SUASANA seminar tentang “MEA dan Tantangan Dunia Pendidikan Indonesia” di STIE / ABA St. Pignatelli yang berlangsung siang hari tiba-tiba berubah menjadi segar dan hidup ketika Irjen Kemenristek & Dikti, Prof. DR. Jamal Wiwoho SH, MH, tiba-tiba turun panggung dan meminta seluruh peserta dari berbagai kota di Jawa Tengah yang berjumlah 300 orang untuk berdiri. (Baca juga: Seminar di STIE St. Pignatelli Surakarta: Kiat Khusus Memenangi Persaingan MEA)
Dengan suara lantang, Staf Khusus Presiden itu memerintahkan kepada seluruh peserta untuk meneriakan yel-yel, “Saya Siap Menghadapi MEA – Saya Siap Menghadapi MEA – Saya Siap Menghadapi MEA”. Bak seorang dirigen sebuah kelompok paduan suara besar, Jamal Wiwoho kemudian memimpin seluruh peserta meneriakan yel-yel tersebut. Akhir dari teriakan “yel-yel” tersebut, tepuk tangan menggema dan senyuman pun mengembang di seluruh ruangan aula STIE/ABA St. Pignatelli, Selasa (29/3).
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) – istilah yang sering digunakan untuk menyebut area perdagangan bebas kawasan ASEAN – sekalipun belum diketahui benar oleh dunia pendidikan dan para mahasiswanya setidaknya dengan cara itu membuat orang tertarik untuk menyimak seminar tersebut. Selain Jamal Wiwoho, seminar tersebut menghadirkan juga Dr. drh. C Novi Primiani MPd (Dekan F-MIPA IKIP PGRI Madiun), Franciscus Welirang (pengusaha nasional) dan dipandu oleh Didik Kartika.
Menurut Ketua Yayasan St. Pignatelli, Romo JB Clay Pareira SJ, dibanding dengan negara lain, Indonesia sangat tertinggal dalam sosialisasi MEA. Berbeda dengan negara lain, para mahasiswa sangat asing dengan istilah MEA itu. Meskipun mungkin mendengar, ujar Rm Clay SJ, diyakini para mahasiswa dan masyarakat Indonesia kebanyakan tidak mengerti secara jelas tentang MEA tersebut.
“Di Thailand, sebagai misalnya, kedatangan MEA itu disambut dengan berbagai gelar budaya yang diikuti oleh anak-anak sekolah dan mahasiswa. Dalam gelar budaya mereka menggunakan pakaian tradisional masing-masing dan menyanyikan lagu-lagu. Seakan-akan bagi mereka MEA adalah suatu kehidupan baru dalam budaya mereka, dalam negaranya,” ujar Rm Clay yang beberapa tahun pernah tinggal di Thailand.
Oleh karena itu, jelas Clay SJ lebih lanjut, sosialisasi budaya seperti yang dilakukan oleh Staf Khusus Presiden itu, memberikan warna lain dan daya tarik sendiri. Meneriakan yel-yel itu adalah persoalan yang sangat sederhana tetapi dampak dari sentuhan budaya atas suatu “nilai” yang tidak dapat dihindari akan memberikan dampak positip dan sekaligus kewaspadaan atas sebuah nilai baru itu secara tidak langsung.
Sementara itu, Ketua STIE Pignatelli, Titik Dwiyani dalam pidato pembukaannya mengatakan, pertanyaan utama dalam seminar tersebut sebenarnya adalah sudah siapkah mahasiswa menghadapi MEA. Jika tidak mengenal MEA dalam arti definisi dan sebuah nilai, kompetisi dan persaingan yang seharusnya muncul dalam sumberdaya manusia (SDM) Indonesia tidak akan terjadi. Kesadaran tentang meningkatnya persaingan dalam perdagangan bebas, hanya bisa terjadi jika sebuah bangsa sudah tersosialisasi dengan baik tentang MEA itu sendiri. Jika, MEA tidak tersosialisasi dengan baik, jangan berharap Indonesia akan memenangi persaingan tersebut.
Keterangan foto: Ki-ka: Rm. JB Clay Pareira SJ (Ketua Yayasan St. Pignatelli), M. Lulut Mariani M.Pd (Direktur ABA St. Pignatelli), DR. dr. C. Novi Primiani M.Pd (Dekan F-MIPA IKIP PGRI Madiun), Franciscus Welirang (pengusaha), Prof. DR. Jamal Wiwoho SH, MH (Irjen Kemenristek & DIKTI/Staf Khusus Presiden RI), Titik Dwiyani (Ketua STIE St. Pignatelli) dan Didik Kartika (Moderator).