PARA murid dengan penuh sukacita kembali dari peNGutusan mereka dan melaporkan kepada Yesus keberhasilan mereka (Lukas 10:17). Mereka dapat menundukkan setan-setan berkat kuasa Yesus (Lukas 10:19).
Mereka memang layak bersukacita. Namun hendaknya mereka tidak bersukacita karena keberhasilan itu. Ada alasan yang lebih besar untuk bersukacita. “Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu terdaftar di surga.” (Lukas 10:20).
Sukacita murid Yesus tidak berasal dari keberhasilan dalam karya pengutusan mereka, melainkan dari fakta bahwa Tuhan telah memilih mereka menjadi alat-Nya untuk melakukan karya Tuhan, mewujudkan Kerajaan Allah di tengah dunia.
Alasan sukacita berikutnya ialah karena mereka telah menerima anugerah dapat mengenal Allah lewat Yesus Kristus. “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat” (Lukas 10:24).
Banyak nabi dan raja yang ingin melihat yang para murid lihat, namun tidak dapat melihatnya.
Satu dari nabi-nabi yang Tuhan izinkan melihat, yakni Simeon. Kesempatan dan anugerah itu membuatnya bersukacita. “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu.” (Lukas 2:29-30).
Simeon siap mati setelah melihat bayi Yesus, Sang Juru Selamat.
Dalam hidup ini, kita patut bersukacita atas keberhasilan yang kita capai. Namun kita menyadari bahwa sukacita tersebut hanya bertahan sebentar, karena sumbernya bersifat sementara. Sedangkan yang bersukacita karena Tuhan mengalaminya secara abadi.
Benar, sumber sukacita abadi kita adalah Tuhan. Santa Teresa dari Kalkuta berkata, “Hati yang bersukacita itu bagai cahaya matahari dari kasih Tuhan, harapan akan kebahagiaan abadi.”
Di manakah sukacita dan kebahagiaan kita? Apakah kita bergantung pada sukacita duniawi yang sementara sifatnya? Berbahagialah orang yang menaruh harapan dan sukacitanya pada Tuhan (Yeremia 17:7).
Sabtu, 5 Oktober 2024
HWDSF