PARA imam diosesan (praja) itu memang beda dalam banyak hal dengan para imam religius anggota Ordo atau Kongregasi Religius.
Pastor diosesan itu adalah ‘pasukan’ Uskup dan mereka hanya berkarya di wilayah gerejani Keuskupan di mana imam praja ini telah berinkardinasi atau resmi mendaftarkan diri menjadi anggota ‘pasukan’ Keuskupan. Dengan demikian, misalnya, Romo A yang adalah imam diosesan KAJ, maka ia hanya berkarya di wilayah pastoral gerejani KAJ.
Romo A bisa dan boleh berkarya di Keuskupan lainnya hanya kalau ada request kebutuhan Keuskupan lain. Itu pun hanya bisa terjadi atas restu dan izin Uskup di mana Romo A tersebut menjadi anggotanya. Dengan demikian, Romo A bisa berkarya di luar wilayah KAJ hanya apabila diminta Uskupnya untuk karya penugasan resmi atas dasar request kebutuhan Keuskupan lain atau lembaga tertentu semisal KWI atau lainnya.
Yang membedakan lagi adalah para imam diosesan praktis selama hidupnya menjadi ‘milik’ Keuskupan di mana ia melakukan ‘registrasi’ untuk inkardinasi.
Ini tidak berlaku untuk para imam religius.
Lantaran cirinya sebagai Ordo/Kongregasi Internasional, maka Romo B bisa berkarya “di mana saja” sesuai kebutuhan Ordo atas dasar penugasan karya yang diberikan oleh Provinsial atau Pemimpin Umumnya. Dengan demikian Romo B, misalnya, bisa saja berkarya di Eropa atau menjadi misionaris di Afrika, sekalipun ia berjatidiri imam religius anggota Provinsi Indonesia.
Rumah Kasepuhan
Banyak Ordo dan Kongregasi Religius sudah lama memikirkan ‘masa depan’ hidup layak segenap imam, suster sepuh anggota Ordo/Kongregasi dan kemudian mempraktikkan gagasan mulia itu yakni dengan menyediakan Rumah Kasepuhan untuk para anggotanya yang sudah sepuh, senior, dan purna karya. Ini agar mereka tetap bisa hidup layak, manusiawi, dan cukup mendapat atensi pelayanan kesehatan di masa tuanya.
Ordo Serikat Jesus (SJ) misalnya sudah menyediakan Wisma Emmaus di areal kompleks Kolese Stanislaus Girisonta untuk para Jesuit yang sudah ‘pensiun’, senior, sakit tak berdaya, dan tua. Di sinilah para Jesuit tua ini menikmati hari-harinya agar mereka tetap hidup layak dan cukup mendapat atensi di bidang kesehatan, makan-minum, dan lainnya.
Para suster religius juga melakukan hal yang sama.
Demikian pula, Keuskupan Agung Semarang (KAS) juga telah menyediakan Domus Pacis di Puren dan areal hunian khusus di kompleks Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan –keduanya di Yogyakarta— sebagai Rumah Kasepuhan.
Di Domus Pacis dan Seminari Tinggi Kentungan inilah, para imam diosesan (praja) KAS yang sudah sepuh tinggal bersama dan mendapat atensi seperlunya agar mereka tetap bisa menikmati hari-harinya dengan cukup dan terjaga kesehatannya.
Kalau bukan kita sendiri merawat para imam sepuh ini, lalu dengan siapa lagi mereka harus “menggantungkan” hidup hariannya dan merawat kesehatannya?
28 September 2018: Malam Dana Keuskupan Ketapang untuk Renovasi Katedral dan Rumah Kasepuhan (1)
Rumah Kasepuhan Keuskupan Ketapang
Sebuah rumah sangat sederhana yang dulu dirancang sebagai Rumah Kasepuhan untuk para imam diosesan Keuskupan Ketapang sudah lama ada. Namun, kondisinya sekarang dianggap kurang memadai sebagai rumah tempat tinggal bagi para imam yang sudah sepuh dan butuh atensi lebih.
Merespon kebutuhan ini, Keuskupan Ketapang di Provinsi Kalbar mendesain program acara amal dengan titel “Malam Dana Keuskupan Ketapang” (MDKK).
MDKK ini akan berlangsung di Hotel Mulia Senayan Jakarta, Jumat malam tanggal 28 September 2018 dengan menu acara berupa gala dinner, lelang benda-benda religius bernuansa seni khas Dayak dalam balutan program hiburan musik.
Orangtua, ketika usianya makin lanjut, tetap akan merasa dekat dengan anak-anaknya, bahkan akan diperhatikan oleh anak-anaknya di usia senjanya. Lalu, bagaimana dengan para imam sepuh yang dulu merawat iman kristiani kita di paroki-paroki atau tempat lainnya?
Itu pertanyaan kritis yang perlu kita jawab.
Menurut Bapak Uskup Keuskupan Ketapang Mgr. Pius Riana Prapdi, keberadaan Rumah Kasepuhan itu mutlak perlu dan penting segera bisa diwujudkan. Itu karena para imam diosesan (praja) yang kini sudah merajut usia sepuh dulunya telah memberikan diri melakukan karya pelayanan bagi Gereja dan umat.
“Karena itu, para imam yang sudah sepuh itu jua memerlukan tempat yang nyaman untuk bisa beristirahat dan menikmati masa tuanya dalam ketenangan,” tulis Mgr. Pius Riana Prapdi.
“Setidaknya harus tersedia rumah yang nyaman untuk bisa mereka tempati di usia senja. Itulah tempat tinggal yang layak untuk berdoa, beristirahat dan mengendapkan diri pada masa tuanya,” papar Mgr. Pius.
Berbagi impian
“Sebagai Uskup, saya bermimpi mewujudkan rumah purna karya bagi para imam diosesan Keuskupan Ketapang yang kita cintai,” tulisnya.
“Saya ingin berbagi impian ini dengan Anda, sekaligus mengetuk hati Anda sekalian untuk mewujudkan tersedianya rumah purna karya bagi para imam,” begitu harap Mgr. Pius Riana Prapdi jelang berlangsungnya MDKK di hari Jumat (28/9/18) petang mendatang.