Minggu Prapaskah 4, Tahun A 26.03.17: 1Sam. 16:1-13; Ef. 5:8-14; Yoh.

0
470 views
Ilustrasi (Ist)

Melihat dan Percaya, Keberanian untuk Tumbuh dalam Iman

KITA hari ini belajar melihat pertumbuhan iman dalam pengalaman orang buta yang dimelekkan. Kata penting yang dipakai Yesus berulang-ulang ialah terang dan melihat. Prinsip yang mendasari sikap kita dalam pertumbuhan iman ialah jawaban Yesus atas pertanyaan para murid: dosa siapa?

Kita sering mempermasalahkan kesulitan yang terjadi: mengapa?

Jawaban Yesus: pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan dalam dia dan dalam kita. Sikap proaktif dalam iman: bagaimana, apa yang dapat saya lakukan dalam situasi ini, itu yang membuat iman kita, hubungan kita dengan Tuhan, tumbuh.

Orang buta yang dimelekkan itu menjawab pertanyaan orang banyak: orang yang disebut Yesus, yang memelekkan aku dan aku tidak tahu Dia ada dimana. Ia melihat kenyataan, tidak punya sikap apa-apa. Orang banyak merasa heran. Tapi sesudah mereka membawa dia ke orang Parisi, mereka hilang. Yang mereka lihat tidak memberi perubahan apa-apa dalam hidup iman mereka.

Orang buta itu menegaskan kepada orang Parisi: Yesus itu Nabi. Ia tidak hanya melihat, ia mulai bersikap. Orang Parisi melihat dan menemukan masalah: kalau Yesus berdosa, mengapa dapat membuat mukjizat. Tapi kalau utusan Allah mengapa melanggar hukum Sabat?

Orang tua orang itu ditanya. Mereka pasti senang anaknya dapat melihat, tetapi mereka tidak mau terlibat, pilih jalan aman. Mereka melihat dan tidak mendapat apa-apa dari yang dilihat. Orang itu yang ditanya lagi, menjadi lebih jelas sikapnya. Ia, yang buta huruf dan tak berpendidikan karena cacatnya,  berani menantang orang Parisi untuk bersikap: mau ikut jadi murid Yesus?

Bahkan ia menegaskan: Yang dapat memelekkan mata orang yang lahir buta, pasti orang yang saleh dan melakukan kehendakNya, Ia datang dari Allah. Orang Parisi merasa bangga dengan latar belakang mereka: murid Musa dan menyatakan sikap mereka: Orang yang lahir cacat pasti kena hukuman Allah, lahir dari dosa. Mereka mengekskomunikasi orang itu. Mereka melihat kenyataan orang itu sembuh, tapi tak bersedia mengubah pandangan mereka.

Orang itu mendapat kasih karunia Allah. Mereka menolak apa yang terjadi, mereka menolak karya Allah, mereka menolak untuk percaya. Orang yang disembuhkan itu mengalami suatu goncangan iman yang besar. Ia sembuh, dapat melihat dan diekskomunikasi oleh bangsa dan agamanya. Setelah ia bertemu dengan Yesus, ia memilih untuk percaya dan sujud menyembah Yesus. Sedang orang Parisi yang menolak untuk melihat dan percaya, semakin jelas sikap mereka untuk bertahan dalam dosa.

Iman yang tumbuh

Orang buta yang melihat dan orang Parisi yang melihat tapi buta, merupakan contoh pertumbuhan iman. Orang buta itu setia kepada pengalaman imannya. Semakin ditempa dan ditantang, semakin teguh dan mendalam imannya. Dari sekedar tahu Yesus yang menyembuhkan dia, sampai menyembah yesus sebagai messias.

Orang Parisi, mereka berpegang pada pandangan: Orang yang lahir buta, pasti dikutuk Tuhan. Yang melanggar hukum Sabat, pasti orang sesat. Yesus mampu menyembuhkan orang yang cacat sejak lahir, tapi dia melanggar hukum Sabat, pasti Dia memakai kuasa jahat. Paham mereka, membuat mereka semakin tenggelam dalam kebutaan iman mereka.

Pengalaman hidup

Suatu malam, seorang suami pulang dari kerja lembur dan menemukan rumahnya gelap dan sepi. Ia masuk dan menyalakan lampu, tidak ada siapa-siapa di rumah. Di meja makan, ditemukan surat dari istrinya.

Ia pulang ke rumah orang tuanya, karena sudah tidak tahan hidup bersama suaminya, yang tidak perduli dan tidak sayang kepada anak-istrinya. Mereka sering bertengkar dan kadang-kadang terjadi istrinya lari pulang ke rumah orangtuanya.

Tetapi kali ini nampaknya istrinya serius. Ia membawa semua pakaiannya dan anaknya. Istrinya merencanakan untuk tidak pulang lagi ke rumah mereka. Alasannya sebenarnya sederhana. Istrinya minta dia pulang cepat untuk menyaksikan anak mereka tampil perdana dalam pentas tari dari sanggar dimana anaknya ikut berlatih. Tetapi ia menolak karena sibuk dan harus lembur di kantor.

Rei, si suami itu merasa tidak bersalah. Ia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, menyediakan segala kebutuhan isteri dan anaknya. Tetapi malam itu, menemukan rumah kosong tanpa isetri dan anak, dia merasa sangat kesepian. Tidak ada istri dan anak untuk berbagi kesuksesan kerja, membuat pekerjaannya nampak sia-sia.

