Memasuki wilayah Purwodadi dan Sragen kami sering ditolak. Rumah-rumah besar lebih senang mengunci pintunya rapat-rapat. Wajah kami pun sudah menghitam dan dekil. Di Solo, kami berdua dimarah-marahi oleh tentara. Namun, yang membuat kami terharu adalah saat minta makan pada rumah-rumah kecil.
Banyak yang meminta maaf dengan nada tulus karena tidak ada makanan hari itu untuk dibagikan. Di daerah ini, hujan pernah mengamuk. Tapi perjalanan harus dilanjutkan. Dengan jas hujan dan caping kami pun melanjutkan perjalanan. Menembus tirai air. Temanku berjalan di depan. Persis seperti hantu sawah!
Peristiwa kocak terjadi di Wonogiri. Tepatnya di pelataran sebuah gereja Katolik. Hari itu sudah malam. Hujan baru saja menghajar kota mungil itu. Menyisakan gerimis yang tak kunjung habis. Usai mendapat pengganjal perut, kami pun mencari tempat tidur. Emperan gereja jadi tujuan.
Sesampainya di sana, kami melepas tas, membuka caping, dan meluruhkan penat ke lantai. Kami pun meninabobokkan diri sendiri. Tapi, sebelum tirai mata tertutup rapat, sekumpulan anak muda mendatangi kami. Aku tahu mereka anak muda gereja. Mereka menginterogasi kami. Tapi, kami tidak boleh membuka identitas kami. Tampaknya mereka sangat curiga dengan penampilan kami.
Mereka menanyakan isi jeriken air minum kami. Mereka mengira bensin. Aku maklum karena waktu itu isu pembakaran gereja lagi marak. Lantaran masih curiga, mereka pun memutuskan ronda malam. Mereka menjaga kami. Kami pun terkekeh lirih.
Kami pun tertidur karena lelah. Gerimis belum juga bosan. Tempias membuat tubuh tanpa selimut ini menggigil berat. Dingin pun menusuk ulu. Tapi, lumayan! Kami tidur dengan dijaga oleh sekawanan anak muda, para ‘pasukan berani mati’ dan sang penjaga gereja itu. Sampai akhirnya, bunyi “tak-tak-tak-tak” mendekat.
Bayangan hitam
Pagi buta. Suara misterius itu semakin mendekat. Bulu kuduk sontak berdiri. Mengira itu suara hantu dini hari. Kami bangun. Bayangan hitam muncul. Seperti siluet nenek jahat berbadan bungkuk pembawa tongkat maut.
“Tak-tak-tak-tak!” Aku merinding. Bayangan itu semakin mendekat pintu gereja. Dan, ow, rupanya seorang nenek tua keriput berjalan pelan dengan tongkatnya menuju pintu gereja. Lalu satu per satu orang muncul dari tikungan dan tenggelam di dalam pintu gereja.
Aha, aku baru ingat. Ini jam misa pagi. Lalu kami bergegas cari kran air dan bergegas masuk. Kami pun ikut ibadat pagi. Di dalam, kami celingukan. Kebanyakan orang-orang yang sujud di depan altar itu berwajah uzur dan renta. Aku pun bertanya di mana anak-anak muda sang penjaga gereja tadi malam? Tak satu pun ada di sana! Mungkin capek karena ronda malam.