DI Gereja Katolik sampai sekarang masih berlaku hukuman klasik bernama ekskomunikasi alias kalau ada anggota Gereja –siapa pun dia—melakukan pelanggaran berat maka akan terkena hukuman berupa “diasingkan” atau malah “dilarang beredar/tampil” di muka umum mengatasnamakan anggota Gereja. Pastur pun bisa terkena hukuman ekskomunikasi ini tanpa ampun, kalau terbukti melakukan atau mengajarkan hal-hal yang bertentangan dengan norma umum kristiani, norma hidup religius katolik, dan tentu saja yang paling utama: ajaran iman Gereja dan praktik.
Penjaga iman Gereja dalam dua decade terakhir ini digawangi oleh Kantor Ajaran Iman (Congegatio Fidei) dengan kepalanya yakni Kardinal Joseph Ratzinger yang tak lain adalah Paus Emeritus Benedictus XVI.
Banyak pastur brilyan sudah pernah kena “semprit” Kantor Ajaran Iman yang digawangi oleh Kardinal Joseph Ratzinger ini. Taruhlah itu teolog kenamaan Swiss yang juga mantan rekan kerjanya pada masa-masa Konsili Vatikan II yakni Prof. Hans Kung; juga teolog Dominikan asal Belgia Prof Edward Schillebeeckx; dan konon juga imam Jesuit asal India yang fenomenal alm. Romo Anthony de Mello SJ yang populer dengan metode Sadana-nya untuk memulai doa kontemplasi.
Kali ini, hukuman ekskomunikasi menimpa diri Pastur Roberto Fransisco Daniel yang di kalangan internal Gereja di Brazil dikenal dengan sebutan populer Padre Beto. Otoritas Gereja Katolik Brazil telah menjatuhkan vonis “dilarang tampil” (ekskomunikasi) terhadap Padre Beto atas wejangan-wejangan dan ajarannya yang secara umum disebut bertentangan dengan Ajaran Iman dan Moral Katolik sebagaimana sampai sekarang masih ditetapkan Gereja.
Itu antara lain, seperti ditulis Reuters belum lama ini, pandangan Padre Beto yang memperbolehkan praktik homo/lesbian, dan mengizinkan seks bebas tanpa nikah yang tentu saja membuat berang Otoritas Gereja Katolik Brazil.
Ajaran “sesat” Padre Beto itu sempat mengudara di dunia maya melalui jaringan online video.
Sejenak pasti, Padre Beto menyangkal tuduhan itu karena dia melakukan itu atas nama “kebebasan bicara”. Namun otoritas Gereja Katolik Brazil dengan tegas mengatakan, apa yang dikatakan Padre Beto dan segala ajarannya itu telah “menodai” dan mencoreng ajaran resmi Gereja tentang isu-isu penting di atas terkait dengan moralitas seksual. Hukuman paling setimpal untuk penyimpangan serius seperti itu, kata Reuters, adalah pengasingan total alias “diasingkan” dari Gereja atau paling pas menurut bahasa Jawa: di-sebratke alias ditendang keluar dari keanggotaan Gereja Katolik.
Proses peradilan Gerejani untuk mengkritisi ajaran Padre Beto itu sendiri sudah dilakukan dengan ekstra hati-hati oleh Uskup diosis setempat setelah sempat mendengarkan dan menelisik ajaran, rekaman video, maupun pernyataan langsung dari Padre Beto ketika dipanggil Uskup untuk “mempertanggungjawabkan” isi ajarannya.
Padre Beto yang kini berumur 47 tahun mendapat pendidikan teologinya di Jerman dan sangat laku di kawasan Brazil Selatan, terutama di kota Bauru dimana sejak tahun 2001 hingga waktu dijatuhi hukuman ekskomunikasi bertugas sebagai pastur paroki setempat. Dia juga dikenal sangat nyentrik dengan tampilan fisik yang ‘tidak biasa’ layaknya seorang pastur kebanyakan: membiarkan dirinya terlalu populer dan seperti haus sensasi, berpenampilan eksentrik dengan daun telinga kanannya ditindik dan digantungi suweng, selalu memakai T-Shirt bergambar penyanyi rock dan muncul membawa segelas bir.
