Natal: Ketika Allah Menjadi Anak Manusia

1
768 views
Ilustrasi by Crèche de Noël,église de la Visitation

SEANDAINYA Yosef tidak mengikuti perintah malaikat dalam mimpinya, seandainya Bunda Maria tidak menjawab YA terhadap panggilan Allah untuk menjadi Bunda Kristus; Seandainya dalam dua ribuan tahun ini, semua orang tidak menjawab YA terhadap panggilan Allah; masihkah kita merayakan Natal?

Inkarnasi: Keberaniaan Allah

Natal adalah peristiwa iman, dimana ke-Sekarang-an Allah datang dan diam dalam ke-Sekarang-an manusia, supaya ke-Sekarang-an manusia diangkat dalam ke-Abadi-an Allah.

Merayakan Natal adalah sebuah pengakuan akan nilai kemanusiaan kita, bahwa Allah masuk dalam realitas hidup manusia, terlibat di dalamnya, dan mengintervensi keberlangsungan atau proses hidup manusia.

Dari kaca mata antropologi, Natal dilihat sebagai ‘keberanian‘ Allah melepaskan atribut ‘Kemahakuasaan dan Kebesaran-Nya“ dan masuk dalam keterbatasan konteks dan  menjadi manusia dengan segala keterbatasannya. Peristiwa ini secara politis dilihat sebagai kemunduran Allah, bahkan kebodohan Allah, sehingga melahirkan frase bahwa Allah tak beranak.

Sesungguhnya, masuknya Allah dalam konteks, melalui peristiwa inkarnasi, adalah untuk menjawabi pertanyaan ontologis tentang keberadaan manusia.

Allah menjadi manusia

Pertanyaan darimana dan kemana hidup kita, pertanyaan tentang arti hidup ini, bisa dijawab dalam konteks inkarnasi “Allah menjadi manusia.“ Ketika Allah berani mengambil keputusan untuk menjadi manusia, yang berawal dari menjadi Anak kecil di Betlehem, itu berarti Allah berani untuk masuk dalam ke-Sekarang-an manusia.

Salah  satu indikasi kesekarangan manusia adalah bahwa manusia selalu berada dalam konteks dan budaya tertentu. Masuknya Allah dalam konteks dan budaya tertentu, memberi ruang kepada manusia untuk mengekspresikan relasi dengan Allah sesuai dengan konteks dan budayanya. Inilah Inkulturasi.

Melalui inkulturasi terjadilah pengintegrasian Gereja (umat dan iman Kristiani) ke dalam kebudayaan setempat, sehingga Gereja dan penghayatan imannya tersalur di dalam unsur-unsur kebudayaan yang bersangkutan, memperbaharuinya dan menjadi kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, dan bahkan memperkaya gereja universal dan dengan tetap menjaga satu kesatuan (communio).

Inkarnasi menjadi tolok ukur kebersediaan Allah mengambil bagian dalam keseluruhan eksistensi manusia, dimana Allah menganuhgerahkan anakNya yang tunggal agar melaluiNya kita boleh menyapa Allah: Abba, Bapa. Inilah anugerah terbesar dari peristiwa natal, bahwa Allah masuk dalam kehidupan manusia dan menjadi Anak, agar kita boleh menyebutNya Bapa.

Inilah revolusi teologi Kristiani, yang memberi kemungkinan kedekatan emosional antara Pencipta dengan ciptaanNya. Ketika nama Allah tidak boleh dilafalkan, ketika Allah dikonsepkan sebagai yang tidak bisa disentuh, sebagai Dia yang berada di balik gunung dan bukit, muncullah teologi Kristen yang mendeklarasikan wahyu, pernyataan diri Allah dalam rupa bayi mungil di Betlehem.

Dalam peristiwa Betlehem ini, Allah tidak hanya konsep yang berada nun jauh di singgahsana surga, tapi Dia menjadi manusia, menjadi terang bagi dunia dan menyelamatkan dunia, ya mentransformasikan manusia menjadi insan ilahi: menjadi anak Allah.

Apa makna Natal 2017 bagi kita?

Natal adalah kabar sukacita bagi semesta. Sang Mesias telah lahir di dunia dan Dia ingin berada terus dalam palungan hati manusia. Semua kita ditawari oleh rahmat istimewa ini: Allah ingin diam dalam hidup kita.

Ketika kita terbuka bagi kuasa Allah, maka kita menjadi anak Allah yang mewartakan kebenaran kepada dunia dan mengajak dunia untuk membiarkan diri disinari oleh terang keselamatan yang menaungi Betlehem.

Ketika kita membiarkan Allah tinggal dan bekerja dalam diri kita, maka kita menjadi pewarta damai di setiap jalan kehidupan kita. Menjadi paradoks bila kita memproklamirkan diri sebagai orang yang dekat dengan Allah, menjadi anak Allah tapi membiarkan disharmoni, dan bahkan menjadi minyak penyulut ke-chaos-an dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Peradaban politik

Juga Natal 2017 menjadi momentum refleksi peradaban politik, seperti Pilkada yang akan dipentaskan di atas peta waktu 2018. Kiranya, kehadiran Allah yang menjadi manusia, memampukan kita menjaga harga diri, martabat dan kekuatan yang diberikan Allah kepada setiap insan.

Harga diri ini termasuk dalam menolak berbagai praktik kolusi, koruptif, nepotisme, rasis dan sukuisme yang mungkin dipentaskan oleh para pemain di panggung politik Pilkada 2018.

Mari kita mencari solusi, bukan kolusi, mari kita untuk tidak berhenti pada kata-kata, diskusi saja, tapi eksekusi setiap keputusan demi keadilan sosial dengan menjadi pluralitas sebagai dinamit untuk kesatuan dan kemajuan bangsa.

Mari kita membangun bangsa dan peradaban kita, mengangkat jati diri dan menjadi manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga, Gereja, bangsa dan negara.

Pesan Natal Paus Fransiskus

Saya menutup refleksi ini dengan kata-kata Paus Fransiskus dalam Surat Natalnya kepada seluruh uskup di dunia.

Kebahagiaan kristiani, kemeriahan natal, menurut Paus Fransiskus, tidak boleh berdiri sendiri di titik batas realitas kehidupan manusia, apalagi bersikap masa bodoh seolah-olah realitas itu tidak ada.

Kebahagiaan kristiani bersumber dari sebuah suara, suara yang sama juga yang menginspirasi Yosef dari Nazareth untuk melindungi hidup, terutama hidup mereka yang sama sekali tidak berdosa. Paus Fransiskus mengatakan: „Natal adalah waktunya dimana hidup ini betul-betul dijaga, dihidupi dan membiarkan setiap orang berkembang di dalamnya.

Natal mesti menginspirasi setiap kita untuk menjadi seperti „Gembala di Betlehem“ bagi yang lain.“

Saudara-saudariku sekalian, salam damai Natal 2017.

1 COMMENT

  1. Allah hendak menyelamatkan manusia, dengan cara manusia, daya pikir manusia dan dengan segala situasi kekinian manusia. Allah yang memang peduli….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here