Seperti yang dilaporkan oleh www.ucanews.com, sekitar 55 delegasi Federation of Asian Bishops’ Conference (FABC), bertemu di Bangkok pada tanggal 19-20 Oktober untuk membahas tentang Perubahan Iklim (Climate Change). Dalam pertemuan yang disponsori oleh Miserior ini mereka sepakat membentuk sebuah badan untuk meningkatkan berbagai inisiatif, baik di tingkat FABC maupun Gereja lokal di Asia, dalam rangka mengatasi perubahan iklim.
Kerjasama yang efektif dan praktis dengan konferensi Uskup di benua lain dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga akan dibentuk. Selanjutnya, badan yang akan dibentuk akan melakuan refleksi teologis atas misteri dan kebenaran ciptaan Tuhan, serta tanggung jawab etis serta moral kita terhadap lingkungan.
Kardinal Oswald Gracias dari Mumbai mengatakan bahwa keterlibatan Gereja Asia untuk mengatasi perubahan iklim merupakan sebuah keharusan,”Kita tidak bisa menghindari hal ini (perubahan iklim). Masa depan tampak menakutkan, dan kita sebagai Gereja harus menentukan sikap.”
Bagaimana dengan Gereja Indonesia?
Tindak lanjut dari apa yang sudah disepakati oleh para uskup itu, termasuk yang akan dilakukan oleh Gereja di Indonesia, tentunya harus kita dukung. Perubahan iklim telah dan akan berpengaruh dalam banyak segi kehidupan, antara lain sumber daya air, limbah, kesehatan, pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, energi, dan sebagainya.
Pemerintah Indonesia telah menulis tentang perubahan iklim ini dan pengaruhnya dalam berbagai segi kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satu akibat yang diperkirakan paling banyak terkena dampak perubahan iklim adalah sector pertanian seperti tertulis di www.bappenas.go.id/print/2839/policy-paper/. Tanpa tindakan adaptasi perubahan iklim, diperkirakan pada tahun 2050, produksi padi nasional akan bekurang sekitar 20.3 – 27.1%, jagung berkurang sekitar 13.6% dan kedelai 12.4% dibandingkan produksi tahun 2006.
Jika demikian halnya, akan semakin banyak orang kelaparan. Dalam pemetaan kerawanan pangan, yang diterbitkan bersama oleh Badan Pangan Dunia (World Food Programme) dan Pemerintah Indonesia, http://www.foodsecurityatlas.org/idn/country/fsva-2009, saat ini saja, sekitar 87 juta orang di Indonesia berpotensi rawan pangan. Perubaha cuaca akan semakin memperburuk kondisi rawan pangan di Indonesia. Dalam edisi www.sesawi.net, tanggal 16 Agustus 2011, ditulis tiga artikel bagaimana kekeringan yang mengancam kelaparan sudah terjadi. Ketiga tulisan itu adalah “Gagal Panen, Rakyat Timor Barat Bisa Mati Kelaparan (1)”, “Biar tak mati lapar, Segera Kirim Bibit Jagung ke NTT (2), “Lapar di NTT: Para Pastor, Segeralah Turun ke Ladang (3)” . Ketiga artikel ini ditulis oleh Jack Berelaka, Direktur Yayasan Bina Swadaya (YBS) Kefamenanu dan aktivis penanganan kerawanan pangan di Timor Tengah Utara. Beliau juga seorang aktivis di Parokinya.
Gereja Indonesia perlu bekerjasama dengan segenap pihak, baik pemerintah, badan-badan internasional, lembaga swadaya masyarakat, dsb untuk bersama-sama menghadapi perubahan iklim.
Photo credit: www.unfccc.int