Jejak Allah dalam Sejarah: Pastor Diogo de Magalhāes SJ (4)

0
1,136 views
Ilustrasi: Perjalanan Santo Fransiskus Xaverius ke Asia. (Ist)

YUBILEUM 150 tahun peringatan kembalinya Gereja Katolik di Keuskupan Manado tahun 2018 ini tidak lepas dari yubileum yang sama tahun 1993 yang diprakarsai oleh mantan Bapak Uskup Manado Mgr. Josef Suwatan MSC.

Namun tidak banyak orang yang tahu bahwa peristiwa itu pun berkaitan dengan sebuah peristiwa sederhana di mana Guru Jemaat Tincep yang menyimpan dokumen  “Peringatan Surat Daniel Mandagi” itu yang bernama Bapak Yopy Kojo menyerahkan dokumen itu kepada P. Jacobus Wagey Pr pada tanggal 19 Maret 1993.

Dokumen bersejarah itu kemudian diserahkan kepada Bapak Uskup Manado, Mgr. Josef Suwatan MSC pada pada tanggal 29 Maret 1993.

Mgr. Josef Suwatan MSC yang menjadi uskup Manado sejak 29 Juni 1990 menyadari bahwa dengan dokumen “Surat Daniel Mandagi” itu, maka pada tahun 1993 itu Gereja Katolik Keuskupan Manado memperingati 125 tahun kembali dan berkembangnya umat katolik, dihitung dari kedatangan Pastor Jan de Vries SJ di Kema tahun pada tanggal 14 September 1868.

Maka dibuatlah sosialisasi dan perayaan waktu itu secara besar–besaran dengan perarakan Salib.

Acara peringatan 25 tahun lalu itu juga ditandai dengan pembuatan Patung Pastor Jan de Vries SJ di depan Gereja Kema, lengkap dengan daftar nama orang–orang Kema yang dibaptis pada waktu itu.

Peristiwa ditemukannya surat tulisan tangan Bapak Daniel Mandagi dan surat tersebut diserahkan kepada Uskup Manado tahun 1993 itu adalah bagian dari sejarah Peringatan Yubileum 150 tahun kembali Gereja Katolik di wilayah yang kemudian menjadi Keuskupan Manado ini.

Jejak Allah dalam Sejarah: Uskup Yamaguchi Terbang ke Flores (3)

Sebab kalau Bapak Uskup Manado tidak mencanangkan peringatan itu, maka perayaan iman katolik di Keuskupan Manado itu juga bisa berdasarkan pada data–data sejarah yang lain.

Data–data sejarah lain bahwa Peringatan itu bisa juga lebih dari 150 tahun.

A. Pendapat dari ahli sejarah Karel Steenbrink

Menurut penelitian Karel Steenbrink, sebelum Jan de Vries SJ datang ke Manado, Pastor De Hesselle sudah lebih dahulu mengunjungi Minahasa antara 6 Januari – 8 April 1853. Ia semula tinggal di rumah seorang misionaris Protestan dan kemudian menyewa rumah sendiri. Ia berharap akan menemukan orang-orang Katolik peninggalan dari zaman Fransiskus Xaverius SJ, namun ia tidak menemukan seorang pun.

Menurut keterangan dari keluarganya di Belanda, De Hesselle (Pastor Casper de Hesselle Pr kelahiran Delft 1 Februari 1822)[1] pernah sampai di Gorontalo dan membaptis sekitar 20 orang Protestan dan 8 orang muslim, namun tidak ada kelanjutan mengenai pelajaran iman dan pelayanan pastoral kemudian.[2] Ketika berkunjung ke Manado,  Pastor De Hesselle Pr berumur 31 tahun.

Kalau data kunjungan P. Casper de Hesselle Pr, dipakai maka Yubileum peringatan yang ke- 165 tahun.

B. Informasi dari Fr. Ludolf Bulkmans CMM

Ini adalah Misi Katolik di Keuskupan Manado dan Maluku Utara sebagaimana telah disusun oleh alm. P. Jan van Paassen MSC di Wisma Transito, Desember 2011.

Akhir Mei tahun 1563, armada Portugis berlabuh di Teluk Manado. Imam Yesuit yang ditunjuk menjadi pemimpin misi ini adalah P. Diogo de Magalhāes SJ yang baru ditahbiskan imam di Malaka 2 tahun sebelumnya, yaitu 1561 dan akhir tahun 1561 tersebut ia sudah tiba di Ambon dan bekerja di sana.

Kemudian ia pindah bertugas di Ternate dan dari Ternate ia mengunjungi Minahasa, pantai utara Sulawesi dan Kepulauan Sangir.

Kemudian, ia bekerja lagi di Halmahera dan Morotai. Ia jatuh sakit karena kelelahan dan dibawa kembali di Goa- India,  di mana ia meninggal pada tahun 1573. Jadi ia menjadi imam hanya selama 12 tahun saja. Kalau ia ditahbiskan imam dalam usia 28 tahun, maka ia meninggal dalam usia 40 tahun saja.

