Aku Bertemu Malaikat! (1)

0
1,953 views

“I believe in angels
Something good in everything I see
I believe in angels
When I know the time is right for me”
[WestLife]

Tentu kata ‘malaikat’ sudah familiar bagi kuping kita. Konon, dari dongeng, malaikat digambarkan seperti manusia yang mempunyai sayap. Wajahnya rupawan. Bajunya putih beludru. Sayap-sayapnya putih. Halus. Wajahnya penuh aura kesucian. Menyala seperti aurora Borealis di Kutub Utara. Terbang di awan-awan. Tangannya memegang tongkat atau terompet atau sekuntum bunga lili putih atau tulip merah. Siap membantu bagi yang meminta pertolongan padanya.

Tulisan ini menceritakan perjumpaanku dengan para malaikat. Tapi, bukan malaikat bersayap, berjubah putih kemilau, dan berparas rupawan. Wajahnya dekil, berdebu, dan jauh dari cantik atau tampan. Orang tidak pernah tahu kalau mereka di bola mataku adalah malaikat. Mirip-mirip malaikat di filmnya Brad Siberling berjudul City of Angel (1998).

Film yang dibintangi Nicolas Cage dan Meg Ryan ini menampilkan sosok para malaikat yang berbusana seperti manusia biasa. Tapi, malaikat yang aku jumpai ini tidak seganteng Nicolas Cage yang memerankan Seth. Aku senang menamainya dengan ‘malaikat berdebu.’ Tulisan ini cukup panjang, sepanjang perjalanan kami menjumpai para malaikat itu. Semoga pembaca menikmati!

Kisah ini terjadi sembilan tahun silam. Berawal di sebuah bibir dermaga di Pantai Kartini, Jawa Tengah. Siang itu cukup gerah. Angin pantai menerpa dan menggulung ombak. Aku dan seorang temanku berdiri tegap menantang angin.

Lalu perlahan saling menjauh dan memunggungi seperti dua koboi yang bersiap adu tembak. Terdengar bunyi “sreet” mengiringi resluiting yang kubuka. Lalu, ‘pistol’ masing-masing dikeluarkan dari sarungnya. Dan “Serrrr!” bunyi ‘tembakan’ air amoniak berwarna putih kekuningan ke permukaan air pantai yang sudah membuih. Kami mengencingi pantai!

Itulah prolog pengembaraan kami berdua. Dari bibir pantai kami langsung melanjutkan perjalanan hari pertama. Matahari tegak lurus di atas ubun-ubun. Panas mulai menggerayangi kaki-kaki saat menghantam aspal. Pengembaraan panjang ini kami lakukan saat berada di tahun pertama di sebuah asrama yang dikelilingi hamparan sawah dan di bawah bayang-bayang gunung Ungaran, Jawa Tengah.

Kami melakukan berdua-dua. Setiap pasang mempunyai jalurnya sendiri. Kami tidak bawa bekal apa-apa selain buku tulis, puplen, rosario, kitab suci kecil, jeriken air minum, caping, tas, dua stel pakaian, peta, jas hujan, dan sandal jepit. Kami tidak boleh nebeng angkot. Semua harus jalan kaki sampai tujuan. Makan hanya dari sedekah orang. Tidak boleh terima uang. Tidak boleh membocorkan identitas. Itulah sepotong ilustrasi soal pengembaraan kami siang itu. (besambung)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here