Mari Menjadi Peka, Bukan ‘Pekok’! (1)

0
2,213 views

Tahun 80-an, saya sering menggunakan jasa omnibus vehiculum yang kemudian orang menyebutnya sebagai  bus dari Jogya ke Magelang, tepatnya di Mertoyudan.

Di dalam perjalanan, kami duduk di kursi masing-masing. Di tengah perjalanan, kadang ada penumpang baru yang naik. Tidak terelakkan bahwa penumpang yang baru itu adalah seorang ibu yang sudah hamil tua.  Dengan kepekaan yang tinggi dan gentleman, seorang pemuda tentu akan berdiri dan mempersilakan ibu itu untuk menempati tempat duduknya. Inikah makna dari lady first?  Wallahu alam bissawab!

Sejak dini
Sikap pemuda tadi sungguh pantas untuk dipuji. Sikap peka bisa dilatih sejak anak usia dini.  Kahlil Gibran, lahir di Bsharri, Libanon  (1883 – 1931)  dalam Suara Sang Guru, menulis  seorang anak yang dididik dengan  penuh kasih, akan menjadi pribadi yang  yang menasihi. Sejak usia dini, anak dilatih untuk keluar dari diri membantu orang lain.

Dari sini kita kenal dengan sebuah syair, “Sympathy for the suffering of others¸often including a desire to help” yang berarti: rasa simpati terhadap penderitaan sesamanya yang dinyatakan dengan keinginan untuk menolong. Bagi Immanuel Levinas (1906 – 1995), pengalaman dasar manusia adalah pertemuan dengan orang lain.

Oleh karena itu, seseorang bertanggungjawab total atas keselamatan sesamanya. Di sinilah muncul istilah effect of care (kepekaan dan kepedulian). Hal ini sama dengan ahli kopi yang sangat peka pada cita rasa sesendok kopi. Pencicip kopi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan kopi disebut sebagai  coffe taster memiliki kepekaan yang sangat tinggi.  Mereka dapat menjelaskan, meskipun dengan mata tertutup  tentang kopi yang mereka minum secara detail. Keahlian menjadi peka itu dibutuhkan latihan sejak  dini.

Pepatah Cina kuno berujar, “Hanya orang buta yang dapat menikmati cahaya sesungguhnya”. Bagi seorang yang menderita tuli, bisa mendengar suara air yang menetes saja sudah menjadi musik yang paling indah. Sama seperti orang buta yang bisa melihat rembulan, pasti akan indah luar biasa. Helen Keller, lahir di Tuscumbia, Alabama  (1880 –  1968)  pernah berkata, “It is terrible thing to see and have no vision.”  

Menurutnya, asal melihat dan benar-benar melihat adalah dua hal yang berbeda.  Tetapi bagi kita yang mendengar dan melihat secara normal,  seringkali hal-hal yang kecil itu lewat begitu saja.  Bunda Maria memiliki kepekaan yang tinggi. Dalam kisah perkawinan di Kana (Yoh 2: 1 – 10) menunjukkan kepekaan Maria terhadap kondisi orang yang sedang mengadakan pesta pernikahan.

Maria meminta Yesus untuk membantu tuan pesta supaya terhindar dari rasa malu.  Ia sehati seperasaan dengan tuan pesta.  Marah Rusli (1889 –  1968)  dalam Sitti Nurbaya,  melukiskan kepekaan yang dibuat oleh Arifin, sahabat Samsulbahri. Arifin paham sekali apa yang menjadi kesedihan dan kedukaan sahabatnya itu, maka ke mana pun pergi Samsul selalu diikuti. bersambung

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here