BENCANA besar bagi kehidupan umat beragama kini adalah hilang sisi humanistik agama itu sendiri. Ini adalah era pasca sekuler dimana orang tidak lagi percaya pada agama, tetapi dalam pengakuannya, mereka ber-Tuhan. Agama menjadi problem bagi mereka, namun di saat berkembangnya ilmu pengetahuan orang justru mengalami kekosongan batin.
Prof Dr Koerniatmanto Soetoprawiro berbicara dalam sesi I sekaligus pembukaan studi mengenai ‘’Ajaran Sosial Gereja’’ dengan tema, “Praktik Hidup Iman Kekatolikan dalam Keseharian” dengan subtema “Pengantar Umum ASG”. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Studi St. Thomas Aquinas PMKRI Bandung, Jumat 4 November 2016 di Margasiswa PMKRI Bandung. Studi tersebut terlaksana dalam empat sesi selama November 2016.
Dari problem kehidupan umat beragama kini membuat orang mengalami kecenderungan menghubungkan antara manusia dan makhluk gaib. Namun dari arah sebaliknya, kehadiran ilmu justru menjadi persoalan besar bagi kaum beragama. Karena bisa saja orang beragama, tapi belum tentu ia beriman.
Antara keberimanan dan beragama sebenarnya masuk dalam pertemuan antara aku yang fana dan kau yang abadi, antara aku yang rahasia dan Kau yang misteri. Tentunya iman tampak dalam yang misteri dan abadi, sedangkan agama melebur dalam yang fana dan yang rahasia.
Kini adalah era pencarian identitas. Modernitas berkembang bersamaan dengan menjalarnya semangat individualitas. Mental konsumptif kian berhasrat, dari arah sebaliknya kaum kapitalisme semakin mengkristal dalam sistem perekonomian dunia yang justru merusak tatanan sosial warga serta perusakan lingkungan secara masif.
Maka, dalam konteks ruang dan waktunya, iman dan praktik hidup keagamaan cenderung melemah, atau bahkan menjadi sebatas beragama saja, hal ini nampak dalam Gereja Katolik juga. Sekalipun situasi demikian sulitnya, dimensi spiritual tetap merupakan aspek yang terus menjelma bagi sebagian orang. Prinsip-prinsip etis yang merupakan warisan tradisi Kristiani telah membentuk budaya dan masyarakat barat, dan berperan penting dalam menggagas identitas dan visi tentang dunia, kini mengalami letargi kebudayaan.
Ajaran kristiani mengenai makna keberadaan manusia yang berkembang dalam arus modernitas bahkan kini postmodernisme, sepertinya masuk dalam permenungan kritis. Karena inspirasi serta konsep nilai etis dan prinsip universalitas manusia mengalami perusakan terhadap martabat manusia dan agama itu sendiri.
Mengutip catatan kredensial seorang Trias Kuncahyono, ‘’di manakah manusia’’ bahwa manusia telah kehilangan kemanusiaannya, ia memeluk kejahatan, kebencian atas kehidupan sesama dan dirinya. Patut menjadi renungan kritis dan mendalam bagi kita umat beragama saat ini.
Gereja merespons situasi sosial
Dalam konteks itu pula, sejak tahun 1891 Gereja universal menggagas dan melahirkan butir-butir kebijaksanaan yang bersumber pada tradisi Gereja serta pengalaman dari perjalanan panjang Gereja universal, juga dasar biblis dari kita suci. Gagasan besar yang kemudian disebut sebagai Ajaran Sosial Gereja.
ASG pertama kalinya adalah Rerum Novarum yang menekankan pentinganya masyarakat yang adil. Sebuah keprihatinan atas konsep keadilan yang absurd oleh berbagai konflik sosial. Lalu, bagaimana relevansinya bagi umat Katolik atas keterlibatannya dalam masyarakat dengan perjalanan ASG hingga kini dalam konteks ruang dan waktu hari ini?
