WALAU pepatah mengatakan ‘jangan menilai buku dari sampulnya, toh ketika mulai membaca sebuah buku, saya selalu menilik sekilas sampulnya. Bagaimana pun, physical evidence suatu barang tetap punya peranan dalam menarik (atau mematahkan) perhatian kita.
Ukuran buku ini sudah menarik perhatian saya: berbentuk bujursangkar, tidak persegi layaknya buku pada umumnya. Cetakannya hard-cover dan tentu saja juga tak terasa ringan dengan hanya 160 halaman. Nah, hal kedua yang langsung membuat penilaian saya sedikit ‘naik’ adalah format judul yang ditata di sampul: merajut kata-kata.
Kalimat berbunyi “merajut kata-kata” mungkin terdengar puitis dan itu sudah biasa kita dengar. Namun, karena penataan letak tiap huruf yang tidak rata – sengaja diletakkan agak berantakan malah membuat pengharapan saya akan nilai buku ini sedikit naik. Ilustrasi sampulnya adalah sebuah mesin ketik zaman baheula telanjang tanpa tutup pita.
Tiga bagian
Buku ini berisi 44 rajutan-rajutan kata yang dibagi dalam tiga bagian besar: Rasa, Pikir, Hidup, dan seuntai doa yang mungkin dimaksudkan sebagai bonus untuk para pembaca. Tulisan yang tersaji beragam bentuknya – sebagian besar cerita pengalaman sang penulis seperti penuturannya tentang empat musim di Jerman tempat penulis pernah bermukim.
Ada juga cerita bijak terkenal yang pernah juga dimuat dalam buku kisah inspirasi alm. Romo Anthony de Mello SJ yang terkenal itu. Contohnya adalah kisah Rahib Tetsugen yang berniat mulia ingin menerbitkan Kitab Suci agama Buddha dalam bahasa Jepang. Tetsugen menjelajah tanah airnya untuk mengumpulkan dana. Ketika dana cukup terkumpul, terjadi bencana alam,
Tetsugen memutuskan menyumbangkan dana tersebut untuk menolong masyarakat. Demikian terulang lagi pada pengumpulan dana kedua kalinya. Akhirnya setelah berusaha ketiga kalinya, Kitab Sutra tersebut berhasil diterbitkan. Orang Jepang bercerita kepada generasi mudanya bahwa Tetsugen menerbitkan tiga Kitab Sutra dimana yang pertama dan kedua adalah buku terbaik dan tidak dapat dilihat dengan mata (hal. 96) .
Kaya perspektif
Semua kisah diberi renungan oleh sang penulis dengan menggunakan wawasannya yang sangat kaya, tampak dari referensi-referensi yang diberikan. Misalnya, penulis mengutip ilmuwan Albert Einstein, Immanuel Kant, penyair Robert Louis Stevenson, Aesop, Santo Agustinus, Lord Byron sampai Anne Frank.
Helai demi helai lembaran licin, tebal, dan mewah buku itu saya balik tanpa jeda.
Ah, selalu terdapat warna dalam sepenggal cerita yang tersaji. Itulah bagian yang paling berkesan: ilustrasi gambar yang menghiasi setiap esai. Gambar-gambar itu tidak hanya sekedar indah, tetapi berhasil menggenggam keinginan saya untuk membacanya, bukan sekedar melirik sekilas seperti ketika membalik-balik sebuah majalah misalnya.
Begitu kuat daya pikatnya, gambar tersebut malahan jadi sumber perhatian utama sewaktu saya melanjutkan membaca. Keserasian ilustrasi dan teks yang disajikan seakan merupakan satu kesatuan rajutan.
Langsung saya teringat dengan ungkapan: doa yang dilagukan lebih bermakna dan diterima. Kisah-kisah yang disajikan menjadi lebih hidup ketika dirajut bersama dengan gambar yang ditampilkan. Sungguh kreativitas yang patut dipuji dari penerbit Kanisius.
Judul buku : Merajut Kata-kata
Penulis : Stephie Kleden-Beetz
Penerbit : Penerbit Kanisius, Yogyakarta (Desember 2010)
Jumlah halaman : 160 hlm.