Agamawan yang juga Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah Abu Hapsin menilai pemaknaan agama oleh warga masyarakat sekarang ini cenderung lebih pada aspek simbolis, bukan substantif.
“Saya sebenarnya tidak terlalu gembira dengan kebangkitan agama yang lebih mementingkan simbol, bukan pada esensi dan substansi,” katanya, seusai diskusi bertema “Kerukunan Umat Dalam Kebhinnekaan” di Semarang, Senin.
Menurut dia, gejala pemaknaan agama yang cenderung pada simbol ditunjukkan oleh banyak hal, seperti banyak orang mulai memakai jilbab dan kerudung, mushala dan masjid yang mudah ditemui di berbagai instansi perkantoran.
Kegiatan-kegiatan pengajian saat ini juga mudah sekali ditemui, kata dia, tetapi kasus korupsi ternyata juga kian marak sehingga realitas keberagamaan hanya nampak di permukaan, sementara esensinya justru tidak dipahami.
Persoalannya, kata Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jateng itu, simbol-simbol agama lebih mudah dimanfaatkan untuk kepentingan nonagama, misalnya, politik, ekonomi, dan mengangkat citra.
Ia menilai maraknya tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, aksi teror yang bermotif jihad, dan konflik antarpemeluk agama yang terjadi sekarang ini dipengaruhi pemaknaan agama lebih pada simbol.
“Orang yang memaknai agama lebih pada sekadar simbol atau lebih mementingkan simbol, menurut saya kekanak-kanakan. Termasuk misalnya, keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam,” katanya.
Abu Hapsin menyontohkan negara-negara Skandinavia dan Selandia Baru, meski tidak menerapkan negara Islam, mereka memiliki “good government in governance” sehingga masyarakatnya sejahtera dan tenteram.
“Orang yang ingin Indonesia menjadi negara Islam tidak tenang hidup di sini. Terjadi konflik nilai. Di satu sisi mereka menganggap pemerintah kafir, di sisi lain mereka nyatanya hidup di Indonesia,” kata Abu Hapsin.
Sementara itu, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jateng Pendeta Napsun Setyono yang juga menjadi pembicara mengaku prihatin atas terjadinya konflik berlatar agama yang terjadi akhir-akhir ini.
“Konflik agama bisa disebabkan banyak faktor, seperti ekonomi, ideologi agama, dan sosial politik. Namun, kehidupan sosial politik yang paling berpengaruh dan memengaruhi agama yang merupakan keyakinan pribadi,” katanya.
Napsun mengakui bahwa kristen juga menghadapi realitas keberagaman dengan adanya lebih dari 150 aliran agama sehingga pihaknya terus berupaya memupuk kerukunan, kedamaian, dan keharmonisan umat satu sama lainnya.