INILAH buku baru yang bicara tentang cinta dari berbagai perspektif yakni filsafat, psikologi, dan baru kemudian teologi pastoral. Buku baru Amorosophia ini dibesut oleh imam diosesan Keuskupan Malang yakni RD Andi Wibowo, puteri asli dari Weleri di Kabupaten Kendal, Jateng.
Menurut alumnus Seminari Mertoyudan tahun masuk 1980 ini, sebagai tema diskusi cinta selalu menarik untuk diperbicangkan. Baik di tataran ilmiah maupun apalagi diomongkan di kala waktu senggang sembari mengobrol tentang hubungan antar pribadi manusia.
Berikut ini beberapa ulasan pengantar dalam buku bertitel Amorosophia yang terbit di penghujung tahun 2016 ini.
Omnia vincit amor. Et nos cedamus amori. Cinta mengalahkan segalanya. Dan marilah kita menyerah juga pada cinta — Vergilius dalam Eclogae.
Mengapa cinta?
Tidak ada istilah yang begitu laris dan menarik untuk diucapkan, dibahas dan bahkan diperdebatkan selain kata ‘cinta’. Dari percakapan sehari-hari, novel, sinetron, sampai spekulasi teologis dan filosofis, istilah ‘cinta’ menduduki ruang utama hati publik di setiap usia dan di setiap profesi. Hal itu sudah menjadi hal biasa dan sehari-hari sehingga tidak perlu lagi dibahas serius.
Mengapa cinta masih perlu dipikirkan?
Ada beberapa alasan:
Pertama, ada banyak paradoks dalam cinta. Misalnya, sering orang mengatakan bahwa cinta itu ada di mana-mana, tapi mengapa banyak orang merasa tidak pernah menemukannya? Kalau antithesis dari cinta, yaitu kebencian, melukai hati orang, mengapa banyak orang justru mencintai orang yang dibencinya atau sebaliknya menunjukkan cintanya dengan membenci orang yang dicintainya?
Orang menyadari bahwa cinta selalu mengandaikan komitmen dalam relasi, namun mengapa banyak orang merasa tertekan karenanya? Cinta juga dirayakan di mana-mana sebagai peristiwa yang sangat membahagiakan, namun mengapa banyak orang menderita karenanya?
- Jika cinta itu membuat segalanya mudah, mengapa kerap juga membuat segala-galanya justru menjadi sulit?
- Jika cinta itu membahagiakan, mengapa ada banyak kontradiksi dan luka di dalamnya?
- Jika cinta itu merupakan jalan terbaik, mengapa banyak orang takut akan konsekuensinya?
- Jika cinta itu rasional, mengapa banyak orang menjadi irasional karena cinta? Sebaliknya, jika cinta itu irasional, mengapa orang mencari rasionalisasi dalam menjalaninya?
- Jika cinta itu merupakan sesuatu yang sangat berarti dalam hidup seseorang, mengapa banyak orang begitu mudah membuangnya? Semua paradoks ini sangat nyata dalam hidup sehari-hari sehingga orang tidak tahu lagi mana cinta yang sebenarnya. Orang hanya menjalani cinta tanpa sungguh-sungguh yakin dengan apa yang sedang dijalaninya.
Kedua, perlunya pemahaman akan makna cinta. Banyak orang meyakini bahwa cinta itu sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan namun jarang mereka berpikir bahwa ada sesuatu yang perlu dipelajari dalam cinta.
Orang beranggapan bahwa cinta itu sesuatu yang mudah dipahami dan dialami, sehingga tanpa belajar pun setiap orang mampu mengalami cinta. Jika benar demikian mengapa banyak orang merasa masih belum menemukan cinta sejati atau merasa ‘terlanjur’ menikah karena salah pilih pasangan?
- Mengapa banyak cinta berujung perceraian, atau berakhir dalam tragedi kekerasan dalam rumah tangga?
- Mengapa banyak orang merasa kesulitan menemukan partner hidup yang cocok sehingga perlu bantuan biro jodoh?
- Mengapa orang menganggap bahwa relasi-intim yang sebenarnya hanya didapatkan melalui relasi virtual media sosial seperti BB, FB, WA, Line, atau internet, dan bukan dalam relasi aktual yang sedang dijalani?
Data-data penelitian Maccoby terhadap para eksekutif dan manajer di Amerika berikut ini menunjukkan bahwa cinta oleh banyak orang tidak dihayati secara mendalam:
Banyak cinta juga berakhir tragis.
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama seperti diwartakan Kompas melaporkan bahwa dalam lima tahun terakhir perceraian di Indonesia cenderung meningkat 52%. Dari sampel data 2012-2013 saja, per hari ada 959 kasus perceraian, atau sekitar 40 perceraian setiap jam. Dari jumlah perceraian yang ada, 70% terjadi karena digugat cerai oleh pihak istri. Itu berarti 24 dari 40 perceraian tiap jam berupa gugat cerai. Di Makassar sendiri 90% perceraian disebabkan karena perselingkuhan.
Data lainnya tentang tingkat kebahagiaan dan depresi status menikah diungkapkan dalam buku The State of Our Unions. Marriage in America, sebagai berikut:
Seperti tampak dalam data di atas, sebagian besar responden berpendapat bahwa hidup menikah jauh lebih membahagiakan daripada hidup konkubinat/kumpul kebo maupun hidup single; begitu juga tingkat depresinya lebih rendah daripada hidup single dan hidup konkubinat. Ada korelasi yang cukup signifikan antara status menikah dan tingkat depresi.
Pernikahan akan mengurangi tingkat depresi seseorang.