JAKARTA, SESAWI.NET – Petani masih diposisikan sebagai kelompok rentan dan bodoh dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang sedang disiapkan.
Hal ini bertolak belakang dengan fakta bahwa petani Indonesia merupakan tulang punggung penyedia pangan dengan segala kreativitas dan pengetahuannya. Sehingga pandangan miring tersebut perlu diubah untuk mencapai kedaulatan pangan di Indonesia. Demikian pesan Aliansi untuk Desa Sejahtera menyambut Hari Tani, 24 September mendatang (23/8/2011).
”Kalau melihat dari sisi produktivitas lahan sawah, petani kita mampu menghasilkan produktivitas rata-rata 9 ton/ha/tahun, lebih tinggi dibanding China, Jepang, Korea.” ujar Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional ADS.
Belum lagi kemampuan untuk membenihkan jenis padi yang sesuai dengan kondisi iklim yang semakin ekstrim,seperti yang dilakukan para petani di Serdang Berdagai, Aceh, Tasikmalaya dan Indramayu, tambah Tejo
Sayangnya, semangat RUU yang diambil pemerintah RI malah tidak melihat potensi ini. Petani masih ditempatkan sebagai kelompok yang ”bodoh”, sehingga harus mendapat uluran tangan dari luar.
”Ujung-ujungnya ketergantungan seperti sekarang ini, dari benih, pupuk, petisida semua dari luar, pada akhirnya menyerahkan seluruh proses penyediaan pangan kita ke tangan swasta” Jelas Tejo.
Hak dasar untuk melindungi petani dan membuat petani berdaulat seperti hak atas pangan, benih, sumberdaya genetik, modal dan juga terbebas dari kriminalisasi merupakan muatan penting yang harus ada didalam Rancangan Undang-Undang Pelindungan dan Pemberdayaan Petani.
Perlindungan produsen pangan
Pentingnya perlindungan terhadap kelompok produsen pangan, juga ditegaskan M. Riza Damanik, ketua Pokja Ikan ADS.
”Kita juga memerlukan UU Perlindungan Nelayan yang benar-benar berfungsi mendukung kelompok yang menyediakan 70% kebutuhan ikan kita.” jelasnya.
Tanpa ada perlindungan yang berpihak pada nelayan tradisional, kelompok ini akan tersingkir dari proses penyediaan pangan bagi bangsa.
Untuk kelompok pekebun sawit mandiri yang mengelola sekitar 30% luas sawit di Indonesia, Achmad Surambo dari pokja Sawit, menilai minimnya perlindungan kepada mereka.
”Syukurlah MK mengabulkan permohonan judicial review UU Perkebunan No.18/2004 psl 21 jo 48, yang menggugurkan pasal kriminalisasi UU Perkebunan terhadap petani mandiri dan masyarakat adat”, ujar Achmad. Tetapi pekebun kecil perlu mendapat dukungan agar dapat mengelola perkebunannya secara maksimal dan berkelanjutan.
Sudah saatnya para produsen pangan skala kecil menjadi tulang punggung penyediaan pangan bangsa ini. Niat perlindungan bagi produsen pangan, khususnya petani yang tertuang dalam RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tanpa pengetahuan yang cukup, pemahaman mendalam dan kepercayaan negara, niscaya hanya akan berakhir pada penyerahan urusan pangan ke tangan para investor pangan. Kedaulatan dan kesejahteraan petani, serta Kedaulatan pangan petani, nelayan dan produsen kecil lainnya tidak akan pernah terwujud.