HAL paling miris yang saya amati akhir-akhir ini gejala orang mudah terpancing untuk bereaksi negatif terhadap suatu peristiwa. Lihat saja contoh kasus Ahok-Buni Yani yang merembet ke demontrasi besar-besaran beberapa waktu lalu. Medsos jadi ramai dengan caci maki, umpatan dan kata-kata kotor. Ya ampun, terus terang saya gagal paham.
Saya juga ikutan bingung waktu ada peristiwa 212. Kira-kira Pak Presiden yang katanya klemar klemer itu mau bersikap seperti apa, ya?
Kalau pendemo yang jumlahnya ratusan ribu ini tidak ditemui, wah, bisa jadi fitnah keji buatnya. Tapi kalau ditemui, kok keliatan beliau mau saja ditekan sama kekuatan massa.
Serba salah. Itu kacamata saya yang awam. Tapi tahunya yang terjadi sungguh di luar dugaan. Presiden malah ikut gabung dengan acara 212. Apa pun alasannya, Presidenku keren. Bisa ngemong, padahal beliau tahu dan merasa beberapa pihak mengingini dia jatuh.
Melihat beliau membawa payung menerobos hujan saya melihat sebuah pengorbanan diri yang luar biasa. Dia betul-betul tidak memikirkan keselamatan diri sendiri bahkan egonya sudah dia buang jauh-jauh. Jika itu terjadi di era enam presiden sebelumnya, bisakah kau bayangkan kira-kira seperti apa reaksi mereka?
Fine. Saya cuma mau sharing kalau membuang ego itu bukan perkara mudah. Lima belas tahun lalu saat saya tinggal di asrama susteran di Yogya, saya punya seorang teman yang benar-benar unik.
Disapa dia cemberut, diajak senyum buang muka, diajak bicara diam saja. Itu terjadi kepada semua penghuni asrama. Semua teman jadi merasa tidak nyaman. Bingung melihat perilakunya yang tak lazim.
Ada saat mood-nya lagi bagus, dia bisa ceria dan menyapa semua orang. Tapi kalau mood-nya jelek, yang terjadi ya, seperti itu. Mogok.
Teman-teman lain bisa sabar menerima dia meski tadinya habis-habisan dijutekin tapi saya yang paling sulit. Rasanya kesal banget ketemu orang macam ini.
Kalau lagi kumat, pengen banget saya jitak. Heloww… lihat dunia dong, memangnya cuma kamu yang ada di dunia ini? Rasa kesal itu bisa mengendap berhari-hari di benak saya dan lama-lama jadi dendam di hati.
Kalau saya curhat sama Suster Kepala paling-paling saya yang dinasihati: Kan, kamu lebih dewasa, kamu sebaiknya memahami sifatnya itu.
Aduh, gimana bisa memahami, lha wong tiap hari ketemu. Di meja makan, di kapel, di ruang rekreasi, di lorong, di kebun, di dapur….ketemu lagi sama dia. Sedih, lho punya temen kayak gini. Kita mau hidup normal-normal aja, tapi orang ini ngajak hidup upnormal hehehe….
Akhirnya yang bisa saya lakukan cuma melawan perasaan itu sekuat-kuatnya. Saya lakukan terbalik dari yang seharusnya. Saat saya pingin diam, saya justru menyapa dia. Saat saya mau marah saya justru memberi dia senyuman. Saat saya pengin buang muka, saya justru ngajak dia ngobrol.
Jangan tanya apa perasaan saya waktu melakukan ini. Beraaat sekali. Tapi ternyata itu jadi senjata ampuh melawan keegoisan diri. Ini bukan sikap munafik, loh, ya. Beda dengan munafik yang di depan baik tapi di belakang menusuk.
Saya benar-benar lakukan dengan tulus. Lha wong, saya tidak mau punya musuh apalagi saya tinggal satu asrama dengan dia, makan tidur bareng-bareng.
Suster Kepala bilang ini namanya agere contra: melakukan hal yang sebaliknya. Doing the opposite for Christ. Sebagai anak asrama yang dididik secara Katolik, kami memang wajib mempraktikkan agere contra agar hidup rohani semakin berkembang. Bukan egonya yang meningkat hihihi…
Kemudian hasilnya apa? Teman saya lama-lama sikapnya meleleh. Ia mulai lembut, mulai dekat, mulai bersahabat. Penghuni asramapun mulai ceria dan nyaman tinggal bersama
Melakukan agree contra butuh pengorbanan terutama korban perasaan. Di saat-saat tertentu dalam tikungan hidup pengorbanan macam ini diperlukan agar tercipta damai dan kebahagiaan di sekitar kita. Minimal lingkup kecil, keluarga atau di kantor.
Buat apa hidup ini jika bukan untuk hidup damai dan bahagia?
Terimakasih Presidenku atas pengorbanan perasaanmu.