MIMPINYA menjadi seorang misionaris tidak pernah pupus. Ketika dua rekannya kembali dari Kanada, Romo Van Ooij bertanya bagaimana kesan-kesan mereka tentang negeri di Amerika Utara itu.
Mereka menjawab bahwa Kanada bukanlah daerah misi seperti yang mereka bayangkan. Jawaban ini merupakan titik balik bagi hidup Romo Martin.
Romo Van Ooij mulai mengubah rencananya. Ia ingin pergi ke Indonesia. Ia ingin bermisi ke daerah yang jaraknya ribuan kilometer dan yang terkenal karena iklim tropis dan hutan-hutannya yang lebat.
Mendengar keputusannya pergi bermisi ke Indonesia, orangtuanya berkomentar singkat: “Sinting!”
Pada saat itu, Indonesia belum terlalu lama merdeka dari penjajahan panjang Belanda. Relasi dua belah pihak belum baik saat itu. Jelas saja keluarga Romo Van Ooij merasa kuatir.
Tetapi Romo Van Ooij bergeming. Ia tetap memutuskan untuk menyerahkan tenaga dan hatinya bagi jiwa-jiwa di pedalaman Sumatra.
Satu tahun setelah tahbisan imamat, pada 22 Mei 1964, Romo Van Ooij berangkat ke Indonesia. Dari bulan Mei sampai Agustus 1964, ia ditempatkan untuk membantu Paroki Pringsewu – Lampung dan sekaligus mepelajari bahasa Jawa.
Ia juga ditugaskan untuk melayani wilayah Lor Kali, yang di kemudian hari menjadi Paroki Kalirejo. Sejak September awal hingga 8 Desember 1964, Romo Van Ooij tinggal menetap dan melayani daerah pelayanan Kalirejo.
Tanggal 8 Desember 1964, beliau berpindah ke Paroki Metro dengan fokus pelayanan di wilayah Punggur.
Pada tahun-tahun berikutnya, Romo Van Ooij terus melayani Gereja Katolik Keuskupan Tanjung Karang tanpa kenal lelah. Beliau melanjutkan karyanya di Paroki Metro sebagai Pastor Kepala dari 15 September 1968 hingga 15 Januari 1970 .
Selama sembilan tahun berikutnya, Romo Van Ooij mengembangkan Paroki Kotagajah hingga September 1979. Dengan segenap tenaga, ia lalu menggembalakan umat di Kotabumi dan mengembangkan pelayanan pastoral di Way Abung, Tulangbawang hingga Mesuji hingga 25 Juli 1986.
Paroki terakhir di Keuskupan Tanjung Karang yang ia layani adalah Paroki Kalirejo. Di paroki besar ini, Romo Van Ooij berkarya selama delapan tahun hingga tengah Juli 1994.
Kita bayangkan dengan kagum bagaimana misionaris muda dari negeri yang maju dan makmur harus membelah pedalaman Bumi Lampung yang pada awal tahun 1960-an masih sarat dengan pelbagai tantangan fisik dan kemiskinan. Ia sendiri sadar benar bahwa karya pelayanan Gereja di tengah kaum transmigran Jawa adalah ladang besar dan berat. Selain perbedaan bahasa dan budaya, Romo Van Ooij juga berjumpa langsung dengan penderitaan umatnya: kurangnya karya pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak, kekeringan, kelaparan dan gagal panen, serta kesulitan membuka lahan pertanian yang baru, dan masih banyak lagi. Begitu banyak tantangan di tengah jemaat dan masyarakat para transmigran yang ia jumpai. Namun, Romo Van Ooij tidak kenal lelah. Keringatnya menyuburkan iman dan hidup Gereja muda di Bumi Lampung kala itu.