Dalam suratnya yang ditulis di Manado pada tanggal 28 Juli 1563, Pastor Diogo memberikan laporan kepada atasannya tentang pengalaman–pengalamannya di Sulawesi Utara. Dalam laporan itu,  antara lain disebutkan sebagai berikut:

“Orang–orang Portugis diterima dengan senang hati di Manado. Semua orang minta dibaptis. Magelhaes tinggal 14 hari di Manado untuk memberikan kaketese dasar dan sesudah itu ia membaptis Raja Manado dan 1.500 bawahannya[3]. Juga Raja Siau yang kebetulan waktu itu berada di Manado, ikut dibaptis.

Sesudah itu, Magelhaes melanjutkan pelayaran ke daerah Bolaang di pantai utara. Raja Bolaang juga minta dibaptis, namun Magalhāes belum melaksanakannya,  karena raja itu baru saja masuk agama lain. Selanjutnya,  ia menuju ke Kaidipan dan ada 3. 000 penduduk di Pantai meminta untuk dibaptis, namun Magelhaes hanya membaptis beberapa kepala suku saja. Ia tinggal 14 hari juga di Kaidipan dan membaptis 2.000 orang di sana. Sekembalinya ke Manado, ia bermaksud mau menyeberang ke Siau, namun karena ia tergantung pada rute perjalanan kapal yang ditumpanginya, maka ia tidak bisa ke Siau.

Magalhāes mempunyai harapan baik dari karya misi di Sulawesi Utara, meskipun pendapatnya tentang suku bangsa di situ kurang positif. Namun ia berpendapat bahwa di Manado harus menjadi pusat misi dan dilayani oleh dua imam. Ia sadar bahwa membaptis saja tidak cukup, dan diperlukan pelajaran agama yang lebih baik. Magelhaes bekerja di Manado selama 20 bulan.”[4]

Kalau data dari baptisan pertama di Manado oleh P. Diogo Magalhāes SJ yang dipakai, maka Yubileum umat Katolik Keuskupan Manado sudah yang ke-455 tahun.

C. Informasi dari Hubert Jacobs SJ Documenta Malucentia Vol I (1542–1577), Roma 1974.

Dalam buku Misi Katolik di Keuskupan Manado dan Maluku Abad 16 dan 17  Karya Fr. Ludolf Bulkmans CMM hlm 18, Pastor Jan van Paassen MSC menulis sbb:

“Dalam karya Frater Ludolf belum disebut permandian pada tahun 1538 di salah satu pantai Sulawesi Utara, faktum mana baru diketahui sesudah publikasi Documenta Malucentia I oleh Hub. Jacobs SJ.

1536 – 1540: Antonio Galvao, Panglima Ternate. Ia seorang yang dihormati, seorang kristen yang murni, pandai dan penguasa yang simpatik, pelaut yang berani dan dapat mempertahankan kesejahteraan dan ketertiban. Bahkan ia mengaku bahwa ia mampu mengajarkan katekismus. Malah ia merasa tidak mengurangi kehormatannya bila ia mengajar katekumen. Ia mendirikan “asrama kecil” untuk anak–anak diajari agama kristiani.

Dan tambahan informasi dari P. Humbert Jacobs SJ tentang Antonio Galvao itu sbb:

“Rupanya pertobatan di Pulau Ambon pertama kali terjadi tahun 1538 di bawah penguasaan Kapten Antonio Galvao. Ia mengutus pasukan dibawa komando Diogo Lopez de Azevedo untuk menjaga keamanan seluruh wilayah kekuasaan Portugis di Ambon itu dan membaptis penduduk di Hatiwi, Amantelo dan Nusaniwi. Jumlah orang yang dibaptis terus bertambah waktu itu, sehingga ketika St. Fransiskus Xaverius mengunjungi Ambon dan Ternate tanggal 14 Februari 1546, jumlah kampung yang sudah menjadi katolik mencapai tujuh  kampung dan pada tahun 1555 sudah mencapai 30 kampung.”[5]

Kalau benar telah terjadi permandian di salah satu pantai Sulawesi Utara sekitar tahun 1538, maka Yubileum Iman Katolik mulai di Sulawesi Utara sudah 480 tahun.

Jadi memperingati Sejarah Permulaan Iman Kristiani di daerah kita ini juga perlu memperhatikan sejarah dicanangkannya peringatan itu dan tergantung dari data–data sejarah yang berhasil dikumpulkan dan bisa diketahui melalui publikasi buku sejarah.

Informasi sejarah tersebut didukung oleh surat–surat asli dalam bahasa Portugis yang semuanya tersimpan rapih dan dilampirkan dalam buku Documenta Malucentia tersebut.

Selamat bersyukur. Betapa Mulia Nama-Mu di seluruh bumi (Maz. 8:1)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here