In Memoriam Bu Martono, Filosofi Makna Gamelan di Seminari Mertoyudan (2)

0
1,211 views
Almarhum Bu Martono (kiri) bersama suami dan Romo Willem Pau Pr saat pesta perak imamat. (Dok. Romo Willem Pau Pr)

TEMAN-teman,  kemarin saat saya mendapat kabar duka cita terkait  berpulangnya  Ibu Martono diusia 90 an dan hal itu menimbulkan kenangan saat di Seminari. Tiba tiba terbayang perjumpaan dengan beliau saat saya masuk ke Seminari Mertoyudan tahun 1979.

Serba Jawa

Saya masih ingat teman teman angkatan kita (alumni tahun masuk 1979) hampir semuanya berasal dari Jawa Tengah Yogya, dan Jawa Timur. Namun, juga ada beberapa seminaris lainnya datang dari Bali dan Jakarta — seperti saya.

Sehari hari teman teman memakai Bahasa Jawa. Ngomel pun memakai Bahasa Jawa. Bercanda juga berBahasa Jawa, saling meledek pun memakai Bahasa Jawa. Berdoa pakai Bahasa Jawa. Kalau Atok (dari Yogya)  atau Wito (dari Bayat, Wedi) membuat guyonan dan semua teman tertawa,  saya hanya diam saja  karena tidak mengerti apa lucunya.

Baca juga:  In Memoriam Bu Martono, Guru Etiket dan Bahasa Jawa Seminari Mertoyudan (1)

Kalau bertanya ke teman teman  seperti alm. Wawan Dlogog tentang arti kata tertentu, malah diajari Bahasa Jawa kasar atau mengajarkan kalau ngomel, atau memaki dalam Bahasa jawa. Anehnya misuh-misuh dalam Bahasa Jawa lebih mudah diingat.

Bu Martono (berambut perak) bersama Romo Willem Pau Pr, imam diosesan KAS dan alumnus Seminari Mertoyudan tahun masuk 1976, saat merayakan pesta perak imamatnya. (Dok. Romo Willem Pau)

Kelas khusus Bahasa Jawa

Untunglah ada pelajaran Bahasa Jawa. Pesertanya para seminaris dari Jakarta dan Bali yakni Hermanta , Kasek, ada juga Anton Wuisan, Henry Sontani atau Romo Hadi Suryono Pr (kini Pastor di Paroki Alam Sutera, Serpong).

Saya perhatikan Hermanta, Kadek, Henry kog mereka bisa cepat mempelajari Bahasa Jawa atau Anton Wuisan –orang Manado– kog ngerti Bahasa Jawa. Atau Romo Hadi –anak Jakarta tapi Jawa– kog cepat berbahasa Jawa.

Cuma saya yang tidak bisa cepat ngerti Bahasa Jawa.  Mungkin karena itu,  saya sering mendapat waktu tambahan atau perhatian lebih dari guru Bahasa Jawa. Kadang almarhum Bu Martono mengajak saya dan mengundang datang ke rumahnya  di hari Minggu di Magelang.  Dalam kesempatan itu, saya diajari tata krama budaya jawa.

Nama guru itu adalah Bu Martono. Sore hari sambil minum teh, kami  belajar ditemani oleh Pak Martono.

Khasanah budaya Jawa

Setelah empat tahun belajar Bahasa Jawa,  tidak otomatis saya mahir berbahasa Jawa; apalagi memakai krama Inggil. Bahasa  Jawa saya terkesan kaku. Mendengarkan gamelan dan karawitan lumayan suka. Kalau nonton wayang kulit, saya lebih banyak tertidur karena tidak mengerti dialog yang digunakan.

Bu Martono tidak sekedar mengajar Bahasa Jawa tapi banyak mengisi budaya Jawa yang mengutamakan keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Saya merasakan budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan.

Bahasa Jawa memiliki aturan yang berbeda dalam hal intonasi dan kosa kata dengan memandang siapa yang berbicara dan siapa lawan bicaranya. Hal ini biasa disebut dengan istilah unggah-ungguh.

Aturan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa dan secara tidak langsung mampu membentuk kesadaran yang kuat akan status sosialnya di tengah masyarakat. Sebagai contoh, di mana pun seseorang dari etnis Jawa berada, dia akan tetap bersikap hormat kepada yang lebih tua walaupun dia tidak mengenalnya. Unggah-ungguh semacam ini dibentuk melalui keteladanan bahasa.

Arti gamelan

Di asrama ada berbagai alat musik. Salah satunya gamelan Jawa. Saya pernah bertanya apa artinya gamelan?

Bu Martono menceritakan makna nya dari simbol bunyi: neng-ning-nung-nong  yang berarti meneng, anteng, diam, hening dan menjernihkan pikiran. Karena itu, jika ada panggilan ilahi untuk  beribadat, misa atau doa harus segera pung-pung-pung (suara instrumen gamelan bernama kempul) segera berkumpul, dan ndang-ndang-ndang (bunyi kendang), cepat-cepat menjalankan. Itulah salah satu bentuk pengajaran yang saya terima dari Bu Martono terkait makna gamelan yang memberi pesan mengenai bagaimana proses hidup itu hendaknya dilakukan.

Apa yang saya alami selama empat tahun di Seminari Mertoyudan itu (tahun 1979-1982/3) bukan sekedar belajar tata Bahasa Jawa,  tapi diajak mengenal, menyelami indahnya budaya Jawa.

Terima kasih Bu Martono.

Bunga ungkapan duka bersungkawa dari Ikatan Alumni Seminari Mertoyudan (IASM)

Kemarin (Senin, 25 September), saya mendengar Bu Martono telah kembali ke pangkuan illahi di usia 93 tahun. Beliau telah kembali pulang menghadap Sang Pencipta.

Ibu Martono, sugeng kondur ing pangayunan Dalem. Mugi sare ing katentreman Dalem Gusti.  Nuwun sewu menawi rumiyin kito sami mboten mirengaken. Mugi kersa dados ibu ingkang tansah nyembahyangaken kagem para putra, wayah, lan murid. Mugi manggiho katentreman langgeng.

Bu Martono, selamat berziarah pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Semoga beristirahat dalam damai bersama Tuhan. Mohon maaf bila dulu kami abai mendengarkan pelajaran Ibu. Semoga Bu Martono bersedia terus mendoakan kami –anak-ana, cucu dan murid. Semoga mendapatkan kedamaian abadi. (Selesai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here