BAPERAN – BAcaan PERmenungan hariAN.
Kamis, 16 September 2021.
Tema: Airmata suci.
- 1 Tim 4: 12-16.
- Luk. 7: 36-50.
MENANGIS merupakan salah bentuk ekspresi manusiawi. Ada tangis derita. Ada airmata bahagia.
Kadang airmata merupakan ungkapan harapan sesuatu yang terpendam. Di dalam kancah kehidupan yang tak terlepas dari penderitaan dan manipulasi.
Apakah saya berani belajar menangis, kala melihat situasi yang tragis?
Kadang belas kasihan, belarasa dan solidaritas itu diungkapkan melalui tetesan airmata. Hanya dengan belajar menangis, kita dapat melakukan sesuatu yang lebih baik untuk orang lain dengan sepenuh hati.
Olah batin
Bersama dengan sejumlah teman mahasiswa-mahasiswi, kami terlibat dalam karya kerasulan sosial yakni pendampingan belajar di pinggir Kali Pingit, Yogyakarta. Kira-kira terjadi sekitaran 30 tahun silam.
Sepulang beraktivitas, kami menelusuri Jl. Pasar Kembang, tempat kehidupan malam menyeruak. Tidak jauh dari Stasiun Tugu Yogyakarta.
Sambil duduk di tempat yang remang, seorang ibu agak berumur menyapa, “Mas… Mas sini mampir. Sini dipijitin. Ayo Mas. Ke sini. Reneo kene.Tak pijetin ayo,” serunya penuh degupan hati.
Kami hanya menggelengkan kepala. Sedikit tersenyum dan berlalu.
Berkali-kali, setiap hari Senin dan Kamis, kami mengalami hal yang sama. Tak ada gerak batin apa pun untuk menyapa dan menjumpainya.
Ada rasa takut. Mungkin rasa diri sebagai yang “bersih”.
Suatu saat, saya dan teman saya ketika disapa oleh ibu ini. Kami memberanikan diri menghampiri dia dan kemudian duduk bersama dia.
“Dari mana to Mas. Masih muda jalan-jalan. Nyari yang hepi-hepi ya? Ayuk tak pijetin. Nggak apa apa. Sekalian berdua juga boleh. Tak servis yang enak Mas. Pokoknya puas,” desahnya super manja.
“Kami dari Kali pingit, Mbak. Kami menemani dan mengajari anak-anak belajar. Kami sebagian besar kuliah di Universitas Sanata Dharma. Dan kami sendiri adalah frater.
“Oh, frater, calon Romo to? Duh eman-eman, nom-nom, ganteng-ganteng kok dadi romo. Piye to? Tapi rak popo toh mung pijitan wae. Rak mahal kok. Pantesan sering lewat sini. Nggak seperti orang biasa, lirak-lirik. Disapa, yo meneng wae. Ning senyum. Ayo Mas, ora popo. Ra ono sing ngerti kok. Tak kei murah. Ayo Mas. Mesake anakku. Mben iso mangan.”
Mak tratap. Mak deg hatiku mendengar kalimat: “Anakku ben iso mangan.” Otomatis, kami jadi terpicu ingin mengerti keadaan mereka sesungguhnya.
Apalagi, kami dilatih memiliki kepekaan sosial.
“Di mana to omahe mbak?”
“Ngopo takon omahku. Arep tak pijet neng omah po?” tanyanya sewot.
Kami pun diam. Pamit. Tapi hati tersentuh.
Setelah lama kenal, akrab bersaudara, ia mau menunjukkan alamat rumahnya.
Betapa kami kaget melihat keadaan nyata rumahnya.
Dua anak kecil di rumah, pintu dikunci dari luar
Sebenarnya, ia seorang isteri dari lelaki suaminya yang mapan. Namun ia kemudian diceraikan. Lalu menempati rumah saudaranya.
Lebih kaget lagi, saya melihat kedua anaknya. Yang pertama laki-laki, kelas 1SD. Yang seorang lagi perempuan, baru sekitar umur 3 tahun.
Sambil menangis, ia bercerita apa yang dia alami dalam hidup ini. Kalau ibu ini harus “bekerja”, ia baru bisa meninggalkan rumah sekitar pukul 18.00 sore. Anak-anak dia tinggal di dalam rumah. Dikunci dari luar. Sudah disediakan dot susu. Baru bisa pulang ke rumah sekitar pukul lima pagi.
Dasar anak-anak masih kecil dan tidak tahu apa-apa, membuang air kecil mau un BAB itu pun terjadi di atas kasur. Ibunya yang kemudian membersihkan, saat sudah bisa kembali pulang ke rumah.
Saya ingat betul, bagaimana suasana dan aroma rumah itu. Bagaimana ibu ini bekerja, membanting tulang.
Tak ada saudaranya yang peduli.
Malukah? Siapa yang berhak menghakimi? Hinakah ibu dan kedua anaknya? Siapa yang menjadi hakim untuk menilai cara hidup mereka?
Beberapa kali, kami mengunjungi dengan beberapa teman untuk sekedar menghibur anak-anak pada siang hari. Dan pada malam hari, kami sengaja melewati rumahnya untuk melihat apakah mereka aman. Tentu tidak membangunkan mereka.
Hati ini rasanya mau menangis. Oh, Tuhan.
Airmata perjuangan hidup. Kendati tahu pekerjaannya itu “jauh” dari Tuhan.
“Engkau lihat perempuan ini? Aku masuk ke rumahmu, namun engkau tidak memberikan aku air untuk membasuh kakiku. Tetapi dia membasuh kakiku dengan airmata dan menyekanya dengan rambutnyanya. Engkau tidak mencium aku, tetapi sejak aku masuk, ia tiada henti-hentinya mencium kakiku. Engkau tidak memiliki kepalaku dengan minyak, tetapi ia memiliki kakiku dengan minyak wangi.” ay 44b-46.
Oh, Tuhan…derita dan tangis mereka, Engkau yang mengenalinya. Amin