Sejarah ASG
Pada dasarnya, ASG lahir dari kesadaran dan kepedulian akan peristiwa hidup sesama manusia sebagai gambaran citra Allah. Sebagai lembaga rohani, Gereja Katolik tidak pernah berdiam diri. Seruan kenabian selalu didengungkan di kala muncul berbagai tekanan dalam bidang kemanusiaan, ketidakadilan sosial, diskriminasi dan kekacauan sosial. Nuansa batin serta hati nurani tidak mungkin terdiam dan membiarkan manusia lain hidup dalam tekanan dan perlakuan yang tak manusiawi.
Menjelang akhir abad ke XIX, pada tahun 1891 Gereja Katolik kembali menyuarakan kepedulian dan keprihatinannya atas berbagai masalah sosial, terutama Eropa Barat. Keadaan hidup buruh pabrik, kesenjangan sosial antara konglomerat dan kaun proletar, sistem penataan ekonomi yang jauh dari keadilan dan kesejahteraan.
Situasi ini memprihatinkan, sebagai dampak dari lahirnya Revolusi Industri. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi lahirnya ASG. Pada saat bersamaan ASG belum digunakan secara terang-terangan. Tak heran, Paus Leo XIII meluncurkan ensiklik Rerum Novarum yang menerapkan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran bagi hidup sosial khususnya bagi kaum buruh dan pekerja.
Pada tahap-tahap awal, Ajaran Sosial Gereja merupakan refleksi atas masalah-masalah sosial pada awal dan pertengahan abad ke XIX. Masalah-masalah sosial khususnya keadilan bagi kaum buruh dipandang sebagai tantangan serius bagi keberpihakan Gereja Universal. Fenomena Revolusi Industri serta gagasan sistem ekonomi liberalis, sebagai tantangan bagi caritas kristiani. Hal ini sebagai usaha sosial untuk ‘menolong’ para pekerja yang terlantar dalam proses industrialisasi.
Baru dalam prosesnya, masalah buruh disadari sebagai masalah ‘kemasyarakatan’, terutama di bawah pengaruh Karl Marx, serta adanya desakan oleh gerakan sosialis dan komunis. Dengan ensiklik sosialnya, Paus Leo XIII ingin menunjukan keberpihakan Gereja Katolik pada situasi sosial yang memprihatinkan. Dalam perdebatan dengan kaum sosialisme dan komunisme, ASG lebih menekankan pada konsep antropologi Kristiani.
Dalam arti, ASG bukan hanya teori dan ajaran yang berawal dari keterlibatan praktis atau suatu refleksi atas masalah-masalah sosial, melainkan inspirasi baru menuju semangat spiritualitas keterlibatan. ASG melahirkan butir-butir kebijaksanaan sebagai gambaran nilai kristiani mengenai manusia dan panggilannya yang transenden dalam setiap peristiwa-peristiwa sosial.
40 tahun sesudah RN, Paus Pius XI mengedarkan Quadragesimo Anno (15 Mei 1931).
Dalam ensiklik ini, Gereja dengan jelas, tegas, dan resmi menggunakan istilah ASG. Ensiklik ini menekankan penataan kembali tatanan sosial. Gereja fokus pada hidup baik bersama dan keadilan sosial dalam masyarakat. Kala itu, gejala ketidakadilan sosial mendorong Gereja untuk bersuara dan memperjuangkan kesejahteraan manusia sesuai dengan nilai keadilan.
Kemudian pada 15 Mei 1961, Paus Yohanes XXIII menerbitkan kembali ensiklik Mater et Magistra yang berbicara mengenai konsep kristianitas dan perkembangan sosial. Maksudnya adalah kaum awam dan para klerus harus merasul dalam kehidupan riil.
