KEMATIAN aktor peraih Oscar, Robin Williams (1951-2014), sungguh amat menyentak dunia. Aktor serba bisa dan selalu mengesankan ‘teduh’ dan sangat ‘menyayangi’ kehidupan itu tiba-tiba diberitakan mati bunuh diri. Loh kok bisa?
Film lawas Patch Adams yang saya tonton tahun 1995-an memberi kesan positif akan sosok bintang film tenar tentang bagaimana seharusnya sebagai manusia kita mesti mencintai kehidupan, menyayangi orang lain –terlebih pasien penderita penyakit terminal. Peraih penghargaan Oscar di tahun 1997 untuk katergori pemeran pembantu terbaik sebagai Sean Maguire dalam film Good Will Hunting itu ditemukan tewas bunuh diri di rumahnya di Paradise Cay, California, AS, 11 Agustus 2014.
Baca: “Patch Adams”, Senyum Menyembuhkan Jiwa
Adakah yang salah dalam perjalanan hidup sang bintang besar ini? Demikian pertanyaan banyak orang, termasuk saya saat itu. Ternyata diam-diam, sejak lama mulai akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an, Williams sudah mengakrabi kokain dan menjadi ketagihan akan barang laknat ini. Mulai tahun 2003, ia juga kecanduan minum alkohol dan tahun 2006 menjalani program rehabilitasi di Newberg, Oregon, atas ‘penyakitnya’ kecanduan narkoba dan alkohol tersebut.
Tahun 2014, ia kembali lagi menjalani program rehabilitasi di Lindstrom, Minnesota, untuk proses penyembuhan dari penyakit ketagihan yang sama.
Jauh-jauh hari sebelum menghabisi nyawanya sendiri, seperti dikatakan Mara Buxbaum dalam kapasitasnya sebagai juru bicara pribadi, alm. Robin Williams juga sering dilanda perasaan depresi. Di akhir cerita, semua pengagum aktor berbakat serba bisa ini menjadi syok ketika Robin Williams ditemukan tewas dengan cara menggantung dirinya di Paradise Cay.
Wang sinawang
Kita bertanya, apa apa dengan hidup manusia besar seperti almarhum Robin Williams ini? Tenar dan banyak uang, itu sudah pasti. Tapi, apakah ketenaran itu bisa membungkam “rasa sepi” yang mungkin saja menghinggapi hari-harinya yang penuh pujian dan kekaguman dari banyak orang?
Hidup manusia itu sungguh sebuah misteri. Orang Jawa dengan canthas-nya mengungkapkan hal ini dengan prinsip wang sinawang alias setiap orang itu pada dasarnya saling melihat satu sama lain. Kita mengira tetangga kita bahagia, eh ternyata tidak. Orang lain menyangka kita bahagia dengan kekayaan dan kemasyuran kita, eh ternyata hidup kita penuh dengan kesepian dan kesendirian.
Siapa sangka, di balik semua ketenarannya, alm. Michael Jackson, Whitney Houston –semua bintang besar di blantika musik — juga telah mengalami hari-hari panjang tersebut. Mereka ini meninggal meninggalkan duka cita, namun lebih besar daripada itu adalah tanda tanya: Apakah kekayaan itu tidak menjadikan manusia bahagia dan hidupnya menjadi berkat baginya dan orang lain?
Uang dan ketenaran sungguh tidak bisa membeli tidur yang nyenyak dan nyaman, sekalipun orang bisa membawa ke rumahnya spring bed bernilai ratusan juta.
Pertunjukan “motivasi”
Mari kita berkaca dan bertanya pada hidup kita masing-masing. Apakah kita ini bahagia dengan apa yang sudah kita miliki, yang sudah lalui sebagai jalan hidup, dan menerima hidup kita ini apa adanya dengan perasaan penuh syukur kepada Tuhan?
Kalau kita sudah sampai pada tahap rohani seperti itu, rasa-rasanya kita tidak perlu lagi butuh orang-orang yang kini dengan gagahnya disebut sebagai ‘motivator hidup’ tersebut.
Marilah kita menjadi diri sendiri dan menjalani hidup ini apa adanya disertai perasaan terima kasih, bersyukur dan berbuat kebajikan. Tidak perlu lagi berlama-lama menonton TV hanya untuk melihat sebuah ‘pertunjukan’ berjudul motivasi hidup dengan menu utama berupa rangkaian kata-kata indah, namun bukan contoh hidup yang indah.
trima kasih atas inspirasinya pak Mathias. Saya sangguh terinspirasi, apalagi dengan peristiwa aktual yang belakangan ini ramai di sosmed: tentang Mario Teguh dan Ario Kiswinar Teguh. Mohon izin untuk menanggapi tulisan ini dengan puisi yang saya tulis untuk Kompasiana. terima kasih.