ADA tiga nilai utama yang berlaku di dunia olahraga dan itu dipatrikan sebagai code of ethics oleh Olimpiade. Nilai-nilai baku itu adalah citius, altius, dan fortius –tiga rumusan bahasa Latin untuk menjadi lebih cepat (dengan adjectivum cito), lebih tinggi (altus), dan akhirnya lebih kuat (fortiter).
Ketiga nilai itulah yang seyogyanya selalu dijunjung tinggi oleh setiap atlit atau siapa pun yang ingin bertanding secara sportif di setiap perhelatan olahraga.
Saking bermartabatnya ‘semboyan nilai’ tersebut, ketiga rumusan bahasa Latin itu sampai kini masih terpatri permanen di dinding pintu gerbang masuk kompleks Stadion Olahraga Senayan di Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, persis samping Kementerian Pendidikan Nasional. Intinya, reguhlah sportifitas dalam bertanding untuk menguji kekuatan fisik menurut kriteria citius, altius, dan fortius.
Baca juga:
Olahraga mampu menyatukan manusia dalam sebuah perhelatan besar. Demikian pula halnya dengan pentas musik.
Musik hasil peradaban manusia
Musik adalah ‘bahasa universal’ yang dimiliki sejarah peradaban manusia. Di dunia ini, nyaris tidak ada rumpun etnis mana pun yang tidak mengakrabi musik – apa pun itu bentuknya. Itulah sebabnya, setiap rumpun etnis selalu memiliki koleksi instrumen musiknya. Lebih dari itu, berbagai ragam nyanyian khas pun telah mereka ciptakan sebagai folklores yang menandai kekhasan masing-masing rumpun etnis tersebut.
Karena musik merupakan ‘bahasa universal’ manusia, maka aneka bebunyian yang terangkai dengan sangat indah itulah yang mampu menyatukan etnis mana pun dalam sebuah atmofir kebersamaan. Lionel Richie –vokalis andalan Commodores— telah membuktikannya dengan tembangnya All Night Long dalam ajang pesta olahraga Olimpiade tahun 1984 di Los Angeles.
Atmosfir sama kembali berulang dengan Reach. Inilah ‘bahasa universal’ Gloria Estefan –vokalis andalan Miami Sound Machine yang berdarah Kuba— saat mengumandangkan lagu indah ini di Stadion Atlanta saat berlangsung pesta penutupan Summer Olympics di Georgia, AS, Agustus 1996.
Lalu, Shakira – penyanyi seksi asal Colombia, Amerika Latin– mendesirkan aroma sukacita dengan tembangnya Waka Waka (This Time for Africa) di arena pembukaan World Cup 2010 di Afrika Selatan.
Namun, jauh tahun sebelumnya di tahun 1977, grup musik legendaris Swedia ABBA sudah meramunya terlebih dahulu dengan lebih melankolis lewat tembang manis Thank You for the Music:
I’m nothing special, in fact I’m a bit of a bore
If I tell a joke, you’ve probably heard it before
But I have a talent, a wonderful thing
’cause everyone listens when I start to sing
I’m so grateful and proud
All I want is to sing it out loud
So I say
Thank you for the music, the songs I’m singing
Thanks for all the joy they’re bringing
Who can live without it, I ask in all honesty
What would life be?
Without a song or a dance what are we?
So I say thank you for the music
For giving it to me
Lihatlah bagaimana musik dan nyanyian rampak hasil duet Agnetha Fältskog dan Anni-Frid Lyngstad dengan iringan kedua suami mereka –Benny Andersson dan Björn Ulvaeus– itu mampu melahirkan suasana ceria.
Yang sombre berubah menjadi riang-ceria:
“Thank you for the music, the songs I’m singing. Thanks for all the joy they’re bringing.”
Mempersatukan dan menyatukan dalam satu semangat
Paparan di atas membuktikan, musik itu memang ‘bahasa universal’ manusia yang bisa diterima baik oleh semua orang. Musik sungguh tak ‘kenal agama’.
Musik dan olahraga itulah yang mampu merangkul semua orang tanpa kecuali sehingga praktik diferensiasi sosial berdasarkan perbedaan etnis, warna kulit, agama, budaya primordial, dan bahasa menjadi usang dan tak berlaku lagi.
Itulah wahana semangat pluralisme yang dibawa PUKAT KAJ, setiap kali Profesional dan Usahawan Katolik Keuskupan Agung Jakarta membesut pergelaran musik berlabel Konser Natal. Program tahunan ini eksis sedari tahun 1993 hingga tahun 2017 ini.
Sepanjang 23 kali memproduksi Konser Natal itulah, nafas dan atmosfer musik sebagai ‘bahasa universal’ manusia selalu mengemuka dengan amat pasti dan jelas.
