TAHUN 2016 lalu, tanggal 18 Desember, hari Minggu Adven ke-4, pukul 03.00 WITA dinihari Pastor Jan van Paassen MSC dipanggil Tuhan di RS Hermana Lembean.
Tahun ini, tanggal 18 Desember 2017, harinya Senin dan masih dalam Adven Minggu ke-3.
Pastor Jan berumur 85 tahun 7 bulan dan 4 hari ketika meninggal. Namun. itu kalau dihitung dari hari kelahiran, tanggal 14 Mei 1931.
Kalau dihitung dari permulaan kehidupan, maka perlu ditambah lagi 9 bulan dan 10 hari dan akan menjadi 86 tahun, 4 bulan dan 14 hari. Karena di dalam kandungan ibu sudah mulai ada kehidupan manusia, begitu diajarkan oleh Gereja dan juga selalu diajarkan oleh P. Jan dalam kuliah kepada para frater.
Perayaan mengenang almarhum Pastor Jan secara sederhana dilaksanakan di Biara Karombasan kemarin dan dihadiri hanya sedikit orang, namun mereka itu orang-orang penting seperti: Mgr. Rolly, Mgr. Jos, Superior Daerah, Asisten Umum P. Poltje, Suster Pemimpin Umum DSY, Sr. Veronica Manaan, beberapa pastor, suster dan umat.
Tidak ketinggalan tentu adalah P. Sjaag Wagey, Ibu Rita dan Marcel yang menjadi teman dan sahabat sehari–hari Pastor Jan dalam hidupnya menikmati hari tuanya di Lotta. Pemimpin daerah menyerahkan kepada saya untuk memimpin Perayaan Ekaristi yang dihadiri oleh dua bapak uskup.
Tiga catatan penting alm. van Paassen MSC
Beberapa warisan rohani P. Jan yang saya angkat dalam renungan ialah:
Pertama, tentang hidup kekal
Pastor Jan mengusulkan untuk memakai AVE daripada RIP untuk mengenangkan orang yang telah meninggal. Alasannya, karena Ad Vitam Aeternam (AVE) itu dirasa lebih biblis daripada Requiescat in Pace (RIP).
Karena Tuhan Yesus mengatakan, “Barangsiapa percaya kepada-Ku akan memiliki hidup yang kekal” dan bukan istirahat kekal.
Hidup berarti dinamis dan aktif, melakukan aktivitas dan bekerja juga, bukan istirahat.
(Mungkin Karena P. Jan itu sosok pekerja keras dan tidak suka istirahat sampai hari tuanya pun, maka teologinya juga diwarnai oleh sifatnya itu. Juga karena teologi itu juga bercorak otobiografi atau diwarnai oleh sifat dan sikap orang yang berteologi).
Kedua, tentang api penyucian
Api penyucian atau neraka bukan diciptakan oleh Allah dan bukan Allah yang memasukkan seseorang ke situ. Allah Bapa yang Maha Baik, seperti perumpaan Yesus dalam Injil Lukas itu yang selalu menantikan anaknya pulang ke rumah dan bertemu dengan Bapa.
Allah yang sejati (bukan Allah yang digambarkan oleh para pengkotbah agama yang sering membingungkan umat) pastilah menghendaki anak–anaknya bisa masuk ke Rumah Bapa, ketika ia mereka meninggal.
Tetapi orang-orang itu sendiri masih merasa malu untuk masuk, karena merasa belum layak, masih ingat akan dosa-dosanya, belum berani menyerahkan diri sepenuhnya dalam pelukan cinta Bapa; masih ada sisa-sisa egoisme dan kelekatan diri; dan itu namanya Api Penyucian atau Purgatorium.
Sedangkan neraka adalah suatu “isolament” yang abadi atau ruang isolasi diri yang dibuat sendiri oleh manusia. Itu karena ketertutupan dirinya yang sedemikian rupa sehingga ia tidak mau bertemu dengan Allah. Kasih Allah yang mengundangnya untuk masuk ke surga (ke Rumah Bapa) itu ditolaknya.
