Aku menulis pendek namamu: Tian. Remaja belia yang masih sempat kujumpai pada hari-hari menjelang aku pergi. Kampungmu Abaimaida. Entah dimana itu tercetak di atas peta. Barangkali, nama kampung itu hanya dikenal beberapa orang selain penduduknya. Aku pun baru sekali itu mendengarnya. Setelahnya, aku mencari pada peta Papua tapi aku tidak menemukannya.
Kau datang dengan ayahmu, pribadi yang sangat mencintaimu, pada suatu siang. Di depanku, kau tampak sebagai anak remaja kecil, dengan celana jeans pendek, dan kaus hitam-merah, berwajah malu-malu. Ayahmu, lewat matanya, mendamba yang terbaik untukmu.
“Kalau kau sekolah SMA, bapa hanya mau di sini. Kalau tidak bisa di sini, lebih baik tinggal di kampung.” Ayahmu sudah berketetapan bulat: anaknya harus sekolah, dan sekolah itu di sini, tidak di tempat lain.
Jauh di lubuk hatinya, aku menduga, ayahmu berkeyakinan bahwa jalan untuk bertumbuh menjadi manusia yang sesungguhnya, berkepribadian akan ditempa di tempat ini.
Kau barangkali masih ingat,betapa singkat waktu kita bertukar kata. Tapi, waktu yang singkat itu sangat bermakna bagimu. Itulah waktu yang demikian dalam menghujam pada hatimu, dan terus kau ingat sepanjang hidupmu. Satu episode singkat dalam salah satu penggal hidupmu.
Aku menatap matamu. Dan ayahmu pun menatap wajahmu dengan mata yang berkaca-kaca. Seluruh harapan ia tumpahkan padamu: anak sulung dari tujuh bersaudara. Lalu, kau tertunduk. Hatimu tidak lagi kuasa melihat air mata ayahmu yang siap melinang. Suaramu lirih, merintih dari hati yang sedang takut: kau masih remaja kecil, dan ayahmu menitipkan masa depan adik-adik padamu. Kau takut kalau tidak tuntas. Kau takut mengecewakan orangtuamu.
Tidak lama ayahmu berlalu. Kembali ke kampung dan sekolahnya yang sepi. Hidup dalam suatu tempat tak tertera di dalam peta. Tidak ada popularitas. Tidak pula takhta. Tapi seluruh cintanya mengalir dari tempat sunyi itu. Cinta untukmu, untuk adik-adikmu, dan untuk tanahmu…
Tian, dalam kesederhanaan dan kerendahhatian, ayahmu mengajarkan untuk mencintai, untuk bekerja, untuk menjadi manusia unggul tanpa mengharapkan ketenaran. Persis seperti pengalaman kenosis (pengosongan diri) Manusia dari Nazareth yang disalib itu..