SIGNIS Indonesia: Rm Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ, ‘Martir’ dari Tanah Jawa (2)

0
5,480 views
Dua martir katolik di Tanah Jawa: RD A. Sandjaja Pr dan Fr. Hermanus Bouwens SJ. (Ist)

RICHARDUS Kardis Sandjaja adalah nama lengkap dari Romo Sandjaja. Ia adalah anak sulung dari pasangan Willem Kromosendjojo dan Richarda Kasijah. Kardis lahir di Desa Sedan, 20 Mei 1914 dan dibaptis oleh Pater van Lith SJ di Gereja Muntilan  pada tanggal 21 Juni 1914.

Setelah menginjak umur 7 tahun, ia dimasukkan ke sekolah Volks. Kecerdasan otaknya belum begitu tampak. Hal ini membuat teman-teman sekelasnya heran, ketika mendengar bahwa setelah lulus dari Vervolgschool, ia pindah ke sekolah KAMBING (Eenjarig Schakelschool) untuk melanjutkan pelajaran ke HIS (Hollandsch Inlandsche  School), sedangkan teman-temannya hanya naik ke kelas empat.

Baca juga:  SIGNIS Indonesia Dukung Gereja Lokal (1)

Bruder pengajar yakin akan kepandaian Kardis. Ia kerap mendekatinya dan memberinya buku berbahasa Belanda. Kardis yang menyadari pentingnya studi, meminta sebuah kamus kecil Bahasa Belanda kepada bruder. Sejak kelas empat, ia semakin rajin dan mengurangi kegiatan bermain. Ia ingin menguasai Bahasa Belanda, sehingga ia kerap menghafal istilah-istilah penting dalam kamus itu.

Konon Kardis berbadan tinggi dan berkulit sawo matang, menyerupai ayahnya. Ia adalah sosok pendoa. Ia berdoa sebelum dan sesudah makan, juga pagi dan malam. Setiap pagi, ia ke gereja untuk mengikuti Misa Kudus, walaupun ia mesti berjalan kaki. Hujan tidak menjadi halangan baginya.

Ia berkata, “Seperti halnya orang, setiap siang dan sore hari harus makan dan minum, begitu pula setiap pagi saya harus pergi ke Misa”.

Selain rajin ikut Misa, Kardis juga rajin berdoa Rosario.

Meski terkenal dengan kepandaiannya, orang-orang sekitarnya berkata, “Kardis pancen lembah manah,” yang artinya “Kardis memang bersifat rendah hati.”

Panggilan menjadi imam

Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Kata-kata Tuhan Yesus ini menginspirasinya untuk menjadi seorang pekerja di kebun anggur Tuhan. Ia ingin menjadi seorang imam yang sederhana.

Setelah lulus dari HIS dan MULO (Algemeene Middlebare School, Sekolah Menengah), ia melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi di Yogyakarta. Kardis menyampaikan keinginannya kepada sang ayah.

Ayahnya berkata, “Ya, terserah. Mudah-mudahan Tuhan menguatkan niatmu. Tetapi bapak tidak dapat membiayai, karena adik-adikmu juga masih memerlukan ongkos sekolah.”

Patung alm. Romo A. Sandjaja Pr, Bruderan FIC Muntilan, dan makam Romo Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ di Kerkop Muntilan, Jawa Tengah. (Ist)

Awal Agustus 1933, Kardis pergi ke Seminari Tinggi Kanisius di Yogyakarta. Ia mewujudkan impiannya yang ingin menjadi seorang imam diosesan. Alasannya adalah kala itu, di Jawa Tengah, belum ada imam diosesan.

Tanggal 22 Desember 1942, ia menerima Tahbisan Diakon, dan pada 13 Januari 1943, ia ditahbiskan menjadi imam di Muntilan.

Menjadi pastor di Paroki Muntilan

Karena perang berkecamuk,  karya misi di Jawa Tengah menghadapi kesulitan. Atas kebijakan Mgr. Albertus Soegijapranoto SJ, Romo Sandjaja ditunjuk sebagai Pastor paroki Muntilan.

