DUA orang anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) datang menyambangi Ketapang di Kalimantan Barat atas udangan Komisi PSE-KKP-Caritas Regio Kalimantan. Kedua orang represetan KPK dari Jakarta itu adalah Pak Maruli dan Pak Abdul Asiz Suhendra.
Mereka berdua datang ke Pusat Pastoral Keuskupan Ketapang di Rumah Panjang Payak Kumang , Ketapang, hari Rabu tanggal 14 Juni 2017 lalu.
Topik pembahasan yang mereka bagikan daam sesi pertemuan itu adalah tentang intervensi KPK di sektor sumber daya alam. Namun, utamanya di sektor pertambangan, hutan, dan perkebunan. “Lemahnya regulasi memberi peluang dan celah orang untuk melakukan tindakan korupsi dan tidak semua persoalan pertambangan, hutan, dan perkebunan adalah masalah korupsi, ” ungkap Maruli.
Lebih jauh, ia mengatakan kalau ada hutan ditebang, maka tanah yang diusahakan untuk perkebunan itu harus dilihat apakah akan merugikan negara atau tidak. Juga harus dicermati prosedurnya dilakukan secara curang atau tidak; apakah di situ ada unsur pemerasan dan suap atau tidak; juga apakah telah sesuai dengan izin peruntukannya atau tidak.
Staf KPK lainnya yakni Pak Abdul Azis Suhendra mengatakan regulasi yang lemah dan tidak terbukanya komunikasi pusat dan daerah telah ikut menjadikan masyarakat adat selalu menjadi korban. Banyak pengusaha menguasai lahan melebihi izin yang dikeluarkan. Pun pula, ada banyak pengusaha telah mendapat bekingan orang kuat sehingga mereka itu tidak pernah muncul d ipermukaan. Itu yang menyebabkan muncul kesan bahwa para pengusaha itu sering tidak ‘tersentuh’ hukum.
Pertambangan di Batu Licin
Lalu muncul sharing yang disampaikan oleh seorang pastor seputar pertambangan di Batu Licin. Kisah itu merupakan fakta yang tak terbantahkan dan hal itu juga diamini oleh KPK sendiri. Intinya adalah betapa pengusaha tambang itu memiliki koneksi dan mendaptkan beking kuat dari Jakarta, dan betapa tidak berdayanya masyarakat kecil di sekitar pertambangan.
Lebih jauh, pastor tersebut mengisahkan, bekas tambang yang telah ditinggalkan itu menyisakan lubang besar dan derita yang berkepanjangan. ”Sungguh kami mengerti, namun juga tak berdaya,” ungkapnya.
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2017/06/IMG-20170615-WA0011.jpg)
Cetak biru Kalimantan Baru
Cetak biru Kalimantan Baru tidak bisa dilepaskan dari pengalaman penduduk setempat yang merasa telah terpinggirkan di sekeliling tanah dan hutan yang dulu menjadi wahana lingkungan hidup mereka. Sekurang kurangnya kita menjadi paham betapa gagasan Kalimantan Baru itu tidak bisa dilepaskan dari isu penyerobotan tanah, pengeringan sumber air, tercerabutnya masyarakat lokal dari akar budayanya sendiri yang memiliki nilai luhur kebersamaan, bahkan banyak dari mereka juga telah terusir dari tempat yang sudah mereka tinggali bertahun-tahun.
Simak ungkapan rekan kita Pak Hari dari Banjarmasin.
“Kalau hutan yang menjadi tempat kehidupan bertahun tahun kini telah dikapling-kapling seperti di Bukit Meratus, lalu bagaimana nasib mereka?,” katanya menggugat.
Mereka menjaga sumber air, namun mereka dikalahkan oleh undang-undang perambahan hutan. Mereka semakin terpojokkan bahkan juga ‘dikeroyok’ (baca: dikriminalisasi). Pertanyaannya, mampukah KPK menyuarakan kegelisahan dan keterpurukan kami?
Atau seperti pertanyaan Bruder Kris yang bertanya: “Adakah format laporan yang bisa kami pakai untuk menyampaikan data-data lapangan atau temuan-temuan dan tindakan koruptif itu kepada KPK dengan merdeka? Artinya, tidak ada intimidasi nantinya?”
Tidak terasa waktu dua jam bersama dua staf KPK berlalu begitu sangat cepat. Mereka telah memberi gambaran betapa rumitnya persoalan di sekitar hutan, tanah, perkebunan. Betapa massifnya intrik-intrik yang terjadi. Lebih dari itu, kisah seram tentang nasib para masyarakat lokal penghuni di sekitar hutan yang selalu menjadi korban ketidakadilan.
![](http://www.sesawi.net/wp-content/uploads/2017/06/IMG-20170615-WA0013.jpg)
Menarik ketika di akhir perjumpaan, penyelenggara ingin memberi tanda mata sebagai kenang-kenangan kepada KPK. Namun hal itu ditolak dengan sopan dan halus oleh Pak Abdul Asiz yang mengatakan: “Maaf, kami tidak bisa menerima, sebagai gantinya kami akan membeli oleh-oleh yang anda berikan.”.
Ia menjelaskan alasan penolakan menerima oleh-oleh tersebut. “Standar operasi prosedur (SOP) memang melarang kami menerima segala bentuk pemberian ketika kami sedang bertugas. Bahkan kami tidak boleh dijemput ataupun diantar,” ungkapnya.
Di sinilah kami belajar tentang kepatuhan, kejujuran, komitmen sebagai awal dari sebuah misi “mewartakan Kalimantan Baru bebas korupsi