Diferensiasi sosial tidak berlaku di setiap proses produksi program Konser Natal besutan PUKAT KAJ. Lihat saja siapa yang tampil mengisi program tahun 2017 yang mengusung tema Colors of Christmas: Peace & Blessing.
Banyak musisi dengan latar belakang berbagai etnis, budaya, dan agama ikut nimbrung hepi dalam projek bersama ini. Pun pula para penyanyinya. Musik telah menyatukan mereka dalam satu semangat yang sama: menampilkan ‘bahasa universal’ manusia dalam sebuah gelaran panggung dengan rumus baku performing arts.
Kerjasama lintas usia
Semangat bersatu dalam sebuah gelaran seni di atas panggung itulah yang atmosfernya benar-benar muncul dalam tembang Walking in the Air, komposisi besutan Howard Blake untuk film The Snowman (1982). Tiga gadis belia muncul mengisi panggung. Mereka adalah Alicia Katrina Hartono, Caitlin A. Wiranata, dan Giselle O. Anggijono. Bersama mereka ikut mengisi ruangan di pentas adalah penyanyi Heny Janawati dan harpist Regina Handoko.
Tentang semangat kebersamaan dan ‘bahasa universal’ musik itu, Diono Suwarno bisa bicara banyak. Ia sungguh nglothok sangat hafal luar kepala ketika bicara sejarah proses produksi gelaran Konser Natal PUKAT KAJ sejak awal sampai sekarang.
Bahkan di konser Natal PUKAT KAJ perdana di tahun 1993, demikian Diono, konsep semangat multikultural itu sudah sangat kuat melekat.
“Lagu-lagu inkulturatif telah mendominasi konser perdana PUKAT KAJ bersama Vocalista Sonora asuhan Paul Widyawan dari Yogyakarta. Mereka tampil dengan pakaian tradisional berbagai daerah di Indonesia, lengkap dengan koleksi instrumen musiknya,” papar alumnus SMA Loyola di Semarang ini.
“Pada Konser Natal tahun 2017 dengan konsep Colors of Christmas: Peace & Blessing,” tambah Diono Suwarno, “PCC (PUKAT Christmas Concert) meminta Avip Priatna agar memasukan program lagu berbahasa Indonesia dan daerah agar warna ke-bhinneka-an Indonesia ikut muncul di atas panggung.”
Luar-dalam kompak sinergis
Sesungguhnya, suksesnya Konser Natal PUKAT KAJ ini takkan pernah bisa terjadi, bila para anggota PCC tidak menunjukkan etos kerjanya yang prima. Dedikasi dan kerja keras telah ditunjukkan oleh semua elemen panitia PCC.
Taruhlah itu mulai dari semua anggota seksi undangan yang menjaring penonton melalui jaringan pertemanannya dengan berbagai kalangan. Juga seksi sibuk di bagian donasi yang amat strategis. Lalu kerja keras dan serius orang-orang di balik layar untuk mengurusi gedung dan perlengkapan seperti yang selalu dikerjakan dengan semangat oleh Alfa Febrianto dan kawan-kawan.
Lintas umur dan beda generasi juga ikut mendominasi perhelatan ini di balik layar. Banyak alumni SMA Loyola di Semarang ikut masuk dalam barisan usher. Sementara sosok-sosok senior menjadi greeter. Yang lain ikut dibuat sibuk di bagian pameran dan lelang barang-barang seni. Kelompok lain mengurusi konsumsi, produksi cetak buku, multimedia, sekretariat, dan keuangan.
Liza Monalisa mendapuk kolega fotografer mengabadikan perhelatan ini.
Sebagai ‘bahasa universal’ yang lahir dari sejarah peradaban manusia, musik telah berhasil menyatukan berbagai pihak dalam satu ‘wadah bersama’.
Tahun-tahun ini, PUKAT KAJ ada dibawah manajemen kepemimpinan Ina Susanti sebagai Ketua dan Marcus Linggo sebagai Wakil Ketua.
Hanya tersisa waktu dua bulan bagi PCC bisa menyiapkan acara konser tahunan 2017 ini, setelah enersi dan perhatian mereka sudah terkuras terlebih dahulu dengan menggelar A Night with a Mission: Charity Concert 2017 tanggal 8 Oktober lalu. Namun berkat kerja serius semua elemen anggota PUKAT KAJ di bawah koordinasi Ketua PCC 2017 Setyo Handoyo Singgih, hanya dalam waktu dua bulan saja maka Konser Natal PUKAT KAJ Colors of Christmas: Peace & Blessing itu bisa menjadi terwujud. (Berlanjut)