mampu melahirkan buku sangat bermutu tentang khasanah Sastra Jawa Kalangwan (1974) dan kemudian Old Javanese-English Dictionary (1982).

Juga ada alm. Romo Dick Hartoko yang menyandang nama Belanda sebagai Theodorus Geldorp SJ. Alm. Romo Dick Hartoko SJ selama bertahun-tahun lamanya setia menggawangi rubrik Tanda-tanda Zaman di Majalah Basis,  sebelum akhirnya menyerahkan tongkat komando kepemimpinan majalah intelektual ini kepada Jesuit lain yakni Romo Dr. GP Sindhunata SJ, sang penulis buku Anak Bajang Menggiring Angin. Sebagai  penulis produktif, keseharian hidup alm. Dick Hartoko SJ juga jauh dari bara api dunia selebriti.

Maka di situlah, kita mesti meletakkan posisi batin Romo Franz Magnis-Suseno SJ, seorang Jesuit Indonesia kenamaan dengan rentetan gagasan cermerlang tentang isu-isu kebangsaan yang hingga kini masih selalu diretas oleh Jesuit berdarah bangsawan Jerman ini. Dari tangan Romo Franz Magnis-Suseno SJ telah lahir buku-buku berkelas seperti Etika Jawa, Etika Politik, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dan masih banyak lagi lainnya.

Frans_magnis_suseno
80 tahun Romo Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ, pastor Jesuit berdarah Jerman namun sejak tahun 1977 rela meninggalan kewarganegaraan Jermannya dan menjadi seorang WNI. (Ist)

Menjadi misionaris ke Tanah Jawa

Pada usia sangat belia, ketika baru berumur 25 tahun sebagai frater muda Jesuit, Romo Magnis rela menerima tugas pengutusan dari Ordo Serikat Jesus Provinsi Jerman Selatan untuk pergi ke Indonesia. Pada tahun 1961, Frater Graf von Magnis SJ (saat itu masih memakai nama tersebut) akhirnya berhasil mendarat di Tanah Jawa dan mulai belajar filsafat dan teologi di Kolese Ignatius (Kolsani) Yogyakarta sekalian mendapat tugas tambahan dari Serikat Jesus untuk juga mulai belajar bahasa Jawa.

Usai menerima tahbisan imamatnya, ia mendapat tugas belajar lanjut di bidang filsafat di Universitas Muenchen. Pada tahun 1973, Romo Franz Magnis-Suseno SJ berhasil memperoleh gelar doktor filsafat dengan disertasi tentang pemikiran Karl Marx muda.

Lahir sebagai bangsawan Jerman, Romo Magnis SJ akhirnya rela meninggalkan kewarganegaraan Jermannya pada tahun 1977 dan memeluk status baru sebagai WNI. Saking cintanya kepada sosok tokoh wayang Werkudara atau Bima, maka ia menambahkan ‘nama Jawa’ di belakang nama ringkasnya hingga menjadi Franz Magnis-Suseno SJ. Gelar kebangsawanan sebagai ‘Graf von Magnis’  pun nyaris tidak pernah dia perlihatkan selama ini.

Bersama para Jesuit lainnya dan kemudian Keuskupan Agung Jakarta dan Ordo Fratrum Minorum (OFM), Romo Magnis SJ ikut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara di Jakarta yang kuliah-kuliah awalnya terjadi di kamar-kamar pastoran Gereja St. Theresia di Menteng, Jakarta Pusat.

Tertib diri sebagai pastor

Sebagai pastor Jesuit, Romo Magnis SJ  adalah sosok yang sangat tekun melakukan segala sesuatu dengan teliti dan cermat. Selama menjadi mahasiswanya di STF Driyarkara Jakarta (1982-1988) dan mengalami sendiri bagaimana beliau menjadi Rektor Kolese Hermanum sebagai rumah formasi Jesuit sebelum akhirnya digantikan oleh Romo BS Mardiatmadja SJ, maka Romo Magnis SJ sungguh menampakkan diri sebagai pribadi yang juga sangat keras terhadap diri sendiri. Ia sering melakukan matiraga dan berdoa rosario setiap petang menjelang malam dengan mengelilingi pelataran halaman Kolese Hermanum dan Wisma SJ Rawasari (waktu itu) sebelum akhirnya gedung residensi rumah SJ dan frateran SJ ini digilas rata dengan tanah untuk dijadikan perluasan kampus STF Driyarkara.

Sebagai Rektor Kolese Hermanum, ia sungguh menjalani keseharian hidup dengan sangat sederhana. Romo Magnis SJ juga dikenal lurus  dan sangat tertib diri dalam menjaga perilaku sosialnya dalam pergaulan, sekalipun bahkan memiliki jaringan pergaulan yang sangat luas dari segala kalangan dan latar belakang agama apa pun.

