LIMA puluh tahun pertama, para misionaris yang datang di Indonesia sejak tahun 1808 adalah para imam praja dari Belanda. Itu karena memang peraturannya demikian dan mungkin juga belum ada tarekat religius yang siap diutus, kecuali Ordo Fransiskan dan Jesuit yang sudah lama berdiri.
Tarekat-tarekat lain pada tahun itu belum berdiri. Tarekat MSC baru berdiri tahun 1854, setelah para imam praja Belanda itu puluhan tahun bekerja di Indonesia (Hindia Belanda).
Tentang kedatangan dua imam praja Belanda itu, kita mendapatkan informasi dari Romo Rudolp Kurris SJ sebagai berikut:
“Pada tanggal 4 April 1808 itu, Pastor Nelissen dan Prinsen turun dari kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa. Sementara para penumpang yang semuanya orang Belanda disambut dengan gembira oleh sanak saudara para penjemputnya dengan peluk dan ciuman gembira, kedua imam itu kebingungan tidak tahu mau jalan ke mana. Mereka memanggil kusir delman untuk memasukkan koper-koper mereka dan mencari penginapan yang murah. Sebagai imam-imam misionaris, mereka tidak dapat menyewa hotel yang mahal.
Hanya dua atau tiga hari mereka tinggal di penginapan, mereka bertemu dengan seorang dokter Katolik bernama Dr. Assmuss, yang merasa heran mengapa imam katolik diperbolehkan datang ke Hindia Belada (Indonesia).
Ia bertanya apakah situasi di Belanda sudah berubah sehingga pemuka agama Katolik sudah diizinkan masuk di tempat jajahan Belanda ini?
- Assmuss bertanya kepada kedua imam itu: “Maaf, bagaimana saya harus menyapa tuan-tuan?”
- Pastor Nelissen menjawab, “Dokter boleh menyapa kami dengan sebutan “Pastor”.
- Pastor Prinsen menyela, “Karena beliau ini sudah diangkat oleh Bapa Suci sebagai Kepala Gereja Katolik (Praefek Apostolik) di Hindia Belanda ini, sebaiknya beliau disapa dengan sebutan Monseigneur Nelissen.”[1]
Jejak Allah dalam Sejarah: Raja Belanda Lodewijk dan Misi Katolik di Hindia Belanda (1)
Kedua imam yang pertama kali datang mengawali babak baru Gereja Katolik di Indonesia ini adalah imam-imam praja. Memang begitulah peraturannya pada permulaannya bahwa hanya imam-imam praja berkewarganegaraan Belanda yang boleh menetap di Hindia Belanda.
Dan dari tahun 1808–1859, ada 30 imam praja Belanda yang datang ke Indonesia dan sembilan orang di antaranya meninggal di Indonesia. Termasuk Mgr. Jakobus Nelissen meninggal sembilan tahun setelah kedatangannya di Indonesia dalam usia yang baru 64 tahun.
Beliau digantikan oleh Mgr. Lambertus Prinsen yang baru berusia 38 tahun, waktu diangkat menjadi Praefek Apostolik. Banyak dari antara misionaris pertama itu cepat meninggal di Indonesia, karena kondisi medan yang berat, iklim tropis yang panas, serta kesibukan karya pelayanan gerejani yang sangat banyak dengan tenaga yang amat sedikit.” (Berlanjut)
Catatan kaki:
- Tahta Suci Vatikan telah mengangkat Mgr. Yakobus Nelissen sebagai Praefek Apostolik yang pertama untuk Gereja Katolik di Hindia Belanda, karena pada tanggal 8 Mei 1807 Paus dengan persetujuan Raja Louis Napoleon dapat mendirikan Praefektur Apostolik untuk Hindia Belanda.
- Praefektur Apostolik adalah suatu wilayah Gereja Katolik yang bernaung langsung di bawah pimpinan Gereja, Paus di Roma, dan yang memimpin bukan oleh seorang uskup, melainkan oleh seorang imam biasa yang ditunjuk oleh Paus dan disebut Praefek Apostolik.
- Tingkatan yang lebih tinggi adalah Vicaris Apostolik yang adalah seorang Uskup yang mewakili Paus untuk memimpin Wilayah Gerejani itu dan akhirnya pada tingkatan tertinggi adalah Keuskupan atau Gereja Partikular yang dipimpin oleh seorang Uskup sebagai kepala tertinggi Gereja Lokal meneruskan kuasa kegembalaan para rasul.
- Paus juga adalah seorang Uskup yang mengepalai Gereja Keuskupan Roma. Bdk. R. Kurris, cit., hlm. 9.