“Qui Bene Cantat, Bis Orat” bersama Romo Prier SJ dan Paul Widyawan, Suster OSA Ketapang Menyanyi dengan Citarasa (2)

0
3,313 views
Para suster biarawati anggota Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) dan lainnya tengah mengikuti lokakarya musik liturgi bersama Romo Karl-Edmun Prier SJ dan Paul Widyawan dari Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta di Augustinian Spirituality Center Ketapang, Kalbar. (Dok OSA)

INI ada pepatah Latin yang berbunyi “Qui bene cantat, bis orat”. Artinya, “Siapa yang mampu bernyanyi dengan baik, itu sama artinya berdoa dua kali.”

Dengan itu dan bersama Romo Prier SJ dan Paul Widyawan dari Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta, maka kami pun –para anggota Kongregasi Suster St. Augustinus dari Kerahiman Allah (OSA) Ketapang dan segenap bapak-ibu peserta lokakarya – juga telah dimotivasi agar bisa sampai “menuju ke sana.”

Progam lokakarya ini berlangsung selama empat hari di Augustinian Spirituality Center (ASC) Ketapang, Kalbar, awal Juni 2018 lalu.

Para suster yang bisa memainkan instrumen musik juga dilatih dan dimotivasi agar memainkan perangkat musikal itu secara benar, baik dan prima. Ada jenis-jenis instrumen musik berkharakter suara ‘keras’, namun sebaliknya juga ada yang berkarakter “lembut”.

Tentu pertanyaannya adalah bagaimana bisa lokakarya dalam beberapa hari itu bisa memberi hasil yang baik dan optimal?

Bagi Romo Prier SJ dan Paul Widyawan yang sudah banyak ‘makan garam’ di panggung musik liturgi, maka tidak ada kiat lebih baik dan berguna lagi selain latihan, latihan, dan terus latihan.

Jadi, prinsip repetisi berlatih dan terus berlatih menjadi metode yang dipraktikkan dalam lokakarya ini. Tidak perlu ada rasa malu atau takut berbuat salah. Justru berbuat salah untuk kemudian belajar dari situ menjadi pijakan penting untuk bisa maju.

Kami dilatih terus-menerus melantukan lagu-lagu yang sama hingga semua peserta bisa melakukannya seoptimal mungkin.

Karena para suster OSA ini berkarya di Ketapang di tengah khazanah musik tradisional Dayak, maka kami pun juga bereksperimen dengan kekayaan musik tradisional lokal Ketapang yakni musik Dayak Pesaguan.

Hasil kolaborasi pertama dengan PML  

Mengapa demikian?

Pada tahun 1999, ada seperangkat kecil gamelan terdiri dari gong kecil dan gong besar berhasil didatangkan dari Jawa ke Ketapang.

Adalah PML Yogyakarta yang telah mengirimkan kedua instrumen musik khas Jawa itu ke Ketapang. Berikutnya, oleh almarhum Pak Yan Suganda, kedua jenis instrumen musik itu lalu ‘dipermak’ hingga kemudian cocok disetel sebagai perangkat musik tradisional lokal dalam konteks musik Dayak Pesaguan.

Instrumen itu dimainkan atau ditabuh menurut irama bebunyian musik khas Dayak Pesaguan di Ketapang.

Bersama Romo Prier SJ dan Paul Widyawan, Suster OSA Ketapang Menggali Kekayaan Musik Tradisional untuk Liturgi (1)

Kami telah mempraktikkan hal itu saat Kongregasi OSA merayakan pesta 50 tahun berkarya di Indonesia. Pentas musik khas tradisional Dayak Pesaguan tampil di situ.

Itulah hasil projek kolaborasi pertama Kongregasi OSA dengan PML.

Tentu ada pertanyaan lagi, apa yang berhasil diolah oleh Romo Prier dan Paul Widyawan dengan kedua gong “rasa Jawa” itu dengan musik tradisional khas Dayak Pesaguan?

Yang kami lihat justru hasil “olah kreasi kreatif” PML yang bisa memadukan alat-alat musik tradisional khas Indonesia dengan perangkat instrumen musik khas “Barat” seperti organ sehingga komposisi “campuran” itu nyatanya bisa menghasilkan harmoni suara yang indah dan apik.

