SEORANG teman perempuan yang mahir berbahasa Mandarin berpesan agar saya selalu berhati-hati di Tiongkok agar jangan sampai kena tipu. Sebelum saya berangkat mengunjungi Negeri Tirai Bambu medio September 2011, pesan singkat itu saya pegang teguh, meski di hati terdalam saya juga tak mau meyakini kesan itu sebagai kebenaran nyata.
Toh, tidak semua orang jahat. Pasti ada satu-dua orang berhati emas. Begitu isi hati saya ingin menghibur diri sendiri. Apalagi, anggota rombongan saya juga ada yang berbahasa Mandarin sangat lancar.
Baik hati
Ternyata di RRC pun banyak orang suka berbaik hati. Dalam kondisi badan capai setelah menempuh perjalanan darat selama hampir dua jam dari Yangshuo menuju Guilin, mata saya tertuju pada seorang sopir taksi bernama Mr. Lie yang tengah istirahat siang di belakang jok kemudinya. Kami mendapat harga cukup fantastik sebesar 15 RMB untuk perjalanan pendek dari terminal bus menuju hotel penginapan kami yang biasanya hanya perlu 10 RMB saja.
Alih-alih dibuat kecewa, Mr. Lie malah menawari kami keliling kota dan mengunjungi beberapa objek wisata dengan tambahan biaya cukup dengan 20 RMB saja. Jadilah, bersama Mr. Lie kami sampai mengunjungi pusat kota dan masuk ke sanctuary paling terkenal di Guilin: Istana. Sebelumnya, kami malah diantar makan beer fish dan bebek Peking di sebuah resto terkenal, sementara dia rela menunggui kami makan setelah antri lama tak kurang dari satu jam.
Dua jam kami berkeliling mengintari objek wisata dimana pernah tinggal Dr Sun Yat Sen. Seorang pemandu pria menemani kami mengelilingi kompleks istana ini. Ketika acara tur selesai, kami segera beringsut meninggalkan lokasi menuju ke titik rendez-vouz sesuai arahan Mr. Lie yakni di exit gate. Ternyata, setelah lebih dari 45 menit menunggu di sebuah titik di seputaran pintu keluar, Mr. Lie tidak kelihatan batang hidungnya.
Saya lalu teringat akan pesan teman sebelum berangkat: “Wah, jangan-jangan kena tipu,” begitu isi pikiran buruk saya tentang Mr. Lie. Namun segera pikiran buruk itu lenyap ketika, telepon saya direspon dengan ramah, “Mohon maaf, segera saya datang dan jangan jauh-jauh dari pintu keluar,” begitu Mr. Lie merespon telepon kami.
30 menit kemudian, taksi Volkwagen warna merah hati itu pun muncul dari kejauhan. Kami bersorak senang, setelah hampir 1,5 jam menunggu kedatangan dia di tengah hembusan angin sejuk menjelang datangnya musim dingin.
Di ujung cerita, Mr. Lie memberitahu kami kalau dia memilih istirahat di rumah ketika kami asyik menikmati objek wisata Istana Guilin. Dia tegaskan tak mau ingkar janji menunggui kami, meski sepanjang waktu “kosong” itu sebenarnya bisa ngobyek mencari penumpang lain.
Tak seberapa lama, kami pun sampai di hotel tempat menginap. Ketika kami membayar ongkos taksi yang mestinya sebesar 35 RMB, dengan ramah Mr. Lie menjawab, “Cukuplah dengan 20 RMB saja”.
Ternyata, di Tiongkok masih banyak orang berhati malaikat.
Wah om udah pernah ke guilin .. Itu yg gedung kuning2 kampusku .. He he he .. Wangcheng nama tempatnya ..