Jalan kaki dan kunjungan Keluarga: Gembala ‘bau ikan asin’
Masih lekat dalam ingatan umat Romo Van Ooij di daerah transmigran bahwa Romo Londo yang satu ini tahan sekali berjalan kaki. Ia dikenal sebagai gembala yang gemar blusukan; menjelajah wilayah-daerah baru dan mengunjungi keluarga-keluarga – baik Katolik maupun non-Katolik.
Romo Martin, dalam wawancaranya dengan Yanuari Marwanto dari Majalah Hidup, berkisah demikian:
“Saya sudah biasa sejak kecil berjalan kaki jauh. Gereja terdekat dari rumah orangtua saya jaraknya dua kilometer. Perajalan pulang-pergi ke gereja di rumah saya sekitar empat kilometer.”
Beliau meyakini bahwa kakinya yang tidak jadi diamputasi saat masa kecilnya adalah rahmat Tuhan baginya untuk menjadi seorang misionaris yang ‘berjalan bersama domba-dombanya.’
Romo Van Ooij enggan berdiam saja di dalam pastoran. Dengan mengunjungi umatnya, ia tahu dan merasakan apa yang dialami dalam hidup domba-dombanya.
“Saat Romo Van Ooij kunjungan, keramah-tamahan umat sangat terasa. Bila sedang musim panen, Romo Van Ooij bisa makan sepuluh kali sehari dan beliau tidak mau menolak. Namun bila sedang paceklik (Jawa – gagal panen), maka Romo Van Ooij ikut puasa,” tulis Willy Darma dalam kesaksiannya.
Romo Van Ooij cepat diterima dan disukai oleh semua orang karena ia selalu murah senyum dan dapat tertawa lepas. Usaha keras dari Romo Van Ooij untuk bisa menyatu dengan umatnya terlihat dari usaha beliau menghargai budaya Indonesia.
Romo Van Ooij bahkan mempelajari seni tari dan gending Jawa dengan alm. Pak Darmo di Stasi Muntilan, Kalirejo.
Kedalaman Romo Van Ooij menyelami budaya para dombanya beberapa kali menyelamatkan tokoh Gereja pada saat itu.
Alkisah, menurut kesaksian Bp. Sukirno dari Toto Karto, seorang kepala sekolah beriman Katolik ditahan di Polsek setempat karena dianggap menyebarkan agama Katolik. Romo Van Ooij tidak diam. Beliau mengundang bupati dan tokoh lintas agama di Kalirejo dan Kalidadi untuk menjernihkan persoalan.
Dalam sambutannya, Romo Van Ooij berkata:
“Saya adalah gembala umat Katolik. Dengan terjadinya peristiwa penahanan ini, saya rasa jiniwit katut …”
Ungkapan dalam bahasa Jawa yang berarti “ikut merasa seperti dicubit dan merasa menderita hingga tidak bisa tinggal diam” ini sangat kaya maknanya.
Bupati yang mendengar ungkapan ini merasa terkejut dan sekaligus trenyuh: “Mengapa orang Belanda ini mampu menyelami arti kata rasa jiniwit katut?”
Akhirnya, berkat bantuan Bupati dan pelbagai pihak, sang kepala sekolah tadi dibebaskan dari tahanannya.
In Memoriam Romo Martinus van Ooij SCJ: Pastor Buldoser (4A)
Di kali lain, ada seorang umat dari Stasi Muntilan – Kalirejo yang ditahan di Polsek Sukoharjo karena dianggap melanggar administrasi izin pembangunan gereja. Satu bulan ia di tahan di penjara dan selama satu bulan itu pula Romo Van Ooij tidak menyerah mencari jalan agar tokoh umat ini dapat segera dibebaskan.
Rasa jiniwit katut ini bukan sebuah rasa sentimentil saja – bukan sekadar emosi sesaat yang muncul dan hilang seketika. Rasa solidaritas-senasib sepenanggungan ini lahir dari ‘spiritualitas hati’ yang ia dalami. Romo Van Ooij dikenal lebih suka menggunakan sepeda onthel untuk melayani umat yang berada di banyak stasi. Ia ingin menunjukkan kepada umatnya bahwa ia benar-benar turut merasakan perjuangan umatnya.
