SEBUAH keluarga sederhana (suami, isteri dan lima anak) sedang pergi menonton sirkus. Keluarga ini tidak punya harta melimpah tetapi mereka punya cinta, dan kasih sayang.
Pakaian mereka tidaklah mahal tetapi tetap bersih dan rapi. Mereka selalu menjalin kebersamaan dan kebersatuan. Kadang kegembiraan dan keceriaan mereka melebihi kegembiraan orang yang memiliki segalanya.
Ketika mereka sedang antri mau membeli tiket, anak-anak sangat gembira karena menonton sirkus adalah peristiwa yang sangat langka untuk mereka karena mereka memang tidak punya banyak uang.
Sang suami dan isterinya juga sangat gembira. Ini menjadi moment yang sangat berharga untuk mereka. Maka mereka semua selalu berpegangan tangan.
Ketika tiba giliran mereka untuk beli tiket, wanita penjual tiket bertanya, “Berapa tiket yang Bapak butuhkan?
Ia menjawab dengan semangat, “5 tiket untuk anak-anak dan 2 untuk dewasa.” Kemudian si Bapak bertanya, “Berapa semuanya?”
Wanita penjual tiket menjawab, “Total 55 ribu” Mendengar itu, si Bapak seperti mendapat “serangan jantung” karena uangnya tidak cukup.
Mereka hanya punya uang 35 ribu. Kekecewaan dan kesedihan meliputi wajah si Bapak. Ia sangat menyesal karena ia tidak bisa membawa keluarganya untuk menonton sirkus. Ia tidak bisa memberi kegembiraan untuk anak-anaknya. Ia hanya berpikir untuk berterus terang kepada isteri dan anak-anaknya bahwa uang mereka tidak cukup dan harus kembali ke rumah. Betapa anak-anak akan kecewa.
Seorang bapak yang antri persis berada di belakang mereka, melihat jelas apa yang tengah terjadi. Segera ia mengambil uang 20 ribu dari dompetnya sendiri dan menjatuhkannya dan segera mengambilnya. Ia lalu mengatakan, “Pak ini uang bapak yang jatuh dari kantong bapak tadi? ”
Si bapak dengan lima anak itu sebenarnya tahu bahwa itu bukan uangnya. Tapi ia sangat mengerti cara si bapak yang di belakangnya itu, tidak mau mempermalukannya di depan umum. Dengan segera ia menerima uang itu. Seraya menangis ia mengatakan, “Terima kasih, terima kasih banyak atas kebaikan dan kemurahannya, dengan ini saya bisa membawa keluargaku menonton sirkus.”
*******
Menjadi berkat untuk orang lain entah kita kenal atau tidak, entah keluarga kita atau tidak, entah suku kita atau tidak, entah satu agama dengan kita atau tidak, atau…… dan tidak……… kita dipanggil untuk itu.
Menjadi berkat untuk orang tidak harus memberi materi. Muatan berkat ialah cinta kasih, doa, perhatian, sapaan, kepekaan, pemikiran positif, menjadi sahabat untuk siapa saja dan menjadi tetangga yang baik untuk orang lain.
Sering kita terhalang menjadi berkat untuk orang lain karena kita dihinggapi kebencian, rasa balas dendam, sakit hati, pemikiran negatif dan apriori. Sering kita terhalang dan tertunda menjadi berkat bagi orang lain karena kita terlalu berpikir muluk-muluk, hebat-hebat dan spektakuler. Maka, Aksi sederhana yang berangkat dari kemurahan dan ketulusan akan sangat bernilai bagi sesama.
Penulis: Romo Yosafat Ivo OFM Cap, lulusan Universitas Guam, tinggal dan berkarya di Sinajana, Guam
ijin share “Menjadi berkat bagi orang lain” ya.
terimakasih banyak.
monggo….
..matur nuwun.
boleh tanya?:
sebenernya bagaimana kita tahu bahwa kita menjadi berkat bagi org lain.
misal, sapa atau keramahan yg kita berikan dng tulus kepada org, ternyata di kemudian hari kita tahu bahwa itu malah membuat susah org tsb.
terimakasih.
kalau orang itu bahagia, damai berarti kita sudah menjadi berkat bagi dia….
..terima kasih.
betul itu.
maksud saya jika kemudian malah menjadikan susah org yg menerima.
misalkan, sering ketika kita memberi sesuatu lalu diduga ada maksud kristenisasi. apakah ini jg dapat dikatakan menjadi berkat?
terima kasih.
Ya….itu biasa. Kebaikan selalu mendapat perlawanan. Kalau sudah demikian halnya, mungkin yang perlu kita lakukan adalah membatasi perbuatan kita. Tapi yang penting, kita tetap punya niat tulus untuk berbuat baik…..
Totalitas…
Mau memberi tanpa pamrih
Saya kira itu yang dimaknai dari tulisan
Romo Yosafat,OFM.Cap
Tinggal “awake dewe ” iso ora?
Matur nuwun
Kuss