Tentu lokakarya musik liturgi dengan mengambil “bahan baku” musik khas tradisional itu baru berarti dan berguna, ketika muncul berbagai respon dari para peserta.

Kali ini, para pesertanya adalah para suster OSA dan sejumlah kaum awam Katolik di Keuskupan Ketapang.

Bagi mereka yang baru pertama kali ‘bersentuhan’ dengan PML dengan kedua motivatornya itu, maka perkenalan dengan Romo Prier SJ dan Paul Widyawan menjadi pengalaman sukacita besar. Selain belajar komposisi musik, para peserta juga mendapat masukan pengetahun bidang musik yang banyak dan beragam.

Menyanyi dengan hati dan perasaan

Respons yang luar biasa itu menyangkut “ilmu” baru yang mereka rasakan dan kini mereka hayati sebagai miliknya, ketika diajari soal penjiwaan hati dan emosi dalam menyanyikan lagu-lagu liturgi.

Di sini artikulasi sungguh penting, olah vokal menjadi terasa berguna, atur pernafasan menjadi pokok, ketika mulut dibuka hingga kemudian keluarlah alunan suara manusia yang teratur, berirama, dan ‘membangkitkan’ emosi pendengarnya.

Kongkretnya, penjiwaan dalam menyanyi liturgi itu sangat penting dan harus  bisa dibiasakan.  Mengapa demikian? Itu karena ada kesan di mana-mana bahwa menyanyi di gereja saat Perayaan Ekaristi itu acap kali ‘tanpa rasa.’. Ibarat sayur, maka di situ kurang  garam dan lainnya. Jadinya, hambar dan terdengar sangat membosankan.

Lokakarya di ASC Ketapang itu berlangsung dalam beberapa babak dan para peserta dibagi dalam tiga kelompok. Dua babak berlangsung mulai pagi hingga siang dan diselingi istirahat siang lalu berlanjut lagi babak di sore hari dan babak akhir setelah makan malam.

Yang menarik, kelompok pemusik, pemain gamelan dan organis, melakukan ‘praktik kerja nyata’ dengan Romo Prier SJ dan Paul Widyawan pada malam hari, mulai pukul 20.00 hingga 21.00 WIB.

Yang menarik lagi, kedua fasilitator itu tidak membawa satu alat musik pun.  Mereka membawa diri dengan segudang pengalaman mereka sebagai motivator dan pelatih sejati.

Sejumlah lagu-lagu anyar yang baru saja mereka ciptakan sengaja dibawa ke Ketapang untuk “dipresentasikan” bersama.

Tekniknya juga sederhana. Jangan fokus ke not dulu, melainkan melantukan syair dengan irama. Jadi, para peserta yakni suster OSA, bapak-ibu yang bekerja di unit karya Kongregasi OSA dilatih untuk ‘mendengarkan’ dengan baik lantunan syair lagu dan kemudian diajak menyanyikannya.

Kepada calon dirigen koor, Romo Prier dan Paul Widyawan mengajari mereka melakukan metode aba-aba kepada kelompok paduan suara dan kelompok pemusik.

Sangat bermanfaat

Sebagai catatan, penulis melihat dan merasakan bahwa lokakarya ini ringan-ringan saja.  Menjadi ringan karena para peserta dengan tekun dan serius  dilatih dan dimotivasi untuk “kerja nyata”. Bagi mereka, pelatihan ini sangat berguna .

Para pelaku musik merasa  terbantu, karena mereka bisa langsung mengalami dan mempraktikkan bagaimana cara bernyanyi yang baik dan itu memang ekspektasi banyak orang.

Dengan demkian, para pesrta akhirnya diharapkan akan mampu menjadi pelatih dan menerapkan kepada umat atau kelompok paduan suara mereka,  baik di pedalaman maupun di Kota Ketapang. Yang pasti, kegiatan semacam ini akan semakin membuat Gereja Katolik Keuskupan Ketapang menjadi semakin hidup

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here