Keesokan harinya, ia pulang juga ke rumah orangtuanya. Mereka terkejut. Ia yang biasanya sibuk, bisa pulang dan berlama-lama di rumah mereka. Tetapi melihat dia datang tanpa Lidya, isterinya, mereka maklum, ada masalah di antara suami-istri ini. Dengan bijaksana mereka tidak bertanya.

Mamanya menemai Rei duduk ngobrol dan papanya pergi untuk beli makanan. Baru saja mamanya mengambilkan camilan untuk teman ngobrol, HP mamanya berdering. Dari papanya Rei untuk mamanya: “Lupa kasih tahu. Tadi sudah saya buatkan the madu, ada di meja makan. Kamu minum sekarang, sebelum jadi dingin.”

Mamanya mengambil teh itu dan meminumnya. Baru dia duduk, telpon berdering lagi. Dari suaminya lagi. “Pulsa listrik harus diisi, ya. Kirimi aku nomer tokennya, biar aku belikan sekalian.”

Sambil menutup telepon, mamanya berkata kepada Rei: “Papamu itu banyak maunya. Baru juga pergi sudah bolak-balik nelepon. Gak tahu, habis berapa pulsa teleponnya sebulan.”

Baru mereka ngobrol sebentar, papanya sudah telepon lagi. “Di pasar ada ikan besar-besar. Kamu pasti suka. Nanti di rumah, kita masak bareng, ya.” Hanya dalam 20 menit, telepon dari ayah Rey terus masuk, ibu Rey juga menjawabnya dengan sabar. Padahal ibu Rey lagi nemenin Rey ngobrol, tapi malah lebih banyak telepon sama papanya.

Rey yang sudah tidak sabar langsung berkata, “Papa kok makin lama makin suka ngoceh? Padahal itu sampai rumah aja baru bilang kan sama aja, kenapa harus telepon?”

Ibunya malah tertawa dan berkata, “Ah kamu, apa yang papa kamu pikirkan, kamu mana mengerti? Ia bukan suka ngoceh, tapi dia selalu ingat akan rumahnya, setiap hal yang terjadi, dia selalu ingat akan rumahnya, jadi dia selalu telepon. Walaupun dia di luar, tapi hatinya tetap di rumah ini. Di rumah itu, nggak cukup cuman ada uang, rumah bukan tempat taruh uang, tapi untuk menaruh hati ini, kalau kamu menaruh hatimu di rumah, kamu pasti akan merasakan cinta dan kebahagiaan, nak!”

Rey memandang ibunya, saat itu dia tiba-tiba tersadar.

Ia ingat, setiap kali dia sibuk, dia tidak pernah ingat akan rumahnya. Bahkan, setiap kali telepon pulang ke rumah, dia selalu terburu-buru, dia selalu lebih mengutamakan makan bersama rekan kerja atau atasannya, lampu rumahnya selalu menantinya sampai tengah malam, tapi ia tidak pernah memikirkan kesepian istrinya di rumah. Anaknya sudah enam tahun dan selalu memintanya membawanya ke kebun binatang atau taman hiburan. Namun semuanya itu hanya menjadi janji yang tidak pernah jadi kenyataan.

Karena sibuk, atau karena memang hatinya tidak pernah ada di rumah? Hari itu ia pulang ke rumah keluarga isterinya, isterinya tidak mau pulang ke rumah.

Ia kemudian menjelaskan, “Tidak akan seperti dulu lagi, aku dulu mengabaikan kamu, aku dulu mengabaikan keluarga kita, aku pikir asalkan aku banyak uang, kita bisa bahagia. Aku hampir kehilangan cinta, aku janji akan selalu menaruh hatiku di rumah dan menaruh rumah ini di hatiku, apa kamu mau pulang sama aku?”

Lidya tidak menjawab, dia perlahan maju dan masuk ke dalam pelukan Rey sambil menangis.

Jangan sibuk terus

Sibuk, selamanya tidak boleh menjadi alasan, asalkan hatimu di sana, cintamu di sana, pikiranmu di sana, kamu akan menemukan waktumu di sana. Hidup adalah perjalanan, bukan hasil. Kamu tidak bisa menunggu sampai mencapai hasil baru mau menjalani hidup dengan baik. Jangan sampai karena pekerjaan, kamu kehilangan hidupmu sendiri. Mari kita giat bekerja, dan hidup dengan baik juga! Nikmati dan hargailah kehidupan kita sekarang ini. Uang itu tidak ada habisnya kalau kamu kejar, tapi kehidupan bahagia dengan keluarga itu, kesempatan yang gak bisa kamu tunda lagi. Keluarga, adalah tempat kamu menaruh cinta dan hatimu.

Orang-orang Farisi menaruh dengki dan kebencian dalam hati mereka. Orang buta itu menaruh kekaguman akan kuasa Allah dan syukur akan Yesus dalam hatinya. Sehingga ia, meski dikucilkan oleh orang Farisi, malah berani mengakui Yesus sebagai Kristus, penyelamatnya. Dan orang Farisi semakin tenggelam dalam kegelapan dan kebutaan akan kasih dan kuasa Allah yang terjadi di sekitar hidup mereka.

Bagaimana dengan kita?

Kita perlu menaruh keluarga dalam hati kita, tetapi juga kita perlu menaruh keluarga kita dalam hati Tuhan Yesus. Sehingga hidup, pekerjaan dan kasih kita meluap dari hati Tuhan, melalui keluarga kita kepada sesama di sekitar kita. Amin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here