SERUAN PASTORAL KWI 2016
STOP KORUPSI:
Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif
Segenap Umat Katolik terkasih,
Sidang KWI 2016 yang diawali dengan Hari Studi para Uskup yang juga diikuti oleh peserta Sidang KWI (31 Oktober – 2 November 2016) mengambil topik “Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif.”
Hari studi ini digunakan oleh para Uskup untuk mendengarkan kesaksian para penggerak anti korupsi serta berbagai langkah pencegahan yang mereka lakukan. Bahan dari berbagai narasumber itu didalami melalui diskusi-diskusi bersama untuk menemukan benang merah dari persoalan korupsi.
Perilaku koruptif telah begitu merusak dan menggerogoti kehidupan masyarakat, terjadi di mana-mana, baik di dunia bisnis, pemerintahan, lembaga negara, bahkan di institusi agama, termasuk Gereja. Korupsi dalam segala bentuknya telah menjadi kejahatan yang sistemik, terstruktur, dinamis, dan meluas dari pusat sampai ke daerah.
Melalui media massa, setiap hari kita saksikan persoalan korupsi diangkat ke permukaan, pelakunya ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman. Sangat memprihatinkan karena banyak dari mereka yang dihukum adalah pejabat negara dan tokoh masyarakat. Usaha pemberantasan korupsi bagaikan mengurai benang kusut, saling terkait, bahkan membentuk tali-temali yang tidak jelas ujungnya.
Pemidanaan dan pemiskinan para koruptor tidak mengurangi perilaku koruptif. Hari ini satu orang ditangkap, hari berikutnya muncul orang lain melakukan korupsi yang sama, bahkan lebih dahsyat, di tempat yang berbeda, seakan korupsi memang tidak akan ada habisnya.
Baca juga: Ignatius Jonan: Keadilan Sosial sebagai Obat ‘Corruption Out of Need’
Saudara-saudari terkasih,
Dorongan berperilaku koruptif bisa muncul dari dalam diri tiap individu maupun masyarakat di sekeliling kita. Dorongan dari dalam diri sendiri bisa disebabkan karena gaya hidup yang tidak seimbang dengan penghasilan, yaitu manakala gaji atau penghasilan tidak cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan hidup. Penyebab lainnya adalah sifat tamak (serakah, rakus) yang membuat seseorang selalu tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki. Di samping itu, sikap moral kurang kuat dan iman lemah sehingga orang mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Dorongan yang berasal dari luar (masyarakat) disebabkan oleh lunturnya nilai-nilai luhur budaya jujur, terjadinya pembenaran atas perilaku koruptif, serta lemah dan kurang berfungsinya penegakan hukum. Apalagi kalau ditambah faktor budaya setempat, yang sejatinya luhur tetapi pemahamannya dibelokkan secara tidak tepat, seperti sungkan, gotong-royong, solidaritas, dan kekeluargaan.
Baca juga: Wakil Ketua KPK Alexander Marwata: Gereja Harus Berani Kritis terhadap Perilaku Koruptif
Perilaku koruptif yang disebabkan oleh adanya dorongan-dorongan tadi akan bermuara pada korupsi, baik yang dilakukan secara pribadi maupun bersama-sama, yang ingin mengambil keuntungan secara tidak adil.
Perilaku koruptif meniadakan keadilan yang sejati. Alam, bumi dan segala isinya, diciptakan dan dianugerahkan Tuhan bagi semua orang. Bukan untuk diperebutkan, di mana yang kuat memperoleh banyak, yang lemah mendapat sedikit, bahkan mungkin tidak mendapat sama sekali. Bukan juga untuk kepentingan salah satu golongan, melainkan demi harkat kemanusiaan, martabat, keselamatan dan kesejahteraan bangsa kita.
“Nepotisme, korupsi, dan pemerasan tidak boleh kita biarkan, apalagi kalau didorong oleh keserakahan, atau didukung oleh suatu jabatan dan kekuatan politik“ (Surat Gembala Prapaskah KWI 1993).