Banyak kali Romo Van Ooij harus meninggalkan sepedanya karena jalanan yang terlalu berlumpur.
“Tanah liat berwarna merah pucat itu benar-benar parah sekali. (Tanah jenis itu) sangat lengket! Tanah itu lengket di roda dan di gir sepeda sampai aku harus menggendong sepeda onthelku,” ujar Romo Van Ooij dalam salah satu wawancara.
Di tengah semua tantangan ini, Romo Van Ooij tidak berjalan sendirian. Ia adalah pastor yang melibatkan dan yang mengidamkan kaum awam berani menjadi pewarta iman. Di Seputih Banyak, dikisahkan bahwa Romo Van Ooij Dalam bertugas sebagai pastor, beliau tidak mau bekerja sendirian.
Bp. FX. Suhadi dari Seputih Banyak menulis kesaksian:
“Beliau membuat program kaderisasi dengan menghimpun tokoh-tokoh umat, para guru dan tenaga kesehatan. Mereka diundang berkumpul dan lalu diberi pengarahan tentang hidup menggereja dan kerasulan. Setelah itu, para kader ini diminta untuk membantu karya pastoral dalam bidang katekese, sosial, pendidikan, kebudayaan serta liturgi gereja. Para kader dengan sukacita menerima tugas itu dan bekerja di stasinya masing-masing tanpa mengharapkan upah atau pun gaji …
Setiap bulan sekali kami berkumpul dengan pastor atau dengan suster pembimbing untuk saling bertukar pengalaman dan membuat program kerja. Bahkan pada tingkat paroki kita mengadakan rekoleksi di (seluruh) stasi yang ada di paroki Kota Gajah. Para katekis sukarelawan berkumpul dan ditugaskan hingga ke pelosok untuk memimpin rekoleksi dalam masa Adven dan Prapaska…”
Dalam banyak kesempatan, Romo Van Ooij benar-benar berjalan bersama umat – terutama bersama muda-mudi Katolik – dalam pelayanan menuju stasi-stasi di pedalaman karena sepedanya tak lagi bisa berjalan.
Berikut kesaksian muda-mudi yang pernah menemani beliau:
“Percuma kami berdandan dan memakai baju bagus-bagus. Kami berjalan kaki jauh sekali untuk perayaan Paskah. Kami berangkat pagi-pagi sekali sebelum fajar dan sampai di Gereja stasi lain menjelang sore hari. Wajah romo Van Ooij sudah seperti udang rebus: merah sekali. Kami keringatan dan kelelahan. Pakaian kotor dan kaki penuh lumpur. Tapi semua mudika saat itu tidak berani mengeluh karena Romo Van Ooij tetap ceria dan mengajak kami bernyanyi sepanjang jalan agar lupa dengan rasa lelah,” ujar seorang umat di Tulangbawang.
Kisah heroik di medan yang rumit dan kondisi yang berat ini mengingatkan kita pada seruan Bapa Suci Fransiskus: “Para imam hendaknya menjadi gembala yang berbau domba!”
Romo Van Ooij di sepanjang hidupnya benar-benar mewujudkan seruan ini. Ia bahkan tidak hanya ‘berbau domba’ – namun juga ‘berbau ikan asin’ karena begitu seringnya turut makan semeja di gubuk dan pondok umatnya yang papa-miskin. Senyumnya, sukacitanya, pelukan dan genggaman tangannya yang hangat sampai hari ini membekas dalam kenangan banyak jiwa yang ia jumpai.
Kerajaan Allah adalah untuk semua orang
Rasa jiniwit katut itu – menurut Romo Van Ooij – tidak boleh berhenti hanya di dalam tembok-tembok gereja saja. Beliau sangat terkenal dengan gerakan sosial bagi masyarakat umum di mana saja ia di tempatkan. Romo Van Ooij terkenal pula dengan aneka usaha dan program pembangunan masyarakat desa di daerah transmigrasi bekerja sama dengan Pemerintah dan tokoh lintas-iman.