(Kalau pengkotbah agama-agama cari gampang saja mengatakan: orang baik masuk surga; orang jahat masuk neraka; orang baik diganjar oleh Allah masuk surga dan orang jahat dihukum oleh Allah masuk neraka kekal).
Umat atau jemaat suka ikut–ikut saja, karena yang ngomong adalah pengkotbah.
Ketiga, tentang korban Kristus di kayu salib
Biasanya diterangkan bahwa karena dosa–dosa manusia yang begitu banyak melawan Allah, maka Allah membutuhkan silih supaya dosa melawan Allah itu diberikan “pemulihan kehormatan.”
Teologi Silih atau Expiatio dari Anselmus dari Canterbury itu menjadi sarana penjelasan paling sederhana dari makna korban Kristus di kayu salib untuk memberikan pemulihan bagi kehormatan Allah.
Menurut Anselmus, beratnya dosa tergantung dari subjek yang dilawan oleh perbuatan dosa itu. Perbuatan jahat yang dilakukan melawan Allah adalah yang paling berat, karena Allah adalah Maha Kuasa. Sehingga silih yang diperlukan juga yang paling tinggi, yaitu Putera Allah harus dikorbankan di kayu salib.
Namun teologi semacam itu memberikan kesan bahwa Allah Bapa itu jahat dan punya hati yang tega. Ia tega mengorbankan Putera Tunggal-Nya untuk memberi silih atas dosa–dosa manusia.
Pastor Jan van Paassen merasa bahwa teologi semacam itu tidak baik dan seperti menyudutkan Allah Bapa sehingga manusia tidak fair kepada-Nya.
Pastor Jan menyusun penjelasan teologisnya sendiri tentang pengorbanan Kristus di kayu salib dalam buku Devosi dan Deviasi (CP, 2007, hlm 41–51) dengan judul Ibu Donor dari Bagi Satu dari Dua Anaknya.
Ibu itu (bukan Allah Bapa) punya dua anak: satu laki dan satu perempuan; yang lelaki itu sulung dan kandung, sedangkan si bungsu itu perempuan dan anak angkat. Intinya, mereka berdua mengalami kecelakaan dan luka parah. Kebetulan kakak itu mempunyai sifat yang baik, jadi kalau ia mati pasti masuk surga.
Sedangkan adik itu masih agak nakal–nakal sehingga ia perlu hidup supaya bertobat. Darah ibu itu cocok bagi kedua anaknya. Namun karena ibu itu harus memilih, maka ia memilih mendonorkan kepada yang adik.
Ibu itu terlebih dahulu bicara dengan kakak dan kakak setuju. Akibatnya, kakak mati dan adik selamat. Ibu itu adalah Allah Bapa; Kakak adalah Yesus dan adik adalah umat manusia.
Teologi P. Jan van Paassen itu juga sesuai dengan doa dalam TPE halaman 224 (doa pribadi imam)
Maka, doa imam sebelum sambut Ekaristi juga diubah supaya teologinya menjadi ‘sehat’.
- Rumusan yang dulu: “Tuhan Yesus Kristus, karena kehendak Bapa dan kerjasama dengan Roh Kudus, dunia telah Kauhidupkan berkat kematian-Mu.”
- Rumusan baru: “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang hidup, karena taat kepada Bapa dan dalam kuasa Roh Kudus, Engkau telah menanggung kematian untuk menghidupkan dunia”.
Testimonial dari Mgr. Jos Suwatan MSC
Ini catatan tambahan Mgr. Jos Suwatan MSC untuk mengenang P. Van Paassen.
Sebelum makan malam, P. Sjaag Wagey, Mgr. Jos Suwatan dan Uskup Rolly menambahi pengalaman mereka saat pernah bersama dengan P. Jan van Paassen.
