DUNIA internasional jadi gempar. Tanggal 18 November 1961, muncul berita mengejutkan dari Agats-Asmat, Papua. Infonya sangat mengagetkan dan menyentak seluruh jagad.
Michael Clark Rockefeller dinyatakan hilang di pedalaman Agats-Asmat. Diperkirakan juga ia telah meninggal dunia. Tanpi tanpa diketahui di mana jenazahnya berada.
Wilayah Muara Basim dekat Kampung Ocenep dan Omandesep
Terakhir kali, Michael diketahui berada di wilayah Basim. Sebuah wilayah perairan muara -lokasi pertemuan sungai besar dan laut- di Basim. Tidak jauh dari situ telah lama hidup para penduduk lokal Asmat pesisir yang mendiami Kampung Ocenep dan Omandesep.
Rumor yang beredar luas kala itu, Michael tewas karena telah dibunuh orang-orang lokal. Karena tradisi mengayau – berburu kepala orang asing.
Cucu langsung John D. Rockefeller
Rumor ini begitu “hebatnya” sehingga hampir-hampir semua orang spontan langsung mempercayai “kebenarannya”.
Menjadi semakin heboh lagi, karena korban tewas di Muara Basim ini masuk kategori “orang besar” dari kalangan elite orang-orang penting di Amerika.
Harap maklum saja, Michael adalah cucu pengusaha minyak John D. Rockefeller Jr; maka Michael adalah cicit tokoh sang pendiri Standard Oil: John D. Rockefeller.
Tahun 2014, Carl Hoffman merilis buku yang isinya bicara rumor tentang kematian Michael Rockefeller: tewas dibunuh oleh orang-orang lokal.
Terjadi ketika Michael mencoba berenang ke tepian muara , setelah perahunya terbalik.
Tidak pernah ada bukti forensik di mana jenazah Michael C. Rockefeller ditemukan.
Bahkan sampai sekarang, “kebenaran” atas misteri hilang dan matinya Michael Rockefeller masih belum terjawab.
Mencari yang logis saja
Tentang rumor besar ini, Albertus Istiarto MA dari Unika Soegijapranata Semarang dengan pengalaman bertahun-tahun sering blusukan ke Agats-Asmat sejak Agustus 1981 punya “teori” sendiri.
Sebagai orang yang kenal dengan masyarakat lokal di Kampung Ocenep dan Omandesep dekat Muara Basim di mana dulu dia juga pernah tinggal di situ, teori hilang dan matinya Michael karena diburu oleh masyarakat lokal itu dia anggap kurang berdasar.
Ia lebih berkeyakinan seperti ini.
Hari itu tercatat tanggal 17 November 1961. Michael C. Rockefeller bersama koleganya René Wassing, seorang peneliti keturunan Belanda, tengah berada di perairan muara.
Mereka tengah berada di atas sebuah perahu kano sepanjang 12 meter. Posisinya berada sekitar 6 km dari tepian muara. Lebih masuk akal kalau mereka berada di perairan laut.
Tiba-tiba saja, entah kenapa, perahu kano yang mereka tumpangi terbalik. Dua pemandu lokal berusaha mencari pertolongan, namun upayanya sia-sia.
Lalu muncullah gagasan spontan Michael. Ia memutuskan berenang menuju ke tepian muara untuk minta bantuan.
Tapi usahanya gagal. Dan kemudian ia lalu dinyatakan hilang dan mungkin saja juga telah tewas. Bisa jadi karena mengalami kelelahan berenang, lalu tenggelam ditelan arus laut, atau oleh sebab-sebab lain.
Buaya muara, ikan hiu, dan piranha di Muara Basim
Menurut Istiarto, besar kemungkinan Michael hilang karena disambar buaya muara. Atau badannya dicacah oleh ikan-ikan kecil yang buas seperti piranha di Sungai Amazon. Juga bisa jadi disambar oleh ikan hiu pemakan daging.
Menolak mitos
“Sekali waktu, saya pernah diminta orang untuk menulis kisah tersebut; lengkap dengan bumbu-bumbu mitos soal tewasnya cucu Rockefeller yang mungkin saja dibunuh masyarakat lokal. Sebagai seorang antropolog, tentu saja saya menolak permintaaan tersebut,” ungkap Albertus Istiarto dalam Program Bincang-bincang Panjang bersama Titch TV di sela-sela Trihari Suci Paskah 2023 Semarang.
Ia lebih percaya, hilang dan matinya Michael C. Rockefeller itu sebagai musibah kecelakaan saja.
Pentingnya studi antropologi untuk berpastoral di Agats-Asmat
Wilayah Keuskupan Agats-Asmat boleh dibilang sangat unik dan udik. Jauh dari mana-mana dan juga sulit dijangkau dari mana-mana.
Sekarang memang sudah tersedia angkutan penerbangan dari Timika menuju Ewer; sambung lagi dengan perjalanan naik speedboat selama 30-45 menit menuju “pusat kota” di Asmat.
Namun dari Asmat ke tempat-tempat lain, butuh perjalanan menyusuri aliran sungai dan perairan laut yang lama dan berisiko terjadi musibah kecelakaan: mesin mati, kapal motor ditelan ombak dan terbalik, kapal bocor dan kehabisan BBM.
Yang menarik, praktis semua imam misionaris mampu bertahan lama berkarya di medan yang udik dan sangat sulit ini. “Kuncinya adalah studi antropologi,” kata Albertus Istiarto, alumnus Seminari Mertoyudan (1971) dan mantan seorang Krosier (0SC).
Dengan belajar antropologi, para misionaris itu lalu punya fokus perhatian lebih pada “manusia” dan masyarakatnya daripada misalnya urgensi menjadikan mereka Katolik.
Dari MSC ke OSC
Sehingga menarik disimak, kata Istiarto, bahwa pastor dari Kongregasi Imam Misionaris Hati Kudus Pater Zegwaard MSC sampai mampu menguasai bahasa lokal masyarakat Asmat.
“Dan tentu saja, beliau lalu diterima sangat baik dan bahkan sering dianggap sebagai anak angkat masyarakat lokal,” tutur Istiarto yang sedikit-sedikit bisa bicara bahasa lokal Asmat.
Keuskupan Agats-Asmat di kawasan Papua Selatan itu dulunya merupakan daerah misi Kongregasi MSC. Lalu diserahkan kepada OSC Amerika dan kemudian OSC Belanda dan Indonesia ikut terlibat di sana.
Dormomo
Dormomo… Ungkapan salam sapaan khas orang Asmat, saat saling bertegur sapa kapan pun dan di mana pun.
“Orang Amungme bilang Amole. Orang Kamoro bilang Nimao. Orang Dani Wa-wa-wa. Orang Jawa suka bilang Sae-sae to, badhe tindak pundi?. Sementara, orang Katolik suka bicara Berkah Dalem,” kata Albertus Istiarto menuntup pembicaraan dengan Titch TV dalam program Bincang-bincang Panjang. (Berlanjut)
PS: Terimakasih kepada Komunitas Biara St. Fransiskus Assisi Susteran OSF Gedangan, Semarang.
Baca juga: Albertus Istiarto: Hebatnya Orang Asmat di Papua, dalam Kegelapan Bisa Tahu Arah Laju Speedboat (1)