Penduduk yang berada di daerah transmigrasi pada waktu itu sering tak disiapkan dengan baik untuk menghadapi lahan baru. Memang para transmigran mendapatkan tanah yang cukup luas, tetapi tanah tersebut masih penuh dengan pohon besar dan kesuburan tanah juga diragukan. Para transmigran acapkali keliru memilih-mengatur tanaman mana yang bisa menghasilkan untuk jangka pendek sehingga kadangkala mereka kehabisan jatah pangan Pemerintah dan mengalami kelaparan.
Karena situasi macam ini kerap terjadi di bumi Lampung pada saat itu, Keuskupan Tanjung Karang tidak tinggal diam. Keuskupan mendirikan Yayasan Pembinaan Sosial Katolik (YPSK) yang menolong masyarakat desa untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. Romo Van Ooij selama lima-belas tahun menjadi ketua YPSK yang menggerakan dan menghidupkan gerakan cinta-kasih ini.
Yayasan milik Keuskupan ini berhasil mendistribusikan ribuan ton bantuan bahan pangan dari Amerika Serikat yang dibagikan untuk meningkatkan gizi balita, ibu hamil dan ibu menyusui. Dalam program padat karya pagan, Keuskupan Tanjung Karang pada saat itu – melalui YPSK – membuka ratusan hektar lahan baru untul transmigrasi.
Sekitar 600 kilometer jalan desa, puluhan jembatan serta saluran irigasi sederhana berhasil dibangun lewat jerih payah YPSK. Pada tahun 1988, peserta kredit gaduhan sapi pernah mencapai jumlah hingga seribu petani. Ada sekitar seribu anak dari keluarga kurang mampu tiap bulannya dibantu oleh Keuskupan melaui YPSK di bawah komando Romo Van Ooij.
Selama ini, memang ada yang mengkritik Romo Van Oiij seperti ‘Sinterklas di hari Natal’: selalu memberi, memberi dan memberi. Ada pula yang menilai bahwa Romo Van Ooij – dengan sepak terjangnya – justru ‘memanjakan umat’ dan ‘tidak me-mandiri-kan umat.’ Mungkin saja kritik ini ada benarnya. Namun demikian, janganlah kita lupa pada situasi pada saat itu di mana kesusahan luar biasa memang nyata dirasakan terutama di kalangan transmigran baru: kelaparan, kurang gizi, kekeringan, kurangnya pendidik dan sanitasi buruk.
Beberapa orang mengatakan bahwa Romo Van Ooij ‘hanya sibuk memberi ikan dan tidak memberi kail untuk menangkap ikan.’
Ingatlah bahwa Ibu Teresa dari Kalkuta yang kini telah menjadi Santa juga pernah dikritik demikian. Santa yang terkenal karena kasihnya pada mereka yang miskin itu menjawab: “Orang-orang yang kurawat – mereka cacat, lapar, sakit, ditolak oleh masyarakat dan mereka telah lupa apa arti kasih. Mereka benar-benar miskin dan hancur. Saya akan memberi mereka ikan untuk dimakan sampai mereka mampu berdiri dan memegang tali pancing mereka sendiri…”
Pada kesempatan lain, Romo Van Ooij juga menekankan berkali-kali: “Ojo kridho lumahing asta – ojo ngandalke wong liyo!”
Artinya: “Jangan kerjanya hanya mengemis – jangan mengandalkan orang lain!” Beliau mengajak umat sadar bahwa bantuan misi dari luar negeri juga akan berakhir pada masanya dan umat harus belajar untuk mandiri.
Itu sebabnya di Kalirejo beliau memunculkan istilah ‘KARDO”; singkatan dari “Karya dan Doa”.
