AKHIR Agustus 2018 yang lalu, saya ikut kegiatan di Surabaya yang melibatkan banyak orang cacat, termasuk yang buta. Dalam acara itu, ditampilkan sebuah sendratari yang menampilkan beberapa orang cacat yang mewakili semua segi kecacatan fisik dan mental.
Kata-kata dari si buta sungguh menggugah: “Betapa indahnya dunia ini, walau aku hanya dapat meraba dalam gelap pekat hidupku. Betapa cantik Ayu dan gagah saudara-saudari di sekitarku, walau aku tak dapat melihatnya. Hanya mata hatiku yang mengatakan, betapa indahnya ciptaan Tuhan ini. Aku bersyukur bisa melihat dengan ‘mata hatiku’. Aku buta, tapi aku dapat melihat.”
Bacaan-bacaan suci hari ini memperlihatkan beberapa hal untuk direnungkan.
Pertama, Allah Mahakasih yang peduli dengan hidup manusia. Dia akan mengumpulkan sisa Israel, termasuk yang buta. Allah akan menuntun mereka, agar tidak tersandung dan jatuh (Yer 31:7-9).
Dan Allah yang Mahakasih, Allah yang peduli itu hadir dalam diri Yesus Almasih: “Apa yang kaukehendaki Kuperbuat bagimu?” (Mrk 10:46-52). Kehadiran Yesus untuk membuat orang buta melihat, orang bisu berbicara, yang lumpuh berjalan. Bahkan Yesus ikut merasakan penderitaan manusia, walau Dia adalah Imam Agung (Ibr 5:1-6).
Kita mungkin tidak buta, tapi bisa jadi “mata hati” kita sedang buta. Kita kurang peka terhadap kejadian di sekitar kita. Kita kurang peduli terhadap kebutuhan sesama yang menderita, kebutuhan umum: masyarakat dan gereja.
Maka, hari ini juga mengutip kata-kata Bartimeus kita minta kepada Yesus: “Rabuni, semoga aku dapat melihat.”
Melihat dan tanggap dengan situasi dan kondisi sekitar kita dan bergwrak untuk memberi bantuan.
Doaku: Tuhan Yesus, melekkan mata hatiku untuk peka melihat penuh kasih sesama yang ada di sekitarku. Amin.