Mereka yang selamat dari bencana gempa namun mengalami cidera sumsum belakang (SCI; Spinal Cord Injury) mengalami hari-hari yang berat. Secara umum mereka mengalami kelumpuhan tubuh bagian bawah. Paraplegia, begitu dunia medis menyebutnya. Secara garis besar, mereka mengalami kerusakan di sepanjang tulang belakang sehingga merusak jaringan saraf pada medulla spinalis. Kerusakan saraf inilah yang menyebabkan kehilangan secara permanen fungsi dan sensasi pada tubuh bagian bawah. Tidak hanya itu. Permasalahan sekunderpun mulai bermunculan, seperti luka tekan, kehilangan kontrol dalam melakukan buang air besar atau kecil, penurunan fungsi organ dalam, dan berbagai masalah lain. Kerusakan itu sebagai akibat tubuh mereka tertimbun reruntuhan saat bencana gempa terjadi.
Panggilan Hidupku Dimulai
Menjadi ”cacat” bukan pilihan mereka. Menjalani sisa hidup di atas kursi roda atau alat bantu lainnya sama sekali juga bukankehendak mereka. Harta yang hilang bisa dicari. Rumah yang rusak akan mendapat ganti. Bagi yang meninggal, biarlah mereka tenang di alam sana. Tetapi hidup dengan ”keterbatasan” itu lebih menyakitkan. Sebut saja Pak Mitro, yang kini hanya bisa terbaring sambil menatapi kedua kakinya yang mati rasa, sementara kebutuhan hidup dan kebutuhan pendidikan dua puteranya terus berjalan. Ibu Yuni, seorang istri terancam ditinggal suaminya karena sudah tidak mampu berhubungan seksual akibat ke “cacat” annya. Atau Eva, mahasiswa semester akhir yang tidak bisa meneruskan kuliahnya karena sekarang duduk di kursi roda. Hal inilah yang membuat aku kembali menentukan pilihan atas situasi yang terjadi.
Setelah melangsungkan upacara pernikahan, aku menggabungkan diri pada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang rehabilitasi untuk korban bencana alam gempa bumi yang mengalami cidera sumsung tulang belakang di Bantul. Meski aku tidak bisa berangkat atas nama pribadi seperti waktu dulu, tetapi uang juga bukan menjadi aktor penting dibalik keterlibatan ini. Melanjutkan rasa keprihatinan dan semangat belarasa bagi penyintas merupakan hal utama yang mendasari keteribatan ini.
Kalaupun ukurannya materi dan sustainabilitas pekerjaan, aku bisa saja menerima panggilan untuk bekerja di sebuah BUMN sebagaimana sudah kusinggung di atas. Tetapi dorongan ini begitu kuat, semacam sebuah ”pilihan hidup” dimana aku harus rela blusukan dan kepanasan demi mendampingi para penyandang cacat korban gempa bumi.
Kegiatan kami pada dasarnya mencoba membongkar penolakan diri kaum difabel dan membalikkan paradigma publik tentang kecacatan. Dalam menjalani hidup hari demi hari, korban cedera sumsum belakang ini seakan selalu mendapat tawaran antara untuk terus hidup atau ikut sekian ribu lainnya yang telah wafat saat bencana terjadi. Beban mental yang dialami pastinya sangat berat hingga sebagian dari mereka lebih memilih untuk mati. Pilihan ini tampaknya juga dipacu oleh predikat penyandang cacat yang menciutkan nyali dalam interaksi mereka di tengah masyarakat.
Adalah hal konyol jika hanya menyalahkan keadaan, apalagi Tuhan. ”Diam menunggu mati, atau melakukan sesuatu dan kemudian menunggu mati?” Hal itulah yang sering aku tawarkan kepada mereka. Tentu tawaran ini harus dibungkus dengan pilihan kata yang cocok, serta harus melihat situasi yang tepat mengingat kondisi psikis mereka yang masih labil.
Pemberdayaan Bagi Kaum Difabel
Program pemberdayaan bagi penyandang cacat ini kami wujudkan dalam peningkatan ketrampilan sesuai dengan minat mereka melalui berbagai macam pelatihan. Pelatihan ini ditujukan untuk mendorong mereka menemukan alternatif pekerjaan guna peningkatan ekonomi rumah tangga. Bantuan ini juga mencakup kebutuhan akan alat bantu, termasuk modifikasi kendaraan bermotor agar dapat digunakan sebagai sarana mobilitas sosial para penyandang cacat. Kegiatan yang terkait juga meliputi mengusulkan kebijakan sebagai payung hukum bagi para difabel serta pendampingan dalam hal pendidikan, seni dan olahraga kepada Pemerintah.
Senyum tulus merekalah yang menguatkan aku untuk terus barada pada pilihan ini, yakni berkarya sebagai pekerja sosial yang menghidupiku dan aku hidupi.
Bukanlah perkara sederhana bermain di tengah stigma sosial bagi kaum difabel yang rasanya kurang bersahabat serta seonggok permasalahan psikologis yang mengkristal. Istilah Difabel itu sendiri, yang merupakan akronim dari “different ability”, bisa jadi hanya merupakan eufimisme kosong. Namun bisa jadi disebut demikian karena memiliki maksud yang lain. Yang jelas, istilah itu tampaknya lebih nyaman diucapkan. Dan juga, istilah ini tampaknya mampu membius para penyandangnya sehingga merasa sama dengan manusia yang lain.
Photo credit: dokterz.co.cc, job-for-disabled.com, enddhie.wordpress.com,