Semula, ia tinggal di bekas rumah para bruder FIC di Sleko, pinggiran kota. Belum lama berselang terjadi kerusuhan, perumahan itu diserbu oleh orang-orang yang tidak senang dengan karya misi. Perabotan rumah hampir habis, tinggal sebuah tempat tidur tanpa kasur.

Para seminaris zaman baheula di Seminari Menengah Mertoyudan. (Ist)

Sedangkan kursi duduk tinggal sebuah, itu pun sudah agak rusak. Meja hanya satu, ukurannya kecil berasal dari bekas dapur, sehingga tidak dapat digunakan sebagai meja tulis yang layak.

Pastoran tidak memiliki uang untuk membeli perabotan. Romo Sandjaja tidak tega menerima derma umat. Untuk keperluan itu, tidak ada anggaran dari Keuskupan Semarang. Maka setelah misa kudus, ia mengambil keputusan dan mengumumkan ini, “Saudara-saudara yang memiliki meja atau kursi yang tidak diperlukan lagi, diharap menyerahkannya untuk keperluan di Pastoran Sleko.”

Selama berkarya di Muntilan, Romo Sandjaja disenangi umat. Benih-benih kekatolikkan pun tumbuh berkembang di daerah ini. Romo Sandjaja juga pernah berkarya di Magelang dan menjadi dosen di Seminari Tinggi Kanisius.

Romo Sandjaja mengakhiri hidup di kota kelahirannya sendiri. Senin, 20 Desember 1948, di seminari sedang berlangsung ujian. Menjelang sore hari, mulai terjadi pembumihangusan. Gedung-gedung pemeritah diperintahkan supaya dibumihanguskan. Api mulai menjalar ke mana-mana. Kompleks milik misi pun tidak luput dari kobaran api. Konvik (asrama biara) tempat tinggal anak-anak seminari juga terkena api. Anak-anak mulai mengambil air dan memadamkan nyala api.

Tiba-tiba datang kelompok Laskar Besar Hizbullah yang bersenjata, melarang mereka melakukan hal ini. Penyiraman dihentikan. Perabotan rumah dipindahkan ke tempat yang belum kena api dan rumah para bruder.

Ketika hari mulai gelap, kira-kira pukul delapan, beberapa orang dari Laskar Hizbullah mengundang para pastor untuk rapat. Mereka mau membicarakan mengenai keselamatan gedung-gedung misi dan personil misi. Romo Rektor curiga, ketika Fr. Bouwens SJ mengatakan kepadanya bahwa pertemuan itu akan diadakan di sebuah masjid. Romo rektor tidak mau pergi, karena tidak mau meninggalkan anak-anak seminari.

Romo Sandjaja menyanggupi diri mewakili para imam. Namun mereka belum puas dan mendesak, supaya semua imam Belanda datang dalam rapat itu. Fr. Bouwens SJ juga ikut pergi bersama Romo Sandjaja, mewakili para imam belanda. Bruder Kismadi juga ikut pergi.

Romo Sandjaja dan Fr. Bouwens SJ mengenakan jubah, sedangkan Br. Kismadi memakai pakaian biasa.

Tulisan kata Latin “Mementomori” menghiasi pintu gerbang kompleks pemakaman katolik (kerkop) Muntilan dimana jenazah Rm. A. Sandjaja Pr, Fr. Bouwens SJ, Romo van Lith SJ dimakamkan, Kata ‘mementomori’ berarti untuk dikenang.

Baru setengah jam mereka pergi, datang kembali lima orang untuk mengajak pergi semua imam lain, namun Pater van der Putten SJ dengan tegas menolaknya, sebelum Romo Sandjaja dan teman-temannya kembali. Tengah malam, kira-kira jam 11 malam, Bruder Kismadi kembali sendirian, tanpa Romo Sandjaja dan Fr. Bouwens SJ.