Motto ini mengingatkan umat bahwa Yesus harus tetap berdiri pada masing-masing gereja dan keluarga dengan usaha nyata dan dengan doa bersama. Motto ini menjadi legenda yang dikenang banyak umat hingga saat ini karena dikisahkan bahwa Romo Van Ooij mewajibkan semua rumah umat Katolik menuliskan motto ini di rumah mereka.
Semangat KARDO ini sendiri dijalankan oleh Romo Van Ooij bahkan dengan mereka yang berbeda iman. Saat melayani di Paroki Kalirejo, dikisahkan bahwa sejak pagi-pagi buta, Romo Van Ooij sudah berjalan menuju rumah bapak Camat, bapak Lurah Adiluwih dan daerah sekitarnya untuk mengucapkan selamat Idul Fitri. Jalan buruk sejauh 21 kilometer untuk kunjungan silahturahmi itu dilalui tanpa banyak keluhan. Sikapnya yang terbuka bagi semua orang membuat Romo Van Ooij bahkan dicintai oleh para kiai sekitar.
Karya sosial-karitatif lintas budaya dan lintas iman Romo Van Ooij ini menjadi semakin unik dengan program “Retret Kerajaan Allah.” Retret yang digagas oleh beliau ini sangat sederhana namun mengena. Para pesertanya – awam, biarawan-biarawati dan para imam –diajak untuk live-in di pedesaan dan tinggal di dalam keluarga para petani sederhana selama beberapa saat. Konsep live-in saat itu masih asing dan baru karena retret biasanya identik dengan pengolahan terprogram di dalam rumah khalwat. Para peserta dari kota biasanya bergulat dengan kenyamanan diri mereka.
Bp. Willy Darma mengisahkan:
“Bagi saya sendiri, retret (Kerajaan Allah) ini merupakan pengalaman ikut merasakan suasana desa dan cara hidup masyarakat di desa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. (Rasanya) tentram, tidak ada polusi dari kendaraan bermotor dan pabrik. Kami menimba air sumur sendiri untuk mandi. Beberapa rumah warga hanya memiliki ‘WC cemplung’ di udara terbuka yang dikelilingi daun pisang atau karung plastik. Beberapa teman kami yang hidup di kota menjadi sakit karena beberapa hari tidak bisa buang air besar. Mereka ‘tidak sanggup’ buang air besar di ‘WC cemplung’. Padahal, bagi masyarakat desa, semua itu no problem. Mengapa? Karena Allah berkarya dimana – mana!”
Romo Van Ooij yakin bahwa sentuhan langsung dengan orang-orang sederhana di desa ini akan membuka mata hati para peserta akan makna Kerajaan Allah sebagai ‘komunitas keselamatan.’
Romo Van Ooij membuktikan bahwa Kerajaan Allah yang jadi tujuan akhir kita adalah ‘komunitas kini-sini’ dan ‘adalahuntuk semua orang’.
Sejarah gerakan sosial Romo Van Ooij seolah menjadi afirmasi dari visi-misi gerejani Keuskupan Tanjung Karang tentang ‘persaudaraan sejati’ yang telah dimulai secara konsisten oleh Mgr. Hermelink dan Mgr. Henrisoesanta serta yang diteruskan oleh Mgr. Harun Yuwono.
Dengan penuh rasa kagum, kita dapat melihat bagaimana Gereja Keuskupan Tanjung Karang merumuskan spiritualitas pastoralnya di bawah kegembalaan Mgr. Harun Yuwono: “Gereja Keuskupan Tanjung Karang adalah sahabat Kristus – yang dijiwai oleh Roh Kudus dan menghidupi Ekaristi – yang tidak membeda-bedakan orang.”
Kerajaan Allah adalah untuk semua orang. (Berlanjut)
Ref: https://rumahdehonian.or.id/rm-martinus-van-ooij-si-pastor-buldoser-itu-bag-ii/