Menyusul kemudian Pacem in Terris oleh paus yang sama pada 11 April 1963 mengenai perdamaian dunia. Dan Gaudium et Spes sebagai gagasan paling progresif dalam sejarah Gereja dimana ada perubahan yang mendasar mengenai Konstitusi pastoral tentang gereja dalam dunia modern. Yang mengubah cara baru hidup menggereja hingga kini.
Gaudium et Spes lahir dalam periode yang sangat progresif bagi Gereja Katolik Roma karena berlangsung dari tahun 1962 sampai 1965 tepatnya pada 7 Desember 1965. Yang sangat istimewa dalam momen ini adalah semua uskup di dunia dikumpulkan di Vatikan kala itu.
Menyusul ensiklik Populorum Progressio oleh Paus Paulus VI pada 26 Maret 1967 tentang pembangunan bangsa-bangsa. Paus Paulus VI kembali menerbitkan kembali ensiklik Octogesima Adveniens pada 14 Mei 1971 mengenai seruan untuk beraksi, Iustitia in Mundo sebagai hasil sidang umum kedua sinode para uskup sedunia tentang keadilan pada 30 November 1971. Masih oleh Paus yang sama pada 8 Desember 1975 melahirkan kembali ‘Seruan Apostolik tentang Tugas Pewartaan di dunia Modern’.
Dalam perjalanannya, di era Paus Johannes Paulus II, beliau menerbitkan empat dokumen pokok yaitu pada 14 September 1981 dengan ensiklik Laborem Exercens tentang kerja manusia, lalu keprihatinan sosial pada 30 Desember 1987 dengan ensikliknya Sollicitudo Rei Socialis, Centesimus Annus tepatnya 1 Mei 1991 guna mengenang seratus tahun Rerum Novarum, kemudian pada 25 Maret 1995 dengan ensiklik Evangelium Vitae mengenai nilai-nilai manusia yang tak dapat diganggu gugat, sebagai ensiklik terakhirnya.
Lima periode
Itulah dokumen-dokumen pokok ASG. Namun, dalam perjalanannya, Prof Koerniatmanto menambahkan bahwa ASG terbingkai dalam lima periode.
Pertama, periode klasik banyak berbicara mengenai urusan sosial-ekonomi, kisah sengsara kaum pekerja, ruang lingkupnya adalah dunia pertama (Eropa Barat & Amerika Utara), semua ini terangkum dalam Rerum Novarum dan Quadragesimo Anno.
Kedua, periode Paus Yohanes XXIII kembali mengangkat masalah sosial-ekonomi dan pekerja yang melingkupi seluruh dunia terangkum dalam Mater et Magistra dan Pacem in Terris.
Konsili Vatikan II menempati perode ketiga. Dalam periode ini kekuasaan bukan lagi monopoli Paus, melainkan segenap waligereja universal serta otoritas masing-masing umat Allah. Hal ini menandai keprihatinan gereja atas permasalahan sosial dan gereja terang-terangan mengutamakan Dunia Ketiga. Ini tampak dalam Gaudium et Spes, Populorum Progressio, Octogesima Adveniens, Iustitia in Mundo, Evangelii Nuntiandi.
Kutipan menariknya, ‘’kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang dewasa ini, terutama kaum miskin dan siapapun yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus pula.”
Keempat, periode Paus Yohanes Paulus II menciptakan terobosan dan pemikiran baru bahwa gereja regional berpengaruh pada ASG/KSG universal serta keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Ini dibingkai dalam dokumen Laborem Exercens, Sollicitudo Rei Socialis, Centesimus Annus, Evangelium Vitae.
Yang kelima, periode Paus Benediktus XVI yang melahirkan Deus Caritas Est (25 Desember 2005) dan Spe Salvi (30 November 2007) yang memberikan dasar-dasar kristiani khususnya kehidupan sosial, namun dalam dokumen ini dinilai masih tampak pola pikir akademik/teknis ilmiah, sebagai kekhasan tradisi cendekiawan Jerman (Paus Benediktus XVI berasal dari Jerman).