Bruder Kismadi menceritakan, bahwa mereka bertiga diajak berjalan lewat desa yang berkelok-kelok. Akhirnya, mereka berhenti di suatu tempat yang tidak dikenal. Kemudian bruder disuruh pulang kembali, karena ia memakai pakaian biasa. Ia dikira seorang seminaris. Baru saja ia pergi dengan kawalan dua orang, terdengar dua kali suara tembakan. Para pengawal menenangkan hatinya dan mengatakan tidak ada apa-apa. Bruder disuruh kembali dan memberitahukan bahwa para imam, pada malam itu, mereka akan diambil.

Malam itu mereka berkemas. Pukul  tiga pagi, Romo Rektor mempersembahkan misa. Orang-orang menduga, kalau malam itu adalah malam terakhir bagi para imam. Pagi hari pukul 08.00, datanglah perintah untuk mengosongkan seminari. Dengan sebuah pedati yang penuh muatan, berangkatlah para seminaris.

Romo Sandjaja belum kembali. Beberapa seminaris datang ke Sedan. Ada juga yang datang ke Desa Juwono ke rumah Pak Prawirasudarma. Mereka bertanya, apakah Romo Sandjaja bermalam di situ. Ternyata tidak.

Selasa siang, Pak Modin pergi dari Desa Kembaran ke Desa Sedan mencari Pak Willem. Modin adalah teman akrab Pak Willem.

Pak Modin dengan tenang memberitahu, “Pak nDjaja wau dalu wingking dusun Kembaran onten Rama Landi dibedili, lanjeng pejah. Bar niku onten malih Rama ugi dibedil. Terus dipejahi.”

Artinya, “Pak nDjaja, tadi malam di sebelah belakang Desa Kembaran ada Romo Belanda yang ditembak mati. Sesudah itu ada seorang Romo yang ditembak mati.”

Mereka berdua diam, tidak mengatakan sesuatu. Sesudah Pak Modin diberi minum teh dengan gula Jawa, Pak Willem, Pak Modin dan Yohanes Redjo ditemani Pak Yam menuju desa Kembaran. Mereka berempat mencari-cari di sekitar sawah di belakang Desa Kembaran.

Mereka semua terkejut, lebih-lebih Pak Willem, melihat sebuah gundukan tanah lumpur. Tampak jelas tumit seorang berkulit putih. Lalu mereka menggalinya.

Dalam keadaan telanjang, ditemukan mayat Fr. Bouwens SJ.

Kemudian mereka mencari lagi. Tidak jauh dari sana, dalam selokan kecil, di bawah sampah dan rumput basah, Pak Willem melihat ibu jari kaki Romo Sandjaja, puteranya sendri. Tangisnya pun tak tertahankan. Tubuh Romo Sandjaja penuh tusukan bekas benda panas. Hampir seluruh badannya membiru bekas pukulan. Bagian dahinya berlubang, begitu pun tengkuknya bekas terkena peluru senjata.

Frater Bouwens SJ rupanya mengalami penganiayaan kejam. Hidungnya tersumbat kayu runcing. Seluruh wajahnya berlumuran darah, terlihat pula bekas pukulan. Pak Willem minta, agar Pak Modin menguburkan kedua jenazah di pemakaman setempat. Umat pun segera tahu kejadian ini, demikian pula para seminaris.

Nisan dinding pusara Rm. A. Sandjaja di Kerkop Muntilan, Jawa Tengah. Tertulis di situ kata Latin “Natus” berarti lahir di Desan Sedan; “Defunctus” artinya meninggal di Muntilan. (Courtesy of Celina)

Tanggal 5 Agustus 1950, jenazah Romo Sandjaja dan Fr. Bouwens SJ dipindahkan dari Kuburan Kembaran ke Makam Katolik (Kerkop) di Muntilan, yang terletak di samping Bruderan.

Sampai sekarang jenazah Romo Sandjaja Pr dan Fr. Bouwens SJ dimakamkan di tembok Kapel Muntilan.

Mereka adalah ‘martir’ dari  Tanah Jawa.

PS: Naskah ini merupakan artikel ringkasan dari buku Mengenal dan Mengenang Rama R. Sandjaja Pr yang ditulis oleh para imam dan umat yang bersaksi tentang Romo Sandjaja dan Fr Bouwens.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here