“Membaca ’Ensiklopedia Agrobudaya’ ini memang hanya pertunjukkan 90 menit, tetapi kenyataannya ’ensiklopedia agrobudaya’ terjadi 24 jam setiap hari, tidak berkesudahan,” kata Sutanto Mendut.
“Ensiklopedia Agrobudaya” memang pertunjukkan multidimensi dan multiperspektif yang disuguhkan para seniman petani itu melingkupi kemasan berbagai wujud seperti musik, sastra dan mantra, tari, properti alam, sesaji, dan kehidupan sehari-hari masyarakat desa.
Ia menyebut agrobudaya bukan sebatas teknologi pertanian dan peternakan atau dunia pangan, akan tetapi sebagai kosmologi hidup yang melintasi jagat manusia.
Agrobudaya, katanya, mengatasi zaman, hal ikhwal menyangkut tradisi yang sekaligus kontemporer, pakem dan sekaligus pembaruan.
“Pemaknaannya adalah Seminari sadar atau tidak sadar bersentuhan dengan dimensi agrobudaya,” kata Sutanto yang beberapa waktu lalu menjadi pengajar tamu di Program Pascasarjana ISI Yogyakarta itu.
Pentas berdurasi 90 menit itu bagaikan ajakan semua saja, khususnya yang berkesempatan hadir di halaman Seminari Mertoyudan siang itu, untuk membaca buku. Buku bernama “Ensiklopedia Agrobudaya” itu mungkin menjadi referensi penting pengembangan pendidikan seminari.
Uskup Pujasumarta juga mengisyaratkan pentingnya keluarga besar Seminari Mertoyudan yang telah berusia seabad itu terus berbenah agar para alumninya semakin memainkan peran penting dalam perubahan zaman.
Dengan mengutip kisah Yesus dengan para murid yang sedang mencari ikan di Danau Tiberias, Galilea, dengan mengubah menebar jala dari kiri ke kanan perahu, Uskup Pujasumarta berkehendak atas pengembangan pendidikan para seminaris itu.
Dan pergelaran kolaborasi seniman petani gunung “Ensiklopedia Agrobudaya” itu, agaknya menjadi pengibarat lain atas perlunya pengembangan pendidikan Seminari Mertoyudan yang terletak di kawasan lima gunung tersebut.
Seminaris bagaikan kaum cucu energi gunung yang kelak menghadapi para Kurawa dalam lakon “Arjunawiwaha Gunung”, sedangkan tentang waktu bagi mereka, secara jelas termaktub dalam satu bait terakhir puisi Rosa Herliany, “Penari di Tanah Cinta”.
“’Mereka adalah penari, dan dengan hentakan tubuh, mereka menyadarkan sebuah jagat dalam kuluman waktu’”.
Artikel terkait:
Pentas Seni Lima Gunung pada Puncak Perayaan 100 Tahun Seminari Mertoyudan (1)
Pentas Seni Lima Gunung pada Puncak Perayaan 100 Tahun Seminari Mertoyudan (2)