Aksi Hajime Moriyasu

0
166 views
Para pemain bola Jepang membungkukkan badan di lapangan sepakbola World Cup Qatar 2022. (Ist)

Puncta 13.12.22
PW. St. Lusia, Perawan dan Martir
Matius 21:28-32

KENDATI Tim Jepang harus pulang lebih awal sebelum target perempat final terpenuhi, namun Jepang menunjukkan kepada dunia sportivitas yang tinggi, rasa hormat penuh adab dan budaya kesantunan yang luar biasa.

Benar mereka tidak mampu memenuhi targetnya tetapi dunia terkesima dengan perilaku dan tindakan pelatih timnas Hajime Moriyasu yang membungkukkan badan dalam-dalam untuk mengucapkan terimakasih kepada suporter di tribun.

Sikap itu juga diikuti oleh seluruh pemain Jepang.

Tidak hanya itu, para pemain masuk ke kamar ganti dengan hening dan membersihkannya sampai tak ada secarik tisu pun tertinggal.

Kamar ganti terlihat bersih dan rapi sekali. Tak mudah melakukan habitus seperti itu dalam kondisi terpuruk, gagal, sedih dan kecewa. Melakukan tugas berat, ketika hati sedang gembira itu mudah. Tetapi melakukan tugas sepele di saat hati sedih dan kecewa itu berat.

Tetapi pelatih dan pemain Jepang menunjukkan budaya dan keadaban yang tinggi sebagai samurai sejati.

Satu jam kemudian, setelah seluruh kamar ganti bersih, Hajime Moriyasu menuju lapangan dan sekali lagi membungkuk dalam-dalam.

Tidak hanya para pemain dan pelatih, para suporter Jepang pun membersihkan stadion dari sampah-sampah. Tanpa kata-kata dan komando mereka memunguti sampah di arena pertandingan.

Budaya hidup bersih, sopan dan hormat pada orang lain sudah tertanam sejak kecil di masyarakat Jepang. Tanpa disuruh mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan.

Berbeda dengan kita yang sering berkata, “Nggih, nggih ning ora kepanggih.” Artinya menjawab “Ya, Ya” tetapi tidak melakukannya. Antara kata dan perbuatan tidak sama.

Kemunafikan dan sikap tidak tahu malu sudah tertanam dalam diri kita. Para pejabat disumpah dengan Kitab Suci, tetapi mereka tidak malu ketika ditangkap KPK karena korupsi.

Yesus mengkritik para imam-imam kepala dan pemuka-pemuka bangsa Yahudi yang sering berlaku munafik dan bermuka topeng. Yesus menyindir dengan membuat cerita tentang dua anak yang disuruh bekerja oleh bapaknya.

Anak sulung disuruh pergi bekarja di ladang. Si anak menjawab, “Baik Bapa.” tetapi ia tidak pergi.

Anak kedua menjawab, “Tidak mau.” Tetapi ia kemudian pergi mengerjakan perintah bapaknya.

Diantara kedua anak itu, siapakah yang melaksanakan perintah bapanya? Anak yang kedua, walau awalnya ia tidak mau, tetapi akhirnya melakukan juga.

Yang penting bukanlah kata-kata, tetapi tindakan kitalah yang lebih menentukan siapa kita. Itulah sindiran Yesus kepada para pemuka bangsa maupun agama Yahudi yang sering mengumbar kata-kata tetapi tidak ada tindakannya sama sekali.

Mari kita hindari budaya “Nggih, nggih ning ora kepanggih.” Atau istilah gaulnya sekarang “No Action Talking Only.”

Kita terlalu mabuk agama, kebanyakan menghapal ayat-ayat sampai lupa melaksanakan tradisi adat istiadat.

Pesta nikah menyatukan Solo dan Yogya.
Semua bersukacita menikmati opor lontong.
Lebih baik sedikit bicara tetapi banyak kerja,
Daripada banyak omong tapi isinya kosong.

Cawas, ayo kerja-kerja dan kerja…
Rm. A. Joko Purwanto, Pr

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here