In Memoriam: Pater Bernard Zyzik CSsR ke Surga dengan “Kuda Trail”

0
667 views
RIP Pater Bernard CsSr, imam misionaris Sang Penebus dari Jerman di Pulau Sumba. (Ist)

PULAU Sumba, NTT, sekali lagi  kehilangan imamnya. Pada tanggal 6 Oktober 2016 lalu, Pater Bernard Zyzik CSsR (78) dipanggil Tuhan. Pastor kelahiran Berlin, 30 Januari 1938 itu datang ke Indonesia, khususnya Sumba, untuk menjadi misionaris pada tahun 1972.

Sejak awal kedatangannya ke Sumba, pastor yang lebih senang mengendarai motor trail untuk menjangkau umatnya di tempat-tempat yang sulit ini menunjukkan kecintaannya pada liturgi. Baginya, sebuah upacara liturgi harus disiapkan sebaik-baiknya. Karenanya, setiap kali akan memimpin misa baik di pusat paroki atau di stasi, ia selalu datang lebih awal.

Beberapa menit sebelum misa, ia akan menjelaskan hal-hal tertentu dan melatih umatnya menyanyikan lagu-lagu yang akan dipakai dalam misa. Bahkan, ia tidak hanya melatih bernyanyi, sedapat mungkin, secara singkat ia menceritakan kisah di balik penciptaan lagu tersebut. Tidak heran ia langganan menjadi ketua Komisi Liturgi Keuskupan Weetebula.

Pater Bernard, demikian ia biasa disapa, juga sangat menyayangi para misdinar atau yang di Sumba disebut ajuda. Imam yang ditahbiskan pada 15 Agustus 1964 ini selalu menciptakan suasana agar para misdinar mencintai tugas mereka, dan tentu saja mencintai ekaristi. Ia selalu punya waktu untuk duduk bersama dan bersenda gurau dengan mereka sambil sesekali membagi cokelat. “Mereka adalah mitra imam dalam melayani Tuhan, hati mereka harus senang saat melayani Tuhan,” ungkapnya selalu.

Pastor sederhana

Kesederhanaan sangat melekat erat pada imam yang sering menyapa umatnya dengan bahasa lokal ini. Selain lebih memilih menggunakan motor trail dibanding mobil, dalam berpakaian juga sangat sederhana.

Model dan warna bajunya selalu sama. Hem warna biru dipadu dengan celana abu-abu. Ia bahkan memiliki beberapa setel celana dan baju dalam warna dan model yang sama persis. Pola makannya pun tidak aneh-aneh. Ia tidak mau dikhususkan dalam hal menu saat berkunjung ke rumah umat atau ke stasi. Ia gembira bisa makan seperti umatnya yang sederhana.

Uniknya, ia selalu katakan bahwa dia ingin mati dalam pelayanan dan mau melayani siapa pun. Jika oleh karena kondisi fisiknya, ada umat atau rekannya memberi pertimbangan agar beristirahat atau tidak menjalankan tugas, ia akan marah. Salah satu contoh kecintaan pada panggilannya, pada tahun 1984, saat bertugas di ujung timur Pulau Sumba, dengan motor trailnya dia menempuh perjalanan seorang sendiri ke sebuah stasi.

Pada sebuah ruas jalan sepi, seseorang menahannya. Dengan senang hati ia berhenti dan mengajak orang itu naik di motornya. Ternyata orang itu adalah orang gila. Bukannya naik, dia malah mengeluarkan pisau lalu menikam sang imam. Lukanya di dada cukup parah, namun ia tetap melanjutkan perjalanannya untuk melayani umatnya dengan misa.

Ketika konfraternya menganjurkan untuk ke rumah sakit, ia menolak sambil mengatakan, dirinya tidak apa-apa. Ternyata kemudian, darah membeku di dadanya sehingga dilarikan ke rumah sakit di Surabaya.

Begitu cintanya pada motor trailnya, setiap kali ada yang iseng bertanya, sampai kapan naik motor trail, ia menjawab, “Saya akan naik trail terus seperti orang selalu tunggang kuda. Kalau bisa ke Jerman atau ke surga dengan trail, saya akan naik”.

Dan sekarang, Pater Bernard sudah kembali ke rumah Bapan. Bisa jadi, ia menempuh perjalanan ke alam baka bergelimang cahaya surgawi itu dengan “kuda trail” kiriman Bapanya dari Surga.

Selamat jalan, Pater.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here