Kapel Yesus Maria Yosep (YMY) Liliba Kupang, Nusa Tenggara Timur tampak masih sepi ketika waktu menunjukkan pukul 17.00 Wita pada 2 Januari 2012.
Tak lama berselang, para seminaris bersama orangtuanya ke kapel tersebut untuk menghadiri misa yang dipimpin oleh Pastor Paroki St Yoseph Pekerja Penfui Kupang Romo Florence Maxi Un Bria, Pr.
Ibadat kecil dengan tema “Motivasi Iman Untuk Para Seminaris” itu untuk mendorong serta memberi penguatan iman kepada para siswa yang memilih jalur ke seminari sebagai calon imam (Katolik).
Sebagian besar dari para seminaris itu masih duduk di bangku kelas tujuh atau setara dengan SMP kelas I serta beberapa di antaranya sudah menjadi calon frater atau semi imam jika sudah melanjutkan pendidikan ke Seminari Tinggi selepas dari Seminari Menengah (setara dengan SMA).
Para seminaris yang hadir pada misa bertajuk Motivasi Iman itu berasal dari Paroki St Yoseph Pekerja Penfui Kupang yang menuntut ilmu menjadi calon imam di berbagai seminari yang ada di Nusa Tenggara, mulai dari Bali, Flores, Sumba dan Timor.
“Sebagai pastor paroki, saya memiliki kewajiban moril untuk terus mendorong mereka agar tekun dalam belajar sehingga kelak terpanggil menjadi seorang imam,” kata Romo Maxi Un Bria.
“Memang, banyak yang terpanggil menjadi calon imam, tetapi hanya sedikit yang terpilih menjadi wakil Tuhan di dunia, karena sistem pendidikan di seminari sangat ketat jika dibandingkan dengan sekolah umum lainnya,” katanya menambahkan.
Romo Maxi Un Bria kemudian menceritakan pengalaman pahitnya ketika masih duduk di Seminari Lalian Atambua di Kabupaten Belu, wilayah yang berbatasan dengan negara Timor Leste.
“Hal yang paling menakutkan bagi kami semua siswa seminari pada saat itu adalah ketika tibanya pengumuman nilai ujian semester. Jika nilai pelajaran Bahasa Latin 5 (lima) maka berkemas-kemaslah pakaian untuk segera tinggalkan seminari,” ujarnya.
Bahasa Latin mutlak bagus
Menurut dia, Bahasa Latin merupakan standar utama di seminari karena menjadi sumber dari segala bahasa asing, sehingga tidak ada toleransi bagi siswa yang memperoleh nilai 5 (lima), sekalipun nilai mata pelajaran lainnya bagus.
“Banyak sahabatku pada saat itu harus meninggalkan seminari karena nilai Bahasa Latinnya 5 (lima). Hanya kami dua orang yang akhirnya terpilih menjadi imam (Katolik) setelah tuntas menyelesaikan pendidikan di Seminari Tinggi St Mikhael Kupang,” katanya.
Ada sebuah kebanggaan tersendiri bagi Romo Maxi Un Bria terhadap para seminaris saat ini, karena setelah tamat di lembaga pendidikan sekolah dasar (SD), mereka langsung langgar laut untuk bersekolah di seminari yang ada di Bali, Flores dan Sumba.
“Bagi saya, ini sesuatu yang luar biasa, karena di usia mereka yang masih kecil, mereka memiliki keberanian untuk tinggalkan orangtuanya yang berada di Pulau Timor. Ini menunjukkan bahwa motivasi mereka menjadi calon imam begitu sangat kuat,” katanya.
Bonefasius Pukan, yang didaulat mewakili orangtua seminaris pada saat itu mengatakan bahwa pilihan anak-anak sekolah di seminari bukan karena motivasi mereka menjadi imam, karena menjadi imam (Katolik) adalah pilihan yang ditentukan sendiri oleh Tuhan.
“Banyak yang terpanggil, tetapi sedikit yang terpilih,” kata Pukan yang juga mantan siswa Seminari Hokeng di Larantuka, Kabupaten Flores Timur yang tidak terpanggil menjadi seorang imam.
Manusia terang
Romo Maxi Un Bria juga mengakui bahwa sekalipun para seminaris tidak terpanggil menjadi imam, namun bekal pengetahuan mereka sudah sangat memadai karena sistem pendidikan di seminari telah memotivasi mereka menjadi manusia-manusia yang “bersinar terang”.
“Banyak teman saya yang tidak terpanggil menjadi imam, namun mereka menjadi manusia-manusia sukses di bidangnya masing-masing,” katanya mencontohkan.
Bonefasius Pukan mengakui bahwa lembaga pendidikan Katolik, khususnya seminari memang sangat mahal jika dibandingkan dengan sekolah umum lainnya, karena para siswa kelak akan mendapatkan juga sesuatu yang “mahal” dari lembaga pendidikan tersebut.
“Jika kelak terpanggil menjadi imam, itu adalah sebuah panggilan yang mahal harganya. Jika tidak terpanggil menjadi imam pun, kelak akan mendapatkan sesuatu yang mahal pula di dunia yang lain, seperti menjadi penulis yang hebat, pengusaha yang sukses serta menjadi pengajar yang handal,” katanya mencontohkan.
Untuk masuk sekolah di seminari tingkat pertama, misalnya, seorang siswa harus dipungut lebih dari Rp 10 juta untuk berbagai keperluan sekolah, seperti uang pembangunan, seragam sekolah serta fasilitas lainnya termasuk uang makan dalam bentuk beras dan kacang-kacangan.
“Inilah ciri sekolah-sekolah bermutu. Karena kemauan anak sekolah di seminari maka orangtua pun terpaksa kredit uang di bank, koperasi dan lain-lain untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Tetapi, nilai mata pelajaran standar seperti Bahasa Latin, Bahasa Inggris dan Matematika tidak mencapai angka 6, maka bersiap-siap pula untuk tinggalkan seminari,” kata Romo Maxi Un Bria.
Atas dasar itulah, Romo Maxi Un Bria merasa terpanggil untuk memberi misa khusus kepada para seminaris yang ada di lingkungan Paroki St Yoseph Pekerja Penfui Kupang guna memberi penguatan dan motivasi iman agar “tidak layu sebelum berkembang” menjadi manusia yang kaya arti bagi sesamanya.