“Korupsi membuat banyak orang semakin tidak tahu malu dalam memanfaatkan jabatan, kedudukan, dan kesempatan untuk memperkaya diri, keluarga, sanak-saudara, teman dekat, atau kelompoknya sendiri“ (Surat Gembala Prapaskah KWI 1997).
Saudara-saudari terkasih,
Para Uskup menyerukan perubahan mental untuk mencegah perilaku koruptif, baik dalam diri sendiri maupun di lingkungan masing-masing: jujur dalam tindakan, tidak menyalahgunakan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau golongan, dan tidak melayani orang-orang yang mengajak kita untuk berbuat korupsi (lih. Pedoman Kerja Umat Katolik Indonesia, Desember 1970).
Di sampingitu, iman harus kita kuatkan, gaya hidup kita perhatikan, dan kepekaan terhadap kebutuhan sesama harus kita tingkatkan hingga kita takut akan Tuhan, malu pada sesama, dan merasa bersalah pada masyarakat seandainya melakukan korupsi.
Kami para Uskup menyadari betapa perilaku koruptif juga menjangkiti sendi-sendi kehidupan menggereja. Pola korupsi yang ada dalam lingkungan Gereja biasanya mengikuti pola korupsi yang ada di lembaga-lembaga lain, misalnya penggunaan anggaran yang tidak jelas, penggelembungan anggaran saat membuat proposal kepanitiaan, menggunakan bon pengeluaran fiktif, meminta komisi atas pembelian barang, dan pengeluaran biaya yang dipas-paskan dengan anggaran pendapatan.
Umat Katolik harus berani berubah: Stop korupsi.
Korupsi adalah kejahatan yang merusak martabat manusia. Sulit diberantas karena sudah sedemikian mengguritanya. Pemberantasannya harus dilakukan melalui gerakan bersama dalam sebuah sistem yang transparan, akuntabel, dan kredibel. Tumbuhkan kepekaan dan kepedulian individu terhadap masalah-masalah korupsi. Berkatalah tegas dan jelas: “Stop korupsi.“
Libatkan diri dalam pemberantasan korupsi, mulai dari diri sendiri untuk tidak korupsi. Jangan memberikan uang suap untuk mengurus apa pun, tempuhlah cara yang baik dan benar. Jangan meminta upah melebihi apa yang seharusnya diterima sebagai balas jasa atas pekerjaan yang kita lakukan. “Jangan merampas, jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu. (Luk 3:14)”.
Jangan biarkan diri kita dibujuk oleh roh jahat yang menampilkan dirinya sebagai malaikat penolong bagi hidup kita (bdk. Surat KWI “Marilah Terlibat dalam Menata Hidup Bangsa, 12 Nov 2010). Cermati perilaku koruptif dengan hati jernih agar kita tidak mudah goyah oleh bujukan roh jahat. Sebagai orang beriman, sekaligus sebagai warga negara sejati, kita harus berani menghapus dan menghentikan korupsi sekarang juga.
Stop korupsi mulai dari diri kita sendiri, keluarga, lingkungan kerja kita, lalu kita tularkan kepada masyarakat di sekeliling kita. Jadikan sikap dan gerakan anti korupsi sebagai habitus baru dalam kehidupan kita sehari-hari. Allah yang menciptakan alam semesta begitu baik dan sempurna, menugaskan kita untuk menjaganya agar tetap baik dan sempurna, tentu akan memberi kekuatan kepada kita saat secara nyata mewujudkan hidup yang baik dan sempurna tanpa korupsi.
Berkat Allah selalu menyertai kita semua.
Jakarta, 10 November 2016
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
Mgr. Ignatius Suharyo Mgr. Antonius Bunjamin Subianto, OSC
Ketua Sekretaris Jenderal
Ref: Seruan Pastoral KWI 2016 Stop Korupsi: Membedah dan Mencegah Mentalitas serta Perilaku Koruptif