Aku Takjub maka Aku Ada

0
1,632 views

Lewat ucapan terkenal, Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada), filsuf Rene Descartes ingin menggaris bawahi dimensi pengetahuan yang membuat manusia menjadi manusia sepenuhnya.Lagi, psikolog Henri Bergson, mungkin hendak bilang juga, ‘Aku Tertawa maka Aku Ada,’ dalam essaynya yang berjudul,  Le Rire (Tawa).  Beberapa teman sesama penulis ingin sedikit gaya, mengemas ulang ucapan itu untuk semboyan pribadinya, Scribo Ergo Sum, aku menulis maka aku ada.

Oleh karena itu, sah sah saja kalau saya membuat juga semboyan baru, Aku Takjub maka Aku Ada.

Mengapa takjub?
Takjub memang emosi yang paling jarang disebut oleh para psikolog. Kemungkinan besar karena mereka tidak bisa menamainya, atau sulit mendefinisikannya.

Namun ada beberapa psikolog di luar mainstream yang menamakannya, emosi yang ke sebelas. Mungkin supaya lebih gampang, semua yang sulit dijelaskan, masukkan saja ke label baru. Mungkin.

Tapi yang pasti kita dapat merasakan rasa takjub itu. Tidak sesering kesepuluh emosi fundamental yang lain, seperti: rasa cinta, rasa takut, rasa sedih, rasa malu, rasa ingintahu,  rasa gengsi, rasa senang, rasa putus asa, rasa salah, rasa marah, orang biasanya jarang mengalaminya. Apalagi setelah orang beranjak dewasa dan mengenal banyak hal. Hal-hal yang dulu membuat takjub, kini mungkin telah jadi biasa dan banal.

Saat-saat mengalami ketakjuban
Masih teringat jelas ketika saya membawa anak saya ke bandara untuk bepergian pertama kali dengan pesawat. Sebelum melihat pun, dia sudah membayangkan yang ia pernah lihat ketika pesawat lewat di langit. Burung besi yang terbang, dan sekarang dia mau naik burung besi itu. Hingga sampai di bandara pun, tak henti hentinya, dia memandangi pesawat yang take off dan landing. Hingga di dalam pesawat, matanya tak berkedip memandang ke luar jendela dan mulutnya melongo.

Setelah kali kelima, saya membawanya naik pesawat. Ia masih takjub sebentar melihat pesawat hendak take off, tapi hal itu tampak tidak terlalu menarik lagi baginya. Dan, tak lama setelah berada di dalam pesawat, ia memilih tidur daripada melihat keluar jendela lagi.

Kita pun dulu waktu kecil mungkin takjub akan begitu banyak hal, mulai dari binatang di kebun binatang sampai pemandangan pegunungan beserta lembah dan ngarai yang luas, atau pemandangan lautan dengan ombak yang besar dan tinggi. Sesekali kita memang masih takjub, tapi lebih jarang. Seekor ikan di aquarium mungkin dulu membuat kita takjub karena, ‘lho kok ada binatang bisa hidup di air,’ sekarang tak lagi akan membuat kita takjub, kecuali ia bisa keluar dari aquarium dan bernyanyi.

Takjub ternyata punya kadaluarsa. Ia gampang mati rasa kalau terlalu biasa. Ia juga cepat sirna kalau orang merasa tahu akan segala sesuatu di sekitarnya.

Kekuatan rasa takjub
Kalau kita cermati ketika kita takjub, rasa takjub itu biasanya cepat berakhir, tidak seperti rasa-rasa fundamental yang lain, tetapi kita ingat persis bagaimana rasa itu terpatri didalam kesadaran kita dan sulit untuk menolaknya.

Rasa takjub itu juga tidak bisa dikelola dan dikendalikan, seberapa keras kita mencobanya. Kita tak bisa mempertahankannya pula. Kita bisa tetap marah atau sedih akan sesuatu, tetapi kita tidak dapat tetap takjub lebih dari beberapa saat.

Takjub mengandung elemen kejut, sesuatu yang diluar bayangan kita. Takjub sering kali mempengaruhi bagaimana kita melihat sesuatu, berpikir dan bertindak. Dalam rasa takjub, seringkali kita tidak sekedar menjadi pengamat tetapi lebih jauh ada kesadaran akan sesuatu yang tidak mampu kita cerna. Ada bagian dari dalam diri yang terlibat pada sesuatu yang di luar kita.

Hebatnya, rasa takjub sering menyeret beberapa rasa lain sekaligus. Seorang ibu yang menyaksikan kelahiran bayinya merasakan takjub beserta cinta dan rasa senang. Atau di hadapan orang yang meregang nyawa, kita sering merasa takjub, beserta takut dan sedih.

Takjub yang ilahi
Karena itulah, takjub itu penting. Takjub amat dekat dengan pengalaman transenden, sesuatu yang melampaui kapasitas manusiawi, yang menjangkau ilahi, merengkuh yang tak terengkuh.

Sebagaimana Rudolf Otto, menamai pengalaman akan yang transenden, sering juga disebut pengalaman akan Allah, sebagai mysterium (misteri) yang tremendum (menggetarkan) sekaligus fascinosum (menakjubkan).

Dalam kitab suci, kita mungkin ingat betul kata-kata Yesus mengenai anak-anak yang amat terkenal. “Biarlah anak-anak datang padaKu. Jangan menghalang-halangi mereka, karena mereka lah yang empunya Kerajaan Allah.”

Mungkin ke-gampang takjub-an anak-anak itu yang membuat anak-anak lebih akan terbuka untuk misteri-misteri ilahi yang tremendum dan fascinosum. Mungkin saja.

Karena itu, tidak ada salahnya kita bersering-sering untuk takjub. Karena barangkali takjub kita akan membuat kita lebih sering terbuka pada misteri ilahi.

Karena itulah, bertakjub-takjublah, karena aku takjub maka aku ada.

Damar Harsanto, tukang cerita dan anggota redaksi Sesawi.Net

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here