PERAYAAN Natal di Indonesia tahun 2016 ini dirayakan dalam konteks yang khas. Konteks pertama yang extraordinary adalah kasus dugaan penistaan agama. Sesudah itu ada peristiwa pemboman gereja di Samarinda, penggrebekan KKR di Bandung, fatwa MUI tentang topi Sinterklas, dan kini kasus terorisme. Dalam konteks menakutkan seperti ini, apa makna kelahiran Yesus yang bisa kita batinkan?
Yang pertama, Natal adalah kelahiran Pribadi Yesus. Pesan “Allah beserta kita ini” begitu konkrit dalam realitas Indonesia yang menakutkan, mencemaskan, membuat marah, bingung dan seolah tanpa ujung. Tentang Natal, Paus Fransiskus mengatakan ini adalah sukacita, sukacita rohani, sukacita batiniah akan cahaya dan damai. Sukacita itu bukan karena lahir dengan banyak kepemilikan, kekuasaan dan kehebatan namun karena perjumpaan dengan Kristus.
Pada awal mula kekristenan, kita tidak menemukan apa pun selain pribadi Yesus Kristus. Ketika bicara soal kekristenan, kita tidak pertama-tama bicara soal konsep, doktrin, idiologi, sistem, kanon hukum, devosi. Kita bicara tentang seorang yang dikenal dalam sejarah yakni Yesus dari Nasareth.
Pribadi inilah yang dikisahkan dalam 27 kitab Perjanjian Baru. Orang beraneka ragam berkerumun di sekitar namanya. Orang bersukacita mendengarkan perumpamaanNya, orang bergelora mengikutiNya, orang menemukan jawaban dari segala jawabNya.
Selama masa Adven, Pribadi inilah yang kita tunggu dengan sukacita. Nubuat Yesaya mengajak umat untuk bersukacita, tidak takut. Pribadi itu digambarkan sebagai Raja Damai, Raja Adil, Penyelamat Dunia yang rendah hati.
Pada “perayaan menunggu” ini, kita melihat sukacita tokoh Yohanes Pembaptis, Maria dan Yusuf tatkala berjumpa dengan Yesus. Dalam sukacita yang membuncah, Maria pergi ke pegunungan Yehuda. Ia ingin segera berbagi sukacita. Bahkan bayi Elisabeth yang dikandungnya melonjak kegirangan begitu mendengarkan salamnya.
Bahkan mengutip Kitab Kidung Agung, alam dan gunung pun melonjak kegirangan. Bunga bermekaran dan angin semilir bersukacita atas kehadiran Allah menyertai kita, raja yang hadir. Semesta bernyanyi seperti malaikat. Bila pribadi berjumpa dengan Pribadi Allah, tak ada sikap selain sukacita.
Pada narasi Natal, para gembala yang mungkin tidak paham soal agama, aturan dan hukum, bersukacita tatkala berjumpa dengan Yesus. Sesudah itu masih ada Simeon dan Hanna yang melangkah ke senja kehidupan dengan damai karena perjumpaan.
Ada tiga raja dari timur yang bukan saja berjumpa Raja baru namun bahkan Penyelamat Dunia. Kontras dengan penjaga penginapan, meski berjumpa dengan Yesus namun dia tidak memberi ruang di rumah maupun hatinya. Kontras dengan para penguasa seperti Herodes, yang ingin berjumpa dengan Yesus untuk menunjukkan kuasa dan niat penghancuran.
Misi berbagi sukacita
Makna lain yang menarik dari Natal adalah maklumat sukacita yang dibagikan. Maria, orang yang bersahaja itu merupakan sosok pemberani pewarta sukacita segala bangsa. Ia tidak punya apa pun selain Pribadi Yesus. Dalam hati kita pu, mestinya ada suatu api yang menyala-nyala (Yer 20:9) yang tidak bisa kita tahan. Kita harus berbicara tentang Pribadi Yesus kepada yang lain. Kita harus membagikanNya, mencintai dan melayani orang lain sebagaimana Dia lakukan. Sebagai Gereja, inilah identitas kita, alasan keberadaan kita, misi kita.
Kita harus mengkisahkanNya sebagai Anak Allah, Penyelamat dunia, Pribadi yang melampaui segala impian manusia, Pribadi yang mampu mengisi seluruh kerinduan terdalam hati manusia. Yesus jelas-jelas lebih dari sekedar makna atas keberadaan manusia, penderitaan, sukacita, harapan. Sungguh membagikan Yesus sebagai anugerah lebih dari sekedar menjawab pertanyaan maha penting bagi kemanusiaan yakni dosa, pengampunan, kedilan, kebenaran, kedamaian, kemerdekaan, integritas dan kasih. Yesus lebih dari itu semua. Dia adalah jalan, kebenaran dan kehidupan (Yoh 14:6).
Sepanjang dua puluh abad, kekristenan berputar di sekitar NamaNya. Ada abad-abad penuh badai. Ada abad dimana dogma dan aturan lebih diperhatikan. Ada abad dimana kebenaran versi agama sendiri diagung-agungkan. Ada saat dimana upaya untuk pengembangan bangsa manusia, kesatuan dan arah yang tepat sungguh dikembangkan. Bagaimanapun juga, sepanjang sejarah ini nyata sudah bahwa Yesus adalah figur yang tak tergantikan, Dia seorang pribadi yang secara permanen valid, seorang Pribadi yang wajib di sepanjang zaman. Tanpa Dia, kekristenan berhenti memberi makna. Tanpa Dia, gereja tidak punya sesuatu yang ditawarkan.
Kalau orang beriman takut, itu bisa jadi karena mereka tidak berjumpa dengan Pribadi Allah melainkan hukum agama. Kalau orang beriman tercekat oleh simbol agama tanpa mengalami Pribadi yang disimbolkan, itu bisa jadi karena kita sibuk dengan teologi yang kering, dogma yang keras bahkan agama yang telah menjadi kendaraan politik. Kalau orang beriman merasa diri benar, mungkin perjumpaan pertama dalam agama adalah hukum, aturan atau kode moral. Kalau orang beriman takut berbuat baik, kurang ramah kepada sesama, kurang rendah hati, mungkin doktrin telah menggantikan hati nuraninya.
Memang ada perbedaan antara sharing pengalaman dan diskusi makna agama. Ketika pemahaman akan agama lain dialami sejauh analisa dan perbandingan, kita hanya berjalan di rel konsep, ide dan idologi tentang perbandingan agama. Meski ada nilai baik dalam hal ini, bagi kita, Yesus itu bukan sekedar objek studi. Dia adalah pusat pengalaman iman.
“Siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru” (2 Kor 5:17). “Kamu telah menerima Kristus Yesus, hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu” (Kol 2:6-7).
Iman kita kurang lengkap tanpa pengalaman perjumpaan dengan Yesus. Tidak mengherankan kita kurang menghangatkan orang lain dengan sharing iman kita akan Pribadi Yesus. Karena Natal adalah perjumpaan pribadi manusia pada Pribadi Allah, kita tidak mungkin tidak selain bersuka cita. Inilah buah pengalaman Natal. Tidak takut lagi.