Asal usulnya kolintang
MASYARAKAT Minahasa, sejak awal hidup bertani. Sejak subuh mereka sudah menyentuh tanah; biasanya di sore hari, sambil melepas lelah, sambil bersyukur atas segala hasil kerja sepanjang hari, Mereka bersenandung atau menyenangkan diri dengan dentang-denting lagu yang berasal dari kayu-kayu kering, yang dijejerkan dan dipukul sedemikian rupa sehingga menghasilkan bunyi, kemudian menjadi nada-nada yang indah. Suasana rumah, suasana hati pun menjadi penuh sukacita dan kegembiraan.
Nada-nada dominan yang dihasilkan adalah tong [nada rendah], ting [nada tinggi] dan tang [nada tengah]. Mereka saling mengajak: “Ayo main tong ting tang… Dalam bahasa daerah dikatakan: maimo kumolintang… Dari kumolintang ini muncullah nama ‘kolintang’.
Perkembangannya
Dasar yang sederhana ini kemudian berkembang; jejeran kayu diperbanyak, nada diperlengkapi sampai menemukan sol mi sa si. Perkembangan yang baru ialah, penggunaaan kotak atau peti di bagian bawah jejeran kayu, yang membantu dihasilkannya bunyi yang bergaung, bergema dan lebih panjang. Ini adalah pengaruh datangnya rombongan Pangeran Diponegoro yang pernah dibuang ke Minahasa. Ia membawa serta gamelan dan gambang. Contoh ini mempengaruhi bentuk kolintang yang dikenal sekarang.
Kolintang pernah menjadi bagian dari upacara-upacara adat atau ritual budaya alifuru (kafir) untuk pemujaan arwah para leluhur. Makanya ketika agama kristen masuk, alat ini sempat terdesak dan hampir hilang.
Berakhirnya Perang Dunia II, datangnya zaman kemerdekaan, ketika suasana lebih tenang, kolintang lebih berkembang lagi lewat Nelwan Katuuk. Ia berjasa menyusun nada kolintang menurut susunan nada musik universal. Kemudian makin berkembang dan peralatannya pun menjadi lengkap, mulai dari melodi, bas, cello, tenor, alto. Melodi berfungsi sebagai pembentuk nada utama sedangkan alat lainnya berfungsi sebagai pengiring, dengan variasi akord yang lengkap.
Bagaimana cara memainkannya? Untuk melodi, pemain menggunakan dua stick masing-masing dipegang dengan tangan kanan dan kiri lalu mengetuk nada-nada sesuai lagu. Begitu juga pemain bas, ia menggunakan dua stick, menggunakan tangan kanan dan kiri, memainkan nada sesuai akord yang dibutuhkan. Sementara pengiring cello, alto dan tenor, menggunakan tiga kayu, untuk setiap nada dari sebuah akord, yang dibunyikan serempak dengan menggunakan tangan kanan dan kiri.
Alat musik perkusi ini telah menjadi alat musik yang sangat indah, dan sejajar dengan alat-alat musik lainnya dari belahan dunia, budaya lainnya.
Menyambut para tamu IYD dengan kolintang
Sederhana saja, OMK Keuskupan Manado, mau berujar kepada para sahabat OMK se-Indonesia: Mari kita bersukacita, mari kita bergembira, sesudah bekerja keras seharian, sesudah perjalanan panjang, sesudah menantikan kegiatan besar kita, IYD… Tong ting tang… Maimo kumolintang…
Bagaikan paduan harmonis kayu-kayu ini, kecil, pipih, sedang, lembar, besar, panjang menyatu membangun sebuah ‘orkes simponi’ paduan dan padanan pelbagai kayu, begitulah persatuan dan persaudaraan kita menjadi satu, indah, oleh keragaman yang ada, oleh perbedaan yang memperkaya, yang menyempurnakan, yang mengarahkan kita kepada Pencipta kita yang Satu saja. Torang samua basudara, torang samua ciptaan Tuhan.
** Artikel lengkap dari naskah berita ini bisa diakses di website Dokpen KWI.
Hahahaja kalau tidak tau mengenai, Alifuru.. Tolong diam.