Ia berani menegur dengan sangat keras seorang pastor Jesuit di sebuah komunitas frater-frater SJ yang kedapatan kebablasan bergaul dengan perempuan. Sekarang, pastor Jesuit tersebut telah meninggalkan jubahnya. Ia juga rajin tertib memonitor sepak terjang pastor Jesuit senior yang waktu itu tengah ‘bermasalah’ dan kemudian membimbingnya, walaupun akhirnya sang pastor senior ini pun juga meninggalkan jubah dan kini telah meninggal dunia.

Selepas menikmati tahun sabatikal dengan menjadi pastor paroki di sebuah kawasan sangat udik (pada waktu itu) yakni di Paroki Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Romo Magnis lalu menulis buku Etika Jawa. Di kemudian hari lahirlah buku Etika Politik. Buku ini kini menjadi acuan banyak kalangan, ketika harus berurusan dengan isu bagaimana mempraktikkan kehidupan politik secara sehat, benar, dan bertanggungjawab.

Sebagai pastor Jesuit senior dari tlatah Jerman ke tanah misi di Indonesia (Tanah Jawa), Romo Magnis SJ boleh dibilang masuk di barisan para pastor Jesuit Jerman yang masih bersedia tinggal menetap di Indonesia. Sebagian besar kawan-kawan Jesuit Jerman lainnya sudah lama meninggalkan Indonesia untuk menikmati masa tuanya di negeri darimana mereka lahir dan berasal.

Selain Romo Magnis SJ sendiri, kini para Jesuit Jerman yang masih tetap berkarya di Indonesia adalah penulis produktif Romo Adolf Heuken SJ (dulu dari Provinsi SJ Jerman Utara), Romo Theo Wolf SJ, dan Romo Zhanweh SJ, Romo Knetsch SJ. Sementara, rekan-rekan pastor Jerman lainnya sudah lama pergi meninggalkan Indonesia dan kembali ke Jerman atau sebab lain. Sebut saja misalnya Romo Horst Wernet Hari Wartono SJ, Romo Bock Kastowo SJ, Romo Hans Wysgickl SJ, Romo Heinz Gundhart Gunarto SJ, Romo Ferdinand Hamma SJ, alm. Romo Binzler SJ (telah meninggal karena ditabrak motor saat jogging di kawasan Monas sebagai pastor di Katedral Jakarta), alm. Romo Albrecht Karim Arbi SJ (telah meninggal sebagai korban kerusuhan massal di Dili, Timtim), dan masih banyak lagi lainnya.

Mengajar filsafat sosial

Ketika zaman Orde Baru masih berkuasa di Indonesia (1967-1998), Romo Magnis SJ secara kontinyu memberi kuliah filsafat politik dengan salah satu materi pokok bahasan tentang filsafat sosial Hegel, Feuerbach, dan  Karl Marx. Ia mencatat sendiri setiap diktat dengan kode-kode khusus sehingga siapa pun akan ketahuan bilamana berani membuat fotokopi atas diktat tersebut. Pada waktu itu, semua buku atau naskah tentang Karl Marx dianggap tabu dan dilarang dipelajari apalagi disebarkan.

Ketika hari-hari terakhir ini isu mengenai bangkitnya ideologi Marxisme dan PKI kembali mengemuka, Romo Magnis ikut bersuara lantang bahwa komunisme itu sudah lama runtuh dan tidak ada bukti negara-negara beraliran komunisme seperti Uni Soviet dan Eropa Timur era Perang Dingin itu mampu memberikan kemakmuran kepada rakyat, selain hanya pada kelompok elit partai saja. Maka, sebagaimana kita lihat di beberapa media, isu ‘hantu bergentayangan’ itu sudah tidak relevan lagi untuk diomongkan dan apalagi dijadikan dasar untuk memberangus nafsu baca orang untuk belajar sejarah.

Melalui artikel-artikel ilmiah dengan ragam bahasa lugas dan langsung pada sasaran dan pada kesempatan tampil menjadi nara sumber diskusi di televisi, radio maupun berbagai acara diskusi, Romo Magnis SJ selalu aktif bicara dan mempromisikan nilai-nilai keadaban publik yang mesti dijunjung tingg. Ia tanpa henti selalu menekankan pentingnya para pemangku otoritas pemerintahan dan para politisi itu harus tahu apa itu etika politik. Romo Magnis SJ juga tanpa henti memperjuangkan terjadinya bonum commune (keadilan sosial) di masyarakat Indonesia.

