Penyelesaian konflik masalah Papua diperlukan pendekatan dengan cara antropologi, kata dosen Antropologi FISIP-UI Meutia Farida Hatta Swasono.
Dalam acara seminar yang bertema Meneropong Ke-Indonesia-an Dalam Ke-Papua-an, di Pusat Studi Jepang UI Depok, Selasa, dia mengatakan, permasalahan Papua menunjukkan pendekatan antropologi kurang dimanfaatkan, kurang dihargai, terabaikan sehingga permasalahan sosial budaya tidak terselesaikan.
Ia mengatakan, pihaknya tidak dapat mengabaikan dan kemajuan yang sudah dinikmati oleh rakyat Papua dalam kurun waktu sekitar setengah abad. Meskipun demikian perlu mengakui bahwa lemahnya perhatian terhadap kondisi sosial budaya masyarakat dan pemahaman terhadap faktor-faktor sosial budaya masyarakat Papua dalam merespon perubahan di lingkungan mereka.
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan tersebut mencontohkan dalam budaya birokrasi yang menyebabkan munculnya perasaan terabaikan, ketakutan, kekecewaan sampai dengan perasaan ingin memisahkan diri dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Ketika perasaan kecewa, sakit hati yang terjadi tidak direspon melalui pendekatan budaya yang tepat, maka muncul lah konflik dan kekerasan,” jelasnya.
Untuk itu lanjut Meutia, perlu melihat sejarah Papua dengan Kesultanan Tidore di mana sekitar 600 tahun yang lalu Kesultanan Tidore mempunyai hubungan kekuasaan dengan pesisir Papua.
Selanjutnya Provinsi Irian Barat diresmikan pembentukannya pada 17 Agustus 1956 dengan Ibu kota di Soa Siu di Tidore dan Sulta Tidore menjadi gubernurnya yang pertama.
Kesultanan Tidore juga menyatakan telah memiliki peran penting dan strategis dalam pengembalian Irian Barat ke pangkuan NKRI. Perasaan bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia sedikitnya telah terekam dari hubungan antara Kesultanan Tidore dan Irian Barat.
“Ini menunjukkan telah ada perasaan kebersamaan suatu ikatan batin sesama bangsa Indonesia kepada masyarakat dan tanah Papua,” ujarnya.
Ia menilai kelemahan dalam pendekatan pembangunan dalam periode-periode pemerintahan yang lalu telah menimbulkan reaksi karena Papua dijadikan harta karun bagi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Untuk itu kata dia dialog yang bertujuan memutus siklus konflik dan kekerasan di papua ini harus dilakukan.
Sementara itu Dosen FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen) Agapitus Dumatubun mengatakan, kebudayaan masyarakat setempat harus dipelajari sehingga bisa dicari penyelesaiannya.
“Budaya orang Papua itu sangat terbuka sehingga diperlukan penjelasan tentang suatu permasalahan,” katanya.
Menurut dia masyarakat Papua perlu penjelasan mengenai mengapa janji-janji banyak yang tidak terjadi, begitu juga mengapa terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM.
“Kalau mereka dijelaskan maka akan dapat menerimanya,” ujarnya.
Dikatakannya budaya kepemimpinan di Papua mempunyai empat karakter kepemimpinan yaitu pertama tipe kepemimpinan pria berwibawa, kedua pria raja, ketiga pria kepala suku, dan keempat pencampuran. Dari empat tipe kepemimpinan tersebut didominasi oleh tipe kepemimpinan pria berwibawa.