[media-credit id=1 align=”alignleft” width=”300″][/media-credit]PERNAHKAH Anda mendengar kisah klasik seorang putri yang dipersunting pangeran tampan, kemudian mereka hidup bahagia selamanya? Ya, boleh jadi kisah tersebut sangat akrab di telinga kita saat masih anak-anak. Kita lalu percaya bahwa cinta yang diikrarkan dalam perkawinan adalah kunci emas menuju kebahagiaan kekal. Lalu banyak dari antara kita merasa kurang percaya diri, minder, malu, atau tertekan jika di usia 30-an belum menikah.
Ya, ada baiknya kita melihat lebih jauh soal cinta, soal cinta yang kita anggap identik dengan emosi-emosi positif yang lain seperti kebahagiaan, kegembiraan, rasa senang, atau ketentraman. Benarkah cinta identik dengan emosi-emosi tersebut? Benarkah cinta adalah jaminan akan adanya emosi-emosi tersebut?
Sayangnya penelitian-penelitian dalam soal cinta tidak sepakat dengan anggapan itu. Bianca Acevedo dari Universitas Stony Brook mencoba mengupas hal itu dalam penelitian doktoralnya. Ia memberikan 69 kata-kata bermuatan emosi seperti cemburu, bahagia, bingung, atau gembira pada 183 mahasiswa, para mahasiswa diminta untuk memasangkan ke-69 kata bermuatan emosi dengan beberapa kata yaitu “marah”, “takut”, “senang”, “sedih”, dan “cinta”.
Hasilnya? Kata-kata “marah”, “takut”, dan “sedih” berpasangan dengan kata-kata bermuatan emosi negatif; kata “senang” berpasangan dengan kata-kata bermuatan emosi positif; sementara kata “cinta” berpasangan dengan kata-kata bermuatan emosi positif dan negatif. Dari penelitian tersebut terlihat bahwa cinta tidak sama dengan emosi-emosi lainnya, konkretnya apa yang terjadi pada orang yang gembira berbeda dengan apa yang terjadi pada orang yang sedang jatuh cinta.
Nah, jika cinta berbeda dengan emosi lain, apa yang sebenarnya terjadi pada orang yang sedang jatuh cinta? Profesor Arthur Aron, juga dari Universitas Stony Brook, mencoba mencari jawaban untuk pertanyaan itu. Mereka merekrut para mahasiswa yang sedang tergila-gila karena cinta. Para mahasiswa diminta berbaring di atas mesin pencitraan otak, sebelum berbaring mereka diminta melihat foto pasangannya. Hasil pencitraan memperlihatkan bagian otak yang memiliki kadar dopamin tinggi menyala dengan terang saat subjek penelitian memikirkan kekasih mereka.
Bagian otak tersebut adalah juga bagian yang mengatur sistem motivasi dan ganjaran, bagian tersebut akan aktif saat seseorang mendapatkan sesuatu yang sangat diinginkan misalnya makanan, minuman, ganja, atau juga telepon dari seseorang yang dirindukan. Cinta lebih mirip dengan kebutuhan dari pada emosi. Dari temuan tersebut Profesor Aron berpendapat bahwa orang yang sedang jatuh cinta mirip dengan orang yang sedang kehausan di padang pasir dan melihat oase di kejauhan. Jika oase yang dilihat adalah kenyataan maka orang tersebut akan merasa lega karena terpuaskan dahaganya. Sebaliknya jika oase yang dilihat ternyata hanyalah fatamorgana, orang tersebut akan merasa sangat kecewa dan putus asa.
Apa yang bisa kita pelajari dari penelitian-penelitian tersebut? Mungkin kita bisa lebih kritis saat kita mengatakan atau mendengar ucapan “ aku cinta kamu”. Seseorang yang mengatakan “aku cinta kamu” sangat mungkin adalah orang yang kehausan akan cinta, ia bukan orang yang mau mencintai dengan tulus dan mau melakukan segala-galanya demi cinta, tetapi ia adalah orang yang kehausan akan kehangatan dan kasih sayang dari orang yang dicintainya.
Siswa Widyatmoko, S.Psi, dosen psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma