ROMO Karl-Edmund Prier SJ adalah nama besar di blantika panggung orkestrasi musik liturgi khas “rasa” Indonesia.
Dari lembaganya bernama Pusat Musik Liturgi –biasa disebut PML Yogyakarta– ribuan khasanah musik liturgi bercitarasa khas Indonesia sudah sering kali terdengar di dalam gereja setiap kali berlangsung Perayaan Ekaristi.
Romo Prier makin ‘mendunia’ lagi, setelah pastor Jesuit kelahiran Jerman ini menjadi korban penyerangan seorang pelaku teror di Kapel Gereja St. Lidwina, Bedog, Kwarasan, Sleman, DIY, awal Februari 2018 lalu.
Terlebih lagi, ketika Romo Prier memutuskan diri “tidakmau lari” meninggalkan altar, ketika aksi penyerangan bersenjata samurai itu mengenai batok kepalanya hingga bocor. Pun pula, dengan tulus ia kemudian juga bersedia memaafkan pelakunya.
Lalu, tokoh besar di PML lainnya adalah Paul Widyawan.
Bersama Romo Prier SJ, ia membesut kelompok koor Vocalista Sonora –kelompok paduan suara yang salah satu menu utamanya adalah mengemas kekayaan musik tradisional khas Indonesia dan kemudian menampilkannya dalam kemasan pertunjukan modern.
Berkat kedua tokoh penting ‘peramu’ kekayaan musik tradisional khas Indonesia untuk keperluan liturgi inilah , Vocason –demikian nama keren kelompok koor yang bermarkas besar di PUSKAT Yogyakarta ini—bisa melalang buana ke Eropa dan juga Vatikan.
Lokakarya musik liturgi di ASC Ketapang
Nah, kali ini, kedua pesohor itu melalang ke kota kecil yakni Ketapang di Kalimantan Barat. Mereka menyediakan diri untuk menggelar lokakarya musik liturgi untuk para suster anggota Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah atau yang akrab dikenal OSA. Ikut bersama para suster ini adalah segenap bapak-ibu yang berkarya di sejumlah unit karya OSA.
Acara lokakarya di Augustinian Spirituality Center (ASC) selama empat hari di awal bulan Juni lalu itu telah berlangsung lancar, meriah, penuh semangat. Itu karena lokakarya itu disertai program ‘praktik kerja nyata’ alias melatih vokal dan instrumen musik dengan menu utamanya adalah keinginan menggali kekayaan musik khas tradisional lokal.
Tak kalah penting, tentu saja, menerapkan semua teori musik. Itu termasu bidang olah vokal, dinamika, atur pernafasan, penjiwaan lagu sesuai masing-masing ‘karakter suasana’ yang ingin dibangun oleh sang pencipta komposisi lagu, dan tak lupa juga kiat utama menjadi seorang pemimpin koor alias dirigen.
Jadi, para suster OSA dimotivasi dan dibombong untuk langsung mempraktikkan apa yang telah diajarkan oleh kedua fasilitator dari PML Yogyakarta. Praktik kerja nyata itu menyangkut kemampuan memimpin koor dan kelompok pemusik.
Khusus untuk paduan suara, para suster OSA peserta lokakarya dilatih agar mampu bernyanyi secara baik dalam olah vokal, menjiwai karakter lagu dan menyanyikannya dengan hati dan bercitarasa. (Berlanjut)