Saya rumuskan yang menjadi pengalaman Mgr. Jos saja.
“Seperti Joko bilang tadi, ketika P. Jan akan dibawa ke RS, saya kebetulan baru dalam perjalanan dari Tondano ke arah Manado dan waktu itu sempat bisa singgah di Lotta untuk melihat P. Jan. Ambulans kemudian datang dan ketika P. Jan sudah dibawa masuk dan pintu ambulanns mau ditutup, Jan melihat saya dan seperti mengucapkan selamat tinggal. Itulah pertemuan saya dengannya yang terakhir.”
“Pertemuan saya yang pertama terjadi di tahun 1963. Saya sebagai frater dan P. Jan baru datang dari Belanda sebagai doktor dalam teologi moral dan almarhum masih berusia 32 tahun. Dialah dosen pertama yang memang dipersiapkan dengan studi khusus. Sebelumnya para dosen di Seminari Tinggi Pineleng hanya diambil dari pastor paroki yang dianggap pandai dan mampu mengajar. Sesudah P. Jan, maka datanglah Pastor Hans Kwakman MSC, Pastor Wim van Betew MSC dan Pastor Kees Bertens MSC yang memang dipersiapkan untuk menjadi profesor atau dosen di Seminari.”
Memperbaiki bangunan gereja
Sebelum P. Jan datang ke Indonesia, ia pernah terlibat dengan pekerjaan-pekerjaan membantu atau merenovasi biara–biara sesudah Perang Dunia II di tahun 1950an. Waktu itu, di Eropa, baik awam maupun imam harus bekerja tangan untuk merenovasi biara–biara yang telah rusak karena perang.
Karena punya pengalaman itu, maka P. Jan sebagai dosen muda lalu berinisiatif mengajak para frater di Pineleng bekerja tangan merenovasi gereja–gereja. Mulai dengan Gereja Paroki Warembungan yang dekat Seminari sampai ke Gereja Tompaso Baru yang sangat jauh.
Waktu itu, frater-frater naik truk dan memperbaiki Rumah Sakit Kancia dan mengecet beberapa gereja di Tompaso Baru. Perjalanan sangat berat dan lama karena masih banyak sungai tanpa jembatan.
Setiap kali lewat sungai, perlu disediakan dua batang pohon kelapa agar truk bisa melintas di atasnya dengan sangat hati–hati. Pengalaman itu membuat para frater di Pineleng mempunyai pengalaman pastoral yang baik dan kedekatan dengan umat.”
Ikuti Konsili Vatikan II
Pastor Jan mendampingi Uskup Mgr. Nicolaus Verhoeven MSC mengikuti Konsili Vatikan II di Roma.
Kembali dari Konsili itu, ia membawa pembaruan–pembaruan Konsili untuk diterapkan dalam pengajaran di seminari dan mempunyai sikap yang terbuka untuk dialog ekumenis juga dengan UKIT (Universitas Kristen Indonesia) Tomohon.
Pastor Jan adalah pekerja keras dan ia memang bekerja sangat keras, sangat rajin dan mengajak para frater juga untuk bekerja dengan rajin.
“Saya mengenal dengan baik keluarga Jan di Belanda, karena saya belajar di Belgia dan sering datang ke rumah keluarga besar Jan van Paassen. Begitu sekilas pengalaman saya tentang P. Jan,” kata Mgr. Jos Suwatan MSC.
Peringatan malam kemarin dilaksanakan secara sederhana, namun diisi dengan sharingsharing pengalaman beberapa orang yang mengenal dari dekat Pastor Jan.
Uskup Rolly sendiri adalah murid dari P. Jan sebagai frater; dan rekan dosen mengajar bersama-sama; dan kemudian menjadi provinsialnya.
Ketika uskup Rolly diumumkan menjadi Uskup Manado, P. Jan sudah meninggal.
Selamat berbahagia dalam hidup kekal Pastor Jan van Paassen, MSC
Ad vitam aeternam.