Aku Memilih Bekerja Bagi Difabel (1)

0
1,572 views

Beberapa waktu setelah lulus kuliah saya mendapat panggilan kerja dari sebuah BUMN yang bergiat dalam bidang perkebunan. Aku dinyatakan lolos untuk bekerja di sebuah instansi yang menjanjikan. Namun panggilan hidupku berkata lain. Rentetan peristiwa dan refleksi hidup telah menarikku ke sebuah panggilan, mendampingi para difabel.

 

Awalnya: Gempa Yogyakarta Tahun 2006

Aku tidak mengira gempa Yogyakarta pada pertengahan 2006 berdampak begitu hebat. Saat itu saya masih di Semarang. Ketika peristiwa itu terjadi dan seisi rumah tampak panik saya berteriak,”Paling Merapi, nggak papa. Paling hanya level 3!” Sesaat setelah gempa reda, sebuah pesan singkat dikirimkan oleh sepupuku yang berada di Muntilan ”Bukan Merapi, tapi dari Selatan dan sepertinya cukup besar” Aku langsung menyambar remote TV, berharap mendapatkan informasi yang cukup tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

 

Ternyata tak hanya wilayah Jogja. Sebagian Klaten juga terkena imbasnya. Aku hampir tak percaya dengan yang kusaksikan. Bangunan hancur. Ratusan orang dievakuasi. Korban meninggal diperkirakan ribuan. Informasi seperti itu terus diulang oleh reporter pada stasiun TV manapun. Anganku melayang jauh hingga membuahkan hal yang harus dipilih. Aku dihadapkan pilihan antara tetap berada disini, berdoa sambil mengumpulkan donasi untuk disumbangkan dan mempersiapkan upacara pernikahanku yang kurang 2 bulan lagi, atau berangkat ke lokasi bencana serta membantu langsung para penyintas (survivor, i.e. mereka yang masih hidup setelah kejadian bencana) dengan segala keterbatasan. Tidak banyak waktu yang aku butuhkan untuk menghasilkan keputusan bahwa aku harus kesana.

 

Berangkatlah aku ke Klaten. Informasi yang berhasil digali mengatakan bahwa Jogja sudah banyak yang membantu. Pemerintah, LSM, dan Organisasi lainnya kabarnya seolah berkompertisi untuk memberikan pelayanan. Dalam perjalanan menuju Klaten, aku kembali bertanya dalam hati, ”Kenapa aku berangkat?” Aku hanya ingin memastikan kalau dorongan ini bukan sekedar mengikuti tren kerelawanan, atau sekedar mencari angel yang bagus untuk berpose di depan kamera, tapi karena sebuah alasan yang matang. Tidak satupun jawaban yang muncul selain rasa keprihatinan dan semangat keterlibatan untuk membantu sesama.

 

Sampai di Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten, kami langsung mendatangi salah satu posko besar disana. Sebagai perwakilan pribadi, kami hanya punya tenaga, ide, dan waktu yang ingin kami bagikan untuk meringankan beban para penyintas. Singkatnya, kami mulai menjalani langkah demi langkah dari rasa keprihatinan ini. Kemudian kami memecah diri dan masuk dalam sistem yang sudah mulai berjalan, administrasi, tim asesmen, gudang, dan distribusi.

 

Bagi kami tidak ada batasan ruang dalam menjadi tenaga sukarela, di depan maupun di belakang, kami tetap memiliki sesuatu yang bisa dibagikan. Pada hari-hari pertama memang kurasakan kegamangan dalam melangkah, kekacauan yang luar bisa, dimana samua orang masih tenggelam dalam kesedihan, sedangkan kehidupan sendiri harus tetap berjalan. “Hmmm…sebuah babak panjang bagi ribuan penyintas bersama sukarelawan dalam perjalanan untuk rehabilitasi,” gumanku dalam hati.

 

Kaum Difabel Baru

Sementara program nasi bungkus dan pembagian paket higienis dilakukan, ratusan manusia mengerang kuat diatas ranjang rumah sakit. Mereka terbaring lemah dan ditemani ratusan kelopak mata yang bengkak. Sepintas tak ada sudut kota yang menawarkan keceriaan. Semua penuh tanya. Semua mengumpat. Semua kecewa atas peristiwa tak biasa ini. Itu semua menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Kami harus ”membangkitkan” mereka di tengah situasi ”keterpurukan”.

 

Kurang lebih enam minggu kami berada disana. Kami mencoba merasakan air yang mereka minum. Mengenakan baju yang mereka pakai. Mendengarkan keluh kesah sahabat di tenda pengungsian atau sekedar duduk diantara puing bangunan sambil menghisap tembakau lokal. Hingga akhirnya, kami memutuskan kembali ke Semarang dengan banyak pengalaman serta rasa syukur atas kehidupan yang bisa kami bawa serta.

 

Beberapa bulan setelah peristiwa gempa, saat para penyintas telah kembali pulang kerumahnya yang baru, mereka yang hanya bisa terbaring lemas tanpa rasa itu kini tengah berada dalam kemelut batin yang mendalam. Selamat dari sebuah peristiwa yang dapat mengancam keselamatan jiwa adalah hal yang menggembirakan. Namun demikian, di lain pihak muncul ancaman kehilangan pekerjaan, akses publik, dan kesempatan, Bahkan mereka terancam ditolak dari lingkungan. Mereka terancam diasingkan dan tidak dihargai secara utuh sebagai ciptaan Ilahi. Fakta bahwa mereka selamat dari bencana bukan lagi merupakan hal yang menggembirakan. Begitulah kira-kira yang dialami oleh penyitas yang mengalami cidera sumsung tulang belakang (SCI; Spinal Cord Injury).

 

 

Photo credit: cutcaster.com, www.antarafoto.com, relawandesa.wordpress.com,

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here