Renungan Harian
Senin, 26 April 2021
Bacaan I: Kis. 11: 1-18
Injil: Yoh. 10: 1-10
PADA suatu kesempatan, seorang uskup menegur seorang imam yang tidak mengikuti pertemuan para imam.
Beberapa waktu sebelumnya, Bapak Uskup sudah menegaskan pentingnya pertemuan para imam. Itu karena pertemuan ini adalah bagian bina lanjut (ongoing formation) bagi para imam.
Saat ditegur bapak Uskup, imam itu menjawab bahwa pada hari itu ada acara pertemuan penting di parokinya.
Mendengar jawaban imam tersebut bapak Uskup mengatakan: “Romo, Gereja tidak akan bubar karena romo tinggalkan ikut pertemuan imam.”
Saya ingat sebuah kisah. Ada seorang penggembala kambing, yang sedang menggembalakan kambingnya di sebuah padang rumput.
Kambing yang digembalakan amat banyak, sehingga dia selalu membawanya di padang yang cukup luas.
Ketika sedang menggembalakan, ada seorang bapak yang menyapanya: “Pak, ada berapa jumlah kambing bapak?”
“Maaf, semua ini bukan kambing-kambing saya, saya hanyalah penggembalanya saja. Saya tidak tahu berapa jumlah kambing-kambing itu,” jawab si gembala.
“Kalau tuanmu, apakah dia tahu berapa jumlah kambing-kambing itu?,” tanya bapak itu.
“Tuanku pasti tidak tahu jumlah kambing-kambing itu, karena saya yang selalu menggembalakan dan mengurusnya,” jawab si gembala.
“Saya beli kambing satu ekor saja. Saya hargai Rp 500 ribu ya?,” kata bapak itu.
“Maaf pak, kalau soal jual beli silahkan langsung menghubungi tuan saya,” kata si gembala.
“Tuanmu kan tidak tahu berapa jumlah kambingnya dan kamu pun juga tidak tahu. Jadi kalau saya ambil satu, tidak ada yang tahu. Dan uangnya untuk kamu,” desak bapak itu.
“Pak, saya bukan pemilik. Saya hanya gembala. Jadi saya tidak berhak menjual kambing itu. Meskipun tuan majikan dan saya tidak tahu berapa jumlah kambing itu, tetapi saya tahu bahwa kambing itu berkurang satu, kalau bapak beli,” jawab si gembala.
Berdasarkan kejadian dan kisah di atas, saya diingatkan bahwa saat saya menjalani pengutusan, saya bukan pemilih karya itu.
Saya adalah orang utusan yang mengerjakan karya itu.
Maka ketika saya merasa sukses dengan sebuah karya, tidaklah pantas saya mengaku bahwa itu adalah karya saya. Sehingga ketika saya dipindahtugaskan untuk karya yang baru, saya menjadi kesal dan marah.
Ada kecenderungan besar dalam diri saya untuk merasa bahwa karya ini adalah milik saya. Dan saya menyombongkan diri bahwa kalau tidak ada saya, maka karya ini tidak akan berhasil.
Kalau saya bertindak seperti itu, maka saya bagai pencuri di kandang domba.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Yohanes: “Pencuri datang hanya untuk mencuri, membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku merasa karya ini sebagai karyaku dan milikku atau aku sadar sebagai seorang utusan?