Dengan enteng pula, baik di FB maupun di Twitter-nya dia menulis statusnya sebagai “terpidana” dengan menulis kalimat provokatif” “Saya merasa terhormat masuk dalam barisan orang-orang (suci dan berani mempertahankan keyakinan) namun kemudian dibunuh dan dibakar hidup-hidup karena punya cara pikir sendiri dan semangat tiada henti untuk mencari kebenaran”.
Mendadak sontak, fenomena Padre Beto ini mendapat respon besar di Brazil, negara katolik paling fenomenal dan terbesar di Benua Amerika Latin. Terutama ketika pada masa ini semakin berkembang alur pemikiran modern yang cenderung terlalu “progresif” menurut ukuran moralitas Katolik pada umumnya terutama yang menyangkut isu hidup bersama (kumpul kebo) tanpa nikah dan punya anak, seks bebas, pemakaian kontrasepsi berupa kondom untuk pencegahan HIV/AIDS dan demi seks bebas, KB untuk pengendalian angka kelahiran.
Sekedar tahu saja, Brazil merupakan rumah bagi sedikitnya 42% dari seluruh populasi orang katolik di seluruh dunia. Maka dari itu, tak heran kalau di awal kepausannya ini Paus Fransiskus memutuskan akan mengawali lawatan luar negerinya ke Brazili pada bulan Juli ini. Kedatangan Paus ini bertepatan dengan perayaan World Youth Day yang direncanakan akan berlangsung di Rio de Janeiro, Ibukota Brazil.
Salah satu hal yang membuat gerah Gereja Katolik Brazil adalah pendapat (pribadi) Padre Beto mengenai praktik hidup kumpul kebo, perselingkugan, dan seks bebas. Seorang suami yang kedapatan melakukan perselingkuhan ya oke-oke saja dan ia tidak melakukan dosa berat, sepanjang pasangan kencannya memang menginginkan hal itu terjadi.
Jadi, sama-sama kepengin, maka ya sudah: semua aman dan senang. Begitu kurang lebih keyakinan Padre Beto yang tentu saja dianggap sangat menyesatkan dari perspektif moralitas seksual Gereja sebagaimana masih berlaku dan diyakini umat katolik sedunia sampai sekarang. “Kalau saja ada orang berbuat selingkuh dan perselingkuhan itu memang diamini oleh pasangannya, maka ya sudah oke-oke saja dan mereka tetap layak dianggap sebagai orang beriman yang benar,” begitu kurang lebih isi ajaran Padre Beto.
Uskup Mgr. Caetano Ferrari yang tegas menjatuhkan hukuman ekskomunikasi terhadap Padre Beto menyebut pasturnya itu sebagai “kelewat batas” dan “terlalu vocal namun sesat”. Ia menyuruh Padre Beto segera menarik online video yang dibuatnya dan untuk sementara waktu tanpa batas harus “bersembunyi”.
Uskup sendiri mengakui bahwa sebenarnya Padre Beto ini sangat cerdas, namun ya itu tadi: kebablasan tanpa kendali dan tanpa mawas diri. Jauh-jauh hari sebelum berniat mau datang menghadap Bapa Uskup, demikian Mgr. Ferrari, yang dia kehendaki bukannya mau “mencabut” semua ajaran kontroversialnya itu melainkan ingin “mengembalikan” imamatnya kepada Uskup.
Namun, jauh hari sebelum kejadian itu terlaksana, Keuskupan sudah terlebih dahulu menjatuhkan putusan: hukuman ekskomunikasi terhadap Padre Beto.
“Itu pengadilan yang tidak adil untuk saya, karena sewaktu proses peradilan itu berlangsung sebagai terdakwa, saya tidak ada di sana,” begitu komentarnya sesaat setelah berita ekskomunikasi menyambar luas di media sosial dan media resmi di seluruh Brazil.
Sangat layak di ekskom… seorang imam mengucap kaul ketaatan .. jelas tdk ada ruang untuk menentang hirarki apalagi menentang dogma katolik yg absolut