Berlanjut ke Paus Fransiskus pada 5 Juli 2013 menerbitkan Lumen Fidei. Ensiklik ini adalah sambungan dari sebagian teks yang sudah ditulis oleh pendahulunya Paus Benediktus XVI. Sebagai kelanjutan dari Magisterium Gereja sebelumnya, yang dipanggil untuk meneguhkan umat beriman akan kekayaan Iman yang tak ternilai yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Di satu sisi, ensiklik ini melengkapi trilogi ensiklik yang mengajarkan tentang keutamaan teologal sebelumnya, yakni Deus Caritas Est (2005) tentang kasih dan Spe Salvi (2007) tentang harapan. Di sisi lain, sebagai ensiklik pertama, Lumen Fidei bisa dilihat sebagai arah kepausan Bapa Suci Fransiskus dalam menggembalakan Gereja zaman ini ke masa depan. Hingga yang terbaru oleh Paus Fransiskus Laudato Si pada 24 Mei 2015 yang menekankan pada bagaimana menjaga lingkungan. Ensiklik ini menyerukan pentingnya menjaga lingkungan hidup dan ekologi.
Membingkai sejarah, merekah refleksi
Bila melihat perjalanan ASG di atas, maka sebagai ajang refleksi kita perlu merenungkan lebih dalam mengenai inspirasi keterlibatan umat dalam peristiwa hidup bersama, konteks ruang dan waktunya hari ini. Pada intinya, ASG adalah inspirasi baru bagi gaya dan pelayanan gereja dalam arus modern. Apalagi kini adalah era menjalarnya teknologi.
Dalam hal ini, ASG hadir mengingatkan kita akan pentingnya nilai kemanusiaan yang harus tampak dan melekat dalam gambar diri umat kristiani.
ASG dalam arah dan tujuan penggembalaan oleh umat kristiani adalah asa untuk berefleksi, tolak ukur untuk menilai sejauh mana keterlibatan gereja universal dalam peristiwa hidup masyarakat, juga sebagai seperangkat petunjuk perjalanan iman bersama serta bertindak dalam iman keagamaan yang nyata.
Dalam keterlibatan itulah kita akhirnya memahami hak dan kewajiban asasi manusia. Kita pun bersama dengan yang lain berupaya untuk mewujudkan keadilan sosial, serta berujung pada terwujudnya bonum commune.
Dalam konteks hak asasi dan kewajiban asasi, manusia adalah dasar utama dengan hakikatnya untuk hidup baik bersama orang lain. Dari situ manusia juga bisa menjadi sebab utama atas segala permasalahan yang muncul yang juga pada akhirnya bertujuan untuk keutamaan-keutamaan kodrati kemanusiaan itu sendiri. Artinya segala sesuatu harus ditujukan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya.
ASG lahir menjadi pedoman, dorongan dan bekal bagi umat Katolik, agar dalam perjuangannya ikut serta menciptakan dunia kerja dan beragam relasi manusia yang terhormat serta masyarakat sejahtera yang bersahabat dan bermartabat. Dengan bekal dan pedoman ajaran sosial, mereka diharapkan menjadi rasul awam yang tangguh dan terus berkembang di tengah kehidupan real. Sekalipun ada tantangan yang selalu menjebak setiap saat. Namun iman keagamaan harus tetap kokoh dengan secara langsung hidup dalam kebersamaan.
Dalam pengertian yang lebih komprehensif, ASG merupakan tanggapan atau respon umat beriman atas persoalan-persoalan sosial atau kemasyarakatan, baik dalam bidang ekonomi, polotik, sosial, lingkungan hidup (ekologi) maupun kebudayaan (Peter C Aman).