Pada tanggal 13 Agustus 2015,  Romo Magnis SJ dianugerahi Bintang Mahaputra Utama oleh Pemerintah RI atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan dan filsafat berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 83/TK/TaHUN 2015 tanggal 7 Agustus 2015.

Namun, jauh hari sebelumnya di tahun 2001,  Romo Magnis SJ sudah lebih dulu menerima Bintang Jasa Kehormatan ‘Das Große Verdienstkreuz des Verdienstordens’ dari Pemerintah Jerman.

Romo Magnis SJ juga mendapat gelar doktor kehormatan di bidang teologi dari Universitas Luzern, Swiss.

Menolak Bakrie Awards

Karena berlawanan dengan isi hati nuraninya, maka dengan tegas pula Romo Magnis berani menolak penghargaan Bakrie Awards yang semula akan diberikan pengusaha-politisi Partai Golkar Aburizal ‘Ical’ Bakrie atas jasa-jasa Romo Magnis di bidang sosial. Selama menjadi dosen etika umum dan etika politik, Romo Magnis selalu mengajarkan kepada para mahasiswanya untuk tidak pernah mengabaikan apa yang dia sebut sebagai ‘matahati’ manusia yakni hati nurani atau suara hati karena di situlah nilai moralitas baik-tidaknya sebagai manusia antara lain bisa diukur.

“Hati nurani atau suara hati tidak bisa berbohong,” begitu kata-kata bermakna yang selalu Romo Magnis ucapkan kepada setiap mahasiswanya di forum kuliah, termasuk kepada teman-teman Jesuit saya angkatan novis tahun 1982 dan masuk kuliah di STF mulai tahun 1984.

Karena itu, dengan tegas pula Romo Magnis SJ atas pertimbangn hati nuraniya lalu menolak ide dan rencana pemberian Bakrie Awards tersebut.

Salah satu alasan yang dia kemukakan adalah seperti ini. Bagaimana ia akan bisa ‘menipu diri’ dan membungkam dalam-dalam suara hati nuraninya ketika seharusnya malah berteriak menyerukan keadilan bagi sekalian korban bencana Lapindo Brantas, sementara di satu sisi dia dikasih penghargaan dan mungkin juga uang dari kelompok usaha Bakrie cs. Dua hal yang tidak bisa diperdamaikan, dan karenanya Romo Magnis SJ lalu mengikuti suara hati nuraninya yang selalu dia katakan: “tidak bisa bohong pada suara hati!”.

Pada tahun 2007 itulah, Romo Franz Magnis-Suseno SJ dengan sangat tegas namun santun menyatakan ketidaksediaannya menerima penghargaan Bakrie Awards untuk dirinya, sekalipun beberapa tokoh agama lain juga telah berkenan menerimanya. Namun, tidak bagi Romo Magnis SJ. “Jika menerima, saya akan selalu merasa bersalah menerima penghargaan dari orang yang perusahaannya mengakibatkan rakyat Porong di Jawa Timur menderita,” kata Romo Magnis SJ membeberkan alasan ‘suara hati nuraninya’ mengapa harus menolak penghargaan tersebut.

Ad multos annos Romo Franz Magnis-Suseno SJ. Semoga tetap berumur panjang dan terus senantiasa memberi kontribusi besar berupa pemikiran-pemikiran kebangsaan untuk kemajuan bangsa, negara Indonesia dan Gereja Katolik Indonesia.

Kredit foto: Ist

5 COMMENTS

  1. Sekali waktu, di tahun2015, pada kira-kira jam 18.30, saya mendapat anugerah bertemu dengan beliau Romo Magnis Suseno di ruang tunggu bandara Juanda Sidoarjo (Surabaya).
    Saya terharu, ketika saya menyapa dengan bahasa Jawa halus, dengan lancar beliau menjawab sapaan saya juga dengan bahasa Jawa.
    Maturnuwun Romo, sampun kepareng kersa foto sesarengan (mugi-mugi Romo taksih kemutan, kula kepanggih Romo kaliyan rencang kula, paswestri jilbaban – piyambakipun ugi remen sanget rikala saget kepanggih panjenengan )

    Sugeng makarya kagem rahayunipun umat manungsa sadonya

    Jayatun
    Paroki Wedi, Klaten, Jawa Tengah

  2. Terima kasih Romo,semoga pemikiran cerdasnya bisa mencerahkan segenap anak bangsa melalui tulisan dan karya nyata dalam kehidupan sehari hari.dan semoga Romo diberikan kesehatan oleh Allah Bpk yg maha kuasa untuk terus berkarya dan menjadi pelita didalam kegelapan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here