Kawan-kawan ingat, perumpamaan ini diceritakan Yesus dengan maksud untuk menjelaskan perihal Kerajaan Surga. Ia sudah sering mengajarkan bagaimana kehidupan kita di bumi ini bisa menjadi ruang leluasa bagi kehadiran Yang Mahakuasa. Oleh karena itulah saya menyampaikannya kembali dengan ungkapan Kerajaan Surga. Akan lebih mudah terbayang adanya wahana, ruang batin.
Mark dan Luc lebih suka menyebutnya Kerajaan Allah. Intinya sama, tetapi kedua rekan itu lebih menggarisbawahi yang hadir di dalam ruang batin itu, yakni Allah sendiri. Saya sendiri lebih menyoroti diri kita sebagai ruang tadi. Pemikiran saya ini ada latar belakangnya. Mari kita tengok kembali kisah penciptaan, khususnya yang terjadi pada hari kedua (Kej 1:6-8).
Bukankah pada hari kedua itu Allah menjadikan langit? Dan yang dinamaiNya langit itu berperan memisahkan air yang di bawah dan air yang di atas. Karena itulah mulai ada ruang bagi ciptaan-ciptaan berikutnya, yakni daratan, laut, tumbuh-tumbuhan, hewan sampai kepada manusia.
Dilingkupi surga
Boleh saya sebutkan, dalam bahasa Ibrani (dan Aram, dan Yunani), kata untuk langit yang kita bicarakan itu sama dengan kata bagi surga, yakni “syamaim” (Aram “syemaya”, Yunani “ouranos”). Berkat “syamaim” yang diciptakan tadi, berkat surga, maka bumi beserta isinya, dan khususnya manusia, kiini terlindung.
Jadi surgalah yang membendung kekuatan-kekuatan gelap serta kekacauan yang adadi seputar ciptaan yang dilambangkan dengan air-air. Jadi Pencipta menghendaki wahana kehidupan ini sejak awal dilingkupi oleh surga.
Bila gagasan Kitab Kejadian di atas diikuti, maka ciptaan bersama isinya tentunya juga dimaksud agar semakin menjadi tempat kehadiranNya. Oleh karena itu, Kerajaan Surga boleh dibayangkan sebagai wahana yang luas tak berbatas yang semakin terisi siapa saya yang ingin masuk berlindung di dalamnya. Yang datang terlebih dahulu atau yang sudah lama menunggu dan baru masuk belakangan akan mendapatkan tempat.
Yesus datang mewartakan bahwa Kerajaan Surga benar-benar sudah ada di dekat. Ia mengajak orang banyak bertobat – ber-metanoia – yang artinya bukan semata-mata kapok dari berbuat jahat dan banting setir, melainkan berwawasan luas melampaui yang sudah-sudah, maksudnya, tidak mengurung diri dalam pandangan-pandangan sendiri, tetapi mulai berpikir jauh ke depan meluangkan diri bagi kehadiran ilahi.