Cara pandang atau perspektif baru, pemikiran dan sikap orang beriman dalam menanggapi persoalan-persoalan setiap zamannya. Bila kita merefleksikan secara mendalam tentang ASG, baik dari ensiklik Rerum Novarum (Mei 1891) sampai ensiklik Deus Caritas Est (Desember 2005), semua itu upaya untuk merefleksikan dan menawarkan nilai-nilai sebagai pedoman arah bagi umat beriman Kristiani dalam menanggapi berbagai masalah sosial.
Dalam konteks ini, ASG bukan hanya sekadar himpunan doktrin sosial tentang hidup menggereja, tapi merupakan sebuah filsafat hidup sosial Gereja yang berkembang dari zaman ke zaman. Sebagai bagian dunia dan masyarakat Gereja tidak mungkin hidup tertutup tanpa keterkaitan dengan dunia sekitar. Keadaan di dalam Gereja dan hidup sosial saling terkait, melengkapi dan menyempurnakan (Peter C Aman OFM dalam matakatolik.com, 03/10/2016). Secara sederhana ASG masuk dalam dimensi penting antropologi teologis. Antropologi teologis dimengerti sebagai teologi tentang manusia yang telah ditebus dan dirahmati oleh Kristus.
Akhirnya, secara kodrati manusia adalah makhluk individu tetapi ia tidak berdiri sendiri. Dengan pikirannya ia mampu untuk memahami, memilih, dan memilah antara yang baik dan buruk, antara yang jahat dan tidak. Artinya ada kemampuan untuk menganalisa dan mengkategorikan fenomena sekitar yang berkembang. Dengan jiwanya, ia mampu untuk mengagumi dan mensyukuri sesuatu yang indah, yang eksotik, yang idealisasi atas berbagai realitas sebagai kenyataan dari hidupnya.
Begitu pun dalam hidup beragama. Iman keagamaan tidak pernah terlepas dari realitas sosial dan peristiwa hidup kita sehari-hari dengan orang lain. Iman keagamaan nyata sejauh ada wujud nyata tindakan dan karya kita dalam kesehariaan. Kita hidup tidak hanya bersujud di depan altar, tetapi harus bersama mendorong untuk membawa iman sebagai berkat dan salam damai Kristus kepada sesama manusia.
Begitu pun dengan kaum kecil, tertindas dan terpiggirkan termasuk bagian kemanusiaan yang dicabik-cabik dan diabaikan. Kesetaraan manusia sebagai makhluk ciptaan mengalami pergeseran makna sosial. Seorang anak manusia yang lahir dari keluarga petani pada dasarnya adalah sederajat atau setara dengan seorang anak yang lahir dalam sebuah istana. Yang membedakan mereka adalah tempat, lingkungan, dan suasana sosial kelahiran. Sedangkan, kemanusiaan dalam dirinya adalah satu dan sama. Inteligensi setiap manusia pada hakekatnya setara. Manusia sebagai manusia adalah setara dan sejajar terlepas dari segala embel-embel sosial dalam masyarakat (Peter C Aman OFM).
Sebagai umat Katolik kita tidak hanya patuh pada dogma atau ajaran normatif serta doktrin iman. Artinya spirit vertikal perlu diimbangi juga dengan spirit horizontal. Iman keagamaan tampak dalam spirit horizontal tersebut. Karena yang vertikal adalah pencarian pada yang misteri sedangkan yang horizontal adalah pencarian yang rahasia.
Dari arah sebaliknya, antara yang vertikal dan horizontal adalah pertemuan antara aku yang fana dan Kau yang abadi. Maka bersegeralah bertolak dari altar ke pasar, bertolaklah ketempat yang lebih dalam, karena disanalah spiritualitas keterlibatan masuk dalam ruang pengalaman mistik dan iman keagamaan yang nyata.
Dengan itu pula, Ajaran Sosial Gereja tampak nyata sebagai pengalaman mistik dalam setiap peristiwa hidup bersama, sebagai citra manusia ber-Tuhan yang meleburkan diri dalam iman akan misteri Tuhan melalui spirit horizontal, perwujudan akan universalitas nilai.