Dari gambaran awal film drama dan komedi berjudul “Forrest Gump”, yang diputar pada tahun 1994, aku berfantasi dan bermeditasi tentang buluh kecil. Film ini menceritakan tentang seorang pria bernama Forrest Gump yang dibesarkan oleh ibu nya dengan penuh perjuangan. Forrest sering diejek dan dijauhi oleh kawan-kawannya karena kecerdasannya yang di bawah rata-rata. Namun dengan hidupnya yang “mengalir begitu saja”, tanpa banyak ambisi,tanpa banyak “rencana”, ia tergolong sukses dalam hidupnya. Forrest Gump bagiku mengajarkan bagaimana menjalani hidup dengan mengalir begitu saja.
Kontemplasi: mengamati buluh ringan terbawa angin
Buluh kecil ringan itu terbang bersama angin. Tak tahu entah kemana. Melayang-layang. Meliuk-liuk. Kadang terbang ke atas lagi. Lalu ke bawah. Kadang hinggap di atas pohon tinggi. Lalu terbang lagi. Dan terbang lagi terbawa angin. Tak tahu entah ke mana. Yang pasti buluh itu akan jatuh ke bawah. Tetapi tatkala tidak ada orang mengambilnya, buluh itu tetap berada di tempat. Ia akan terbang lagi entah ke mana jika angin membawanya lagi. Meliuk-liuk. Berlenggak-lenggok. Tidak tahu entah kemana.
Sebagai manusia aku mempunyai rencana, mempunyai ambisi, mempunyai cita-cita, mempunyai nafsu untuk mengalahkan apa saja. Mempunyai angan-angan, romantisme dan proyeksi ke depan. Aku ingin menggenggam kuat-kuat apa yang menjadi ‘filosofi’ku saat ini. Tetapi nyatanya aku justru tidak tahan dengan genggaman cita-cita dan ide yang begitu sarat dalam benakku. Aku tidak tahan dalam ambisi dan rencanaku. Aku tidak tahan karena dalam kenyataannya aku justru sering kecewa.
Aku begitu sering khawatir akan hidupku. Aku begitu khawatir dengan apa yang kuhadapi. Aku begitu khawatir dengan masa depanku karena aku tidak dapat memegang secara pasti apa yang berada dalam genggaman tanganku. Aku khawatir apabila aku tidak dapat mewujudkan ambisiku, cita-citaku, rencanaku yang kini tergenggam kuat-kuat dalam tanganku. Aku khawatir tetapi aku tidak bisa melepaskan apa yang telah kugenggam erat dalam tanganku. Aku tetap tidak bisa melepaskan semuanya itu. Bagaimana itu mungkin. Bukankah melepaskan segala hal yang ada dalam diriku, yang kurintis, yang kumiliki, adalah sesuatu yang tidak rasional? Tidak masuk akal. Tidak mungkin. Dan aku akan sangat berat untuk melepaskannya karena dengan demikian aku harus keluar dari sarangku yang hangat.
Aku kembali pada buluh ringan nan riang yang lalu terbawa angin. Meliuk-liuk tanpa beban. Melenggak-lenggok tanpa muatan. Mengikuti irama dan harmoni yang ada. tanpa ambisi, tanpa cita-cita, tanpa proyek besar, tanpa tangan yang menggenggam kuat-kuat. Semuanya tampak ada begitu saja. Ia pasrah. Ia mau dibawa ke mana saja. Dan saya pikir ia begitu berbahagia dengan ‘ada’nya itu. Ia berbahagia dengan keberadaannya sebagai buluh itu. Tampaknya ia tidak memiliki tujuan. Tetapi saya juga percaya bahwa sebenarnya ia mempunyai tujuan. Sebenarnya tujuannya jelas yaitu jatuh ke bawah karena hukum gravitasi masih berlaku. Namun dalam pengembaraannya itu seakan-akan hukum gravitasi tidak berlaku karena tampaknya ia tidak jatuh ke bawah.
Ketika hampir menyentuh pucuk rumput tiba-tiba angin menerbangkannya ke pucuk cemara dan ketika sudah mau hinggap di puncaknya, angin membawanya lagi ke tengah-tengah kerumunan orang di pasar. Kendati demikian tampaknya buluh itu tidak merasa risau. Tujuan-tujuan sementaranya selalu dilewati dengan ringan. Ia bisa menuju ke atas rumput, atau ke atas atap, atau ke atas pohon bambu. Tetapi kiranya ia yakin bahwa jatuhnya akan ke bawah karena hukum gravitasi tetap berlaku.
Rasa-rasanya ketika aku mengarungi hidup, tujuan itu sering tidak jelas karena tujuan itu tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang aku ketahui dan apa yang aku maui. Bagaikan buluh itu, mungkin hari ini akan berada di atas pohon, mungkin hari lain terbang lagi ke pasar, dan tatkala angin membawanya, arahpun akan berganti. Tempat-tempat yang dihampiri buluh itu bukanlah tujuan utama melainkan hanya persinggahan saja. Tempat-tempat itu merupakan sebuah persinggahan untuk menuju persinggahan selanjutnya yang tidak akan pernah selesai. Ia tidak mau berlama-lama dan bernikmat-nikmat dalam persinggahan itu. Ia tidak mau dan tidak bisa. Karena ia tidak mempunyai tangan yang kuat dan kaki yang kuat untuk bertahan. Jika angin membawanya ia akan pergi lagi, entah ke mana. Ke persinggahan selanjutnya, mungkin. Betapa damainya buluh itu, betapa ia mampu melepaskan segala hal, betapa ia mau krasan dengan dirinya sendiri, menerima dirinya sendiri.
Pasrah itu tidak Malas
Apakah semuanya itu semua mengajariku untuk fatalistik, pasrah begitu saja, hanya kabur begitu saja diterbangkan oleh angin ke mana-mana? Tidak. Sekali-kali tidak. Aku mempunyai akal budi, perasaan, dan kehendak bebas. Aku dapat memilih. Aku dapat memutuskan. Aku tetap bisa bebas menentukan diriku sendiri. Aku menerima dan menggunakan segala kemampuan kodratiku yang istimewa itu tetapi aku tidak mau memutlakkannya. Bukankah dengan memutlakkannya, aku bagaikan buluh yang terkena percikan lumpur yang membuat berat untuk melayang sehingga tidak dapat lagi berbahagia terbang bersama angin? Tidak dapat lagi bebas bergerak. Tidak dapat lagi bebas melangkah. Tidak dapat bebas lari bergembira adalah sebuah siksaan. Siksaan yang disebabkan oleh diriku yang memang menggenggam kuat-kuat diri saya sendiri.
Aku tetap harus menjalani hidup ini dengan penuh keyakinan, tetapi tanpa ambisi, cita-cita, maupun proyek besar yang berlebihan. Aku memang mempunyai sasaran. Tetapi sasaran itu hanyalah persinggahan. Memutlakkan sasaran yang sebenarnya hanya merupakan persinggahan justru akan menciptakan kekhawatiran. Pemutlakan sasaran itu akan menenggelamkan tujuan. Yang penting adalah berpasrah, menyerah, tetapi tetap bekerja, tetap memanfaatkan segala yang ada dalam diriku. “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta pada jalan hidupnya?” (Luk 12: 25).
Photo credit: www.forest-gump.com, www.vectorstock.com