KALI ini judul “sinetron politik” itu adalah reshuffle kabinet. Ini benar-benar bak produksi sebuah sinetron. Untuk bisa segera naik tayang, sinetron butuh sutradara, talent management, audisi, dan tentu saja syuting dengan bintang-bintang menawan.
Reshuffle kabinet pun rupanya juga melakoni ‘drama’ yang sama. Sutradara bersama sang asisten sutradara mengadakan audisi. Kandidat-kandidat potensial dan dianggap mumpuni, berintegritas dan dipandang layak lalu dipanggil untuk wawancara. Tak seberapa lama setelah itu, lalu muncul pernyataan di layar TV: “Saya telah ditunjuk menjadi …”.
Boleh dibilang ini memang mirip-mirip audisi artis atau penyanyi dalam sebuah kontes perlombaan.
Tentu, lazimnya sebuah audisi, proses ketat menyaring kapabilitas dan integritas pribadi para kandidat layak diterapkan. Namun berbeda dari panggung sinetron atau talent management lainnya, kali ini drama politik ini bertitel reshuffle kabinet pada medio Oktober 2011 ini bak sebuah proses mendulang para calon sodoran dari berbagai talent agency. Kita semua orang tahu, talent agency dalam konteks ini adalah partai-partai politik.
Tidak bebas
Sutradara sinetron lebih bebas memilih kandidat artis sesuai karakter dan isi cerita yang mau ditayangkan. Drama politik bernama reshuffle kabinet ini agaknya tidak sebanding lurus dengan sinetron TV. Sutradara dan sang asisten sutradaranya terkungkung oleh kontrak-kontrak politik sebelumnya dengan sejumlah talent agency itu.
Hal sama juga terjadi tahun 2010, ketika muncul sas-sus di media massa akan ada reshuffle kabinet. Kasak-kusuk mencuat; begitu pula manuver ancam-mengancam pun membahana, hingga akhirnya sang pemilik kuasa bercakap pendek: “Saya tidak akan mengadakan reshuffle kabinet”.
Semoga saja, sutradara sinetron reshuffle itu masih mempunyai kemandirian politik untuk bisa menentukan manakah para calon artis yang mumpuni, bebas kepentingan partisan, dan tentu saja kapabel mengemban amanat tugas melayani rakyat itu. Sutradara dan asistennya tentu saja diharapkan berdiri tegar, tidak gampang goyah oleh berbagai manuver politik yang gegap gempita sering dimainkan oleh para talent agency lengkap dengan gaya ‘ancam-mengancam’nya yang menggelikan akal sehat.
Kalau memang tidak mampu, ya mengapa harus dipertahankan? Kalau memang hanya menyebar kegaduhan lantaran suka latah berkomentar, ya mengapa tidak segera diganti? Kalau di sana ada figur-figur nasional yang bersih, berwibawa, potensial dan bebas kepentingan politik kelompok, ya kenapa tidak segera dipanggil?
Bonum commune
Etika politik yang benar jelas mengajarkan, para pemimpin yang elok adalah mereka yang mampu mengusahakan kepentingan umum yang lebih besar daripada kepentingan kelompok dan apalagi interese pribadi. Ia tidak mengenal kompromi; juga tidak sungkan-sungkan mengambil langkah tegas atau memutuskan hal-hal fundamental yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Demi bonum commune itulah, kehadiran seorang pemimpin menjadi mutlak diperlukan dan memang harus ada untuk sebuah tatanan masyarakat modern. Kalau demi menjami tersedianya bonum commune itu saja tidak mampu, tentu siapa pun yang mengklaim dirinya “sang sutradara” tidak layak disebut pemimpin. Sebab, seorang pemimpin memang harus berani mengambil risiko tidak populer asalkan demi kepentingan terciptanya bonum commune itu.
Seorang pemimpin sejati tentu saja tidak terlalu acuh apakah dirinya terkenal atau tidak. Ia akan risau kalau cita-cita utama mengupayakan bonum commune itu gagal. Kalau pun tindakannya mengupayakan bonum commune itu tidak mampu mengakomodasi kepentingan para talent agency itu, ya sudah dia harus bisa berargumentasi dan bukannya malah berkompromi.
Sebab, demikian penegasan Joseph Joubert (1975-1824)—berargumentasi itu bertujuan bukan untuk memenangkan siapa atau apa, melainkan hanya demi sebuah kemajuan. Dan kemajuan itu di sini boleh saya tasfirkan sebagai demi tercapainya